Jika memungkinkan, aku akan berusaha memperbaiki semuanya.,
"Arina.. Sayang, kamu kenapa?" ucap Elena yang sangat mencemaskan putri bungsunya itu.
"Arin gak apa maa. Cuma pusing aja, mungkin gara-gara Arina belum makan apapun dari tadi pagi."
"Ya ampun sayang. Terus sekarang apa yang masih sakit? Kita ke dokter ya?"
Hati Arina yang sedang tidak baik sekarang ini. Bukan hanya sekarang ini, namun sudah sejak satu bulan yang lalu. Semenjak pengakuan dari seorang pinguin dengan sikap dinginnya yang berhasil membuat Arina jatuh ke jurang yang begitu dalam.
"Arina cuma perlu istirahat aja maa. Gak usah ke dokter ya."
"Kamu yakin gak perlu ke dokter?"
Arina mengangguk pelan dan memberikan senyuman manis kepada Elena, "Mama gak usah khawatirin Arin."
Elena mengecup kening putri bungsunya itu, "Ya udah, kamu istirahat aja ya. Kak Bian bakal di rumah seharian penuh, buat jagain kamu."
"Kak Bian di rumah? 24 jam?"
"Iya di rumah. Jagain adik tercantik." Sahut Bian dengan memberikan senyuman manisnya.
Arina tersenyum lega. Seperti yang kalian tau, Bian sulit sekali meluangkan waktunya untuk Arina. Jangankan untuk Arina, berada di selama 5 jam saja sudah cukup bagus untuknya. Namun hari ini adalah pertanda baik untuk Arina. Ia bisa menghabiskan banyak waktu bersama Bian. Banyak sekali yang ingin dia lakukan bersama kakaknya itu, entah itu untuk sekedar bermain game ataupun menonton film. Asal bersama Bian, sudah cukup membuat Arina merasa tenang.
**
Arina memutuskan untuk beristirahat terlebih dulu. Ia membaringkan tubuhnya di atas kasur, mengatur penyejuk udara sesuai dengan kemauannya. Baru beberapa detik memejamkan mata, ponselnya berdering. Ada satu pesan masuk di sana, Nando.
"Gue denger lo tadi pingsan. Are u okay Rin?"
"Don't worried. I'm okay."
"Kok lo bisa pingsan sih? Kenapa?"
"Gak apa, mungkin karena telat makan doang."
"Walaupun semua ujian di sekolah udah selesai, bukan berarti lo gak jaga kesehatan."
"Hmm.."
"Ya udah istirahat aja. Ntar malam gue ke rumah lo, mau di bawain apa?"
"Gak usah, gue baik-baik aja."
"Tapi gue tetap mau ke sana."
Sebelumnya sudah jelas bukan, Nando adalah salah satu teman dekat Danar yang masih berani untuk berkomunikasi dengan Arina. Bukan hanya berani berkomunikasi, Nando juga sering kali menunjukkan perhatiannya kepada Arina. Bahkan Nando juga sudah kenal dekat dengan Elena dan Bian. Sikapnya selalu saja manis, tapi bukan berarti Arina langsung jatuh hati dengan dirinya. Arina lebih suka belajar dari pengalaman sebelum-sebelumnya. Dia harus lebih berhati-hati dalam menentukan kemana arah hatinya akan pergi dan kepada siapa. Bagi Arina, kesempatan dirinya untuk jatuh ke dalam jurang kekecewaan sudah cukup sampai sini.
Tanpa perlu berdebat terlalu panjang, akhirnya Arina mengiyakan saja kemauan Nando untuk datang ke rumahnya. Lagian juga tidak ada salahnya dia datang, ada Bian yang bisa menemaninya.
"Rin, kakak boleh masuk?" ketuk Bian dari luar kamarnya.
"Iya kak masuk aja, gak di kunci kok."
Bian masuk dengan membawa baki berisikan bubur, "Kamu makan dulu ya."
"Tapi kak.."
"Kalo kamu ngebantah, kita ke dokter sekarang juga."
Tanpa basa-basi, Arina meraih baki yang di bawa Bian. Ia memakan bubur itu dengan lahap dan menghabiskannya. Melihat tingkah Arina yang lucu, membuat Bian gemas terhadap adiknya itu. Ia mengelus rambut Arina dengan lembut dan bergumam dalam hatinya. Ada apa sama kamu Rin? Kenapa? Apa hanya kakak yang gak paham sama kamu? Apa cuma kakak yang belum tahu masalah yang kamu hadapi? Mau sampai kapan kamu terus diam ke kakak? Segudang pertanyaan itu berputar-putar dalam benak Bian.
"Kakak, kakak kenapa?" lambaian tangan Arina berhasil membuyarkan lamunan Bian.
"Gak. Udah habis?"
Arina mengangguk, "Makasih ya kak."
"Kamu jangan gini lagi. Bikin banyak orang khawatir."
Arina mengangguk sekali lagi lalu memeluk Bian dengan hangat. Sejujurnya ingin sekali Arina mengutarakan semua yang ia rasakan kepada Bian, namun ia belum siap. Dia tidak membayangkan bagaimana sikap Bian jika mengetahui semua tentang dirinya dan Danar. Bisa jadi Bian akan menghajar Danar tanpa belas kasihan. Tapi tidak, Arina tidak menginginkan itu terjadi pada Danar.
"Kamu tidur aja sekarang ya."
**
Setelah merasa tubuhnya sedikit membaik, Arina keluar dari kamarnya. Ia mendapati Bian yang tengah duduk di sofa ruang tengah dengan menikmati satu film yang ia lihat. Ternyata memang benar, hari ini Bian berada di rumah seharian penuh untuk menemaninya.
"Kak Bian.."
"Eh Rin, kenapa? Kamu butuh sesuatu?"
Arina menggeleng, "Aku bosan di kamar."
"Ya udah sini duduk, ada film komedi nih."
Arina pun mengambil duduk tepat di samping Bian. Ia menikmati film yang sedang tayang di salah satu televisi Nasional bersama dengan kakaknya. Sudah cukup lama ia tidak mendapatkan moment seperti ini. Tentu saja ini membuat Arina sangat bahagia.
"Bi, tolong dong lihat siapa yang datang."
"Iya den."
Di tengah keasikan kakak beradik ini, tiba-tiba ada tamu yang datang ke rumah mereka. Arina sudah menebak siapa yang akan datang ke rumahnya dan tebakannya sama sekali tidak meleset. Nando dengan membawa sekotak martabak manis dan segelas milkshake kesukaan Arina datang menyapa Arina dan Bian.
"Malam kak." sapanya hangat.
"Eh Ndo, sini duduk."
Nando mengangguk lalu beranjak mendekati posisi duduk Arina dan Bian.
"Dari mana?"
"Dari rumah kak, sengaja emang mau ke sini. Mau lihat keadaannya Arina."
"Kan udah di bilang, gue baik. Gak percaya sih." sahut Arina.
"Makasih ya udah mau jenguk adik bawel gue ini."
Nando mengangguk dan tersenyum manis sebagai jawaban untuk ucapan Bian. Setelah melihat keadaan Arina yang mulai membaik, Nando mengambil ponselnya lalu mengirimkan satu pesan di sana.
"Eh Ndo, besok ada acara gak?" tanya Bian.
"Nggak kak, kenapa?"
"Jagain Arina besok bisa?"
"Kakak mau ke mana?" ketus Arina.
"Kakak besok harus pergi, ada tugas kampus."
"Kan aku bisa di rumah sama bi Uci. Ngapain minta Nando buat jagain aku sih?"
"Biar lebih aman. Gimana Ndo, bisa?"
"Iya bisa kok kak."
"Kakak, aku bukan anak kecil lagi." ketus Arina.
..
..
KAMU SEDANG MEMBACA
DINGIN [COMPLETED] ✓
Teen Fiction#1 in Kagum "Hebatnya orang yang jatuh cinta diam-diam. Ia bisa menyembunyikan perasaannya dibalik senyuman" senyum Arina mulai memudar. Dia menahan sakit begitu hebatnya..