[1] - chapter 3

571 211 203
                                    

Kemarin, selepas menjemput Bang Derion, bunda mengajak kami untuk jalan hingga larut malam. Alhasil, pagi ini aku bangun kesiangan. Dan naasnya, tadi malam lupa untuk menyiapkan segala buku keperluan sekolah. Tidak perlu ditanya lagi sepanik apa aku saat ini.

Oh iya, hanya sekadar info, keadaanku dan Bang Derion juga masih sama. Aku masih kalem, pendiam, dan manut di depan orang itu. Karena jelas saja, masih membutuhkan waktu untuk mengenalnya.

Oke lupakan itu, waktunya fokus. Saat ini, aku bisa saja telat. Dua puluh lima menit lagi bel masuk kelas berbunyi. Sedangkan, aku masih berada di rumah. Jadi tergopoh-gopoh, aku mengambil tas dan sekali lagi mengaca untuk memastikan keadaan seragamku. Dengan secepat kilat aku menuruni tangga, menuju dapur untuk menemui Bunda.

"Bun ... " perkataanku terhenti; terkejut karena yang kutemui bukanlah bunda. Malah, sang abang sepupu yang lagi sibuk memasak. Awal banget dia bangun?

"Hm, Bunda mana?" tanyaku sedikit ragu. Sepertinya anak itu tidak menghiraukanku. Namun prasangkaku salah, Ia menoleh ke arahku dengan senyum licik.

"Lo nggak telat? Jam segini baru siap. Kebo ya, neng?"

Telingaku cukup terkejut mendengar perkataannya. Ternyata nih anak suka ngeledek. Namun, karena tak memiliki banyak waktu untuk ngeladeninnya. Aku pun bergegas ke garasi; sesekali mengintip setiap ruangan mencari bunda. Sesaat pandanganku terjatuh pada jam. Mataku tanpa sadar melotot saking terkejutnya. Astaga, tinggal lima belas menit!

"Bunda! Kinay pergi dulu yaaa!" seruku pada ruangan kosong itu; berharap didengar oleh bunda. Kemana ya bunda pagi-pagi begini? Tanpa pikir panjang, aku langsung bergegas keluar dan menaiki motorku. Diri ini sudah benar-benar dikejar waktu.

~~~~~~

"Nay"
"Oi, Kinay"
"Lo bantuin gue dong," pinta Bima yang sekarang sedang duduk di depanku. Jangan tanya Rayna lagi dimana, pastinya kabur entah kemana.

Dengan wajah tak percaya, aku menghentikan kegiatan menulisku dan menatap Bima yang terlihat sangat putus asa ini.

"Ya mau gimana lagi, Bim? Kan udah pernah gue bantuin. Hasilnya? Nihil."

Entah apa yang ada di pikirannya. Aku yakin dia tau, bahwa meminta bantuan dariku tak akan bisa membuahkan hasil sedikitpun. Dan aku sendiri sudah malas bantuin Bima dekatin Rayna. Karena ini bukan pertama kali loh ya, udah sering nih.

"Ye, gimana gitu. Ye kali udah hampir 2 tahun gue ditolak terus Nay," keluh Bima dengan kepala sedikit tertunduk.

"Nih ya, Bim. Dengerin nih. Bukan mau kasar atau gimana ya. Lo tau sendirilah gimana Rayna sama anak bandel macem lo."

Bima harus sadar, percuma aja dia minta tolong aku berkali-kali kalau dia sendiri enggak ada niatan untuk berubah.

"Maksud lo, gue harus ngubah sikap gue? Tapi kan, gue berantem cuman kalau dianya yang salah. Itu doang."

Pembelaan Bima selalu sama, alasannya juga hampir mirip sama alasan Rayka. Memang, cocok dah mereka.

"Ya, udah lah. Terserah lo aja. Gue enggak mau ya jadi mak comblang lagi. Gagal terus, gak ada bakat gue jadi itu."

Pasrah karena tingkah Bima yang selalu saja begitu. Jadi, aku memilih untuk membiarkannya ribut sendiri. Kalau masalah lain, pasti aku bantuin. Tapi kalau udah masalah 'percintaan' mereka, aku angkat tangan. Enggak kuat, Enggak kuat!

Kutarik semua fokusku kembali ke buku yang ada di meja. Ini jam istirahat pertama, tapi entah kenapa hari ini aku malas untuk pergi ke kantin.

Drrttt! Drrttt!

Ponselku yang sedang dianggurin itu bergetar.

0812xxxxxxxx:
Nay, nanti pulang jam berapa?

Sontak saja aku mengernyit, siapa ini? Rasanya enggak ada kasih nomor ke siapapun. Baru saja aku hendak membalasnya, guru biologi masuk. Istirahat selesai. Cepat-cepat aku menyembunyikan ponsel ini. Gurunya killer, salah sedikit, bakalan diomel habis-habisan.

~~~~~~

"Tadi istirahat pertama gue aman dong, enggak ada Bima. Tuh anak kemana yak?"

Sekarang aku malah bingung lihat Rayna. Ada Bima? Kabur.
Enggak ada Bima? Dicariin.
Ternyata benar ya, perempuan memang suka plin plan.

"Ye, lo nya iya aman. Lah, istirahat gue diganggu Bima. Nanyain lo mulu. Udah napa sih ah, terima aja dulu."

Sepertinya aku salah bicara. Rayna akhirnya malah panjang lebar menceritakan keluh kesalnya tentang Bima.

Drrttt! Drrttt!

Sambil dengarin Rayna mendongeng, aku intip sedikit ponselku.

0812xxxxxxxx:
Ditanya tuh dijawab woi.
Ini gue, Derion.

Astaga! Aku lupa tentang chat ini. Pasti bunda nih yang ngasih nomorku. Rayna yang mendongeng, tiba-tiba berhenti karena melihat ekspresiku.

"Eh lo kenapa, Nay?" tanya Rayna sembari memakan kue yang ada di tangannya.

"Enggak, ada sepupu gue ngechat doang."

"Ye sepupu, kenapa ekspresi lo gitu banget. Lebay ih," ejek Rayna.

Inilah Rayna, pem-bully tersayangku. Untung saja aku suka membalas ledekannya. Dan inilah yang aku suka dari pertemanan kami. Penuh canda tawa, saling tau kalau ini hanya candaan belaka. Tidak perlu dimasukkan ke hati.

Tuh kan!
Jadi lupa balas chat lagi!

Kinay:
Oh iya, Bang. Kirain siapa tadi. Hari ini sih pulang jam 3.

Derion:
Oke sip, ntar langsung ke rumah ya. Temenin gue.

Ini kenapa lagi nih. Baru aja sehari tinggal di rumah, udah ada aja permintaannya. Kenal dekat juga belum.

Tapi, kira-kira nanti bisa dekat enggak ya?

Unexpectedly FoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang