Setelah selesai mandi, Arina merebahkan dirinya di atas kasur. Setengah jam yang lalu, ia baru saja sampai di rumah dengan menggunakan angkutan umum. Dia terpaksa harus pulang dari cafe sendiri, karena melihat Danar yang begitu sibuk dengan gadis yang menghampiri mereka. Baru saja ingin memejamkan matanya, Arina mendengar ketukan pintu dari luar kamarnya.
"Arina, sayang. Mama boleh masuk?"
"Iya ma masuk aja."
"Kamu capek ya?"
Arina mengangguk, "Banget."
Elena mengelus rambut Arina dengan lembut, "Tadi di jemput sama Rey?"
Arina menatap Elena bingung, "Kok mama tahu?"
"Iya tadi kakakmu ngasih kabar ke mama, katanya dia gak bisa jemput kamu. Tadi mama mau jemput kamu, eh kata Bian kamu udah di jemput Rey."
"Oh." dingin Arina.
"Tapi kok kamu pulang sendiri? Jalan kaki lagi, Rey kemana?"
Arina menghela gusar nafasnya. Dia bingung harus menjawab pertanyaan Elena seperti apa. Jika ia memberitahu bahwa dia tidak pulang bersama Rey, pasti Elena akan bertanya lebih dalam kepada dirinya. Arina sendiri selalu malas jika harus membahas pria itu lagi.
"Arina kok diam?"
"Ah, enggak kok ma. Tadi emang Rey jemput Arina, tapi mendadak Arina harus pergi sama Gea, jadi Arina tadi gak bareng Rey deh."
"Beneran?"
"Iya mama aku sayang."
"Kamu lagi menutupi sesuatu dari mama?"
"Apa emang?"
"Sayang, mama tahu kamu bohong. Mata kecil kamu gak pernah bisa lepas dari perhatian mama. Dari kecil kamu selalu nunjukkin ekspresi tertentu ke mama pas kamu lagi bohong."
"Mama apaan sih?"
Mata Arina mulai berkaa-kaca. Butiran putih lembut siap jatuh membasahi pipi Arina. Dia memang tidak pandai berbohong jika di depan Elena. Semua kebohongannya akan hangus begitu saja jika Elena mulai melihat mata Arina.
"Mama, Arina mau kasih tau sesuatu."
"Apa itu sayang?"
"Rey gak sebaik yang mama dan kak Bian pikir. Beberapa bulan yang lalu, Rey mutusin untuk ninggalin Arina dan lebih milih perempuan lain. Maafin Arina maa baru bisa cerita sekarang. Arina selama ini diam karena Arina gak bingung harus gimana. Setiap kali mama atau kak Bian nanyain kemana Rey, Arina selalu aja ngerasain sakit itu. Makanya Arina selalu aja ngehindar dari pertanyaan yang berkaitan dengan Rey. Maafin Arina."
Air mata Arina tidak bisa ia tahan lagi. Dia menangis dalam pelukan Elena. Arina sudah tidak sanggup lagi untuk menyimpan semuanya sendirian. Di tambah lagi Rey yang mulai berusaha memasuki kehidupannya lagi, itu akan membuat Arina semakin jatuh ke jurang yang begitu dalam.
"Arina.. Arina. Hei sayang, kamu jangan nangis gini dong. Iya mama tau apa yang kamu rasakan, tapi bukan berarti kamu harus terus-menerus jatuh kan? Harusnya kamu bersyukur sayang karena sudah di jauhkan dari orang seperti Rey."
"Selama tiga bulan ini, Arina berusaha untuk lepas dari dia maa. Dari bayangannya, dari kenangannya, iya dari semuanya maa. Arina hampir sampai di garis finish, Rey dengan rasa tidak bersalahnya balik lagi ke Arina."
Elena tahu betul bagaimana lembutnya perasaan putri bungsunya ini. Dia tipikal gadis yang susah sekali jatuh hati kepada seseorang. Sekalinya dia jatuh hati, dia akan mempertahankannya. Walaupun rasa sakit, kecewa dan pengkhianatan terus menghantui dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DINGIN [COMPLETED] ✓
Teen Fiction#1 in Kagum "Hebatnya orang yang jatuh cinta diam-diam. Ia bisa menyembunyikan perasaannya dibalik senyuman" senyum Arina mulai memudar. Dia menahan sakit begitu hebatnya..