[1] - chapter 14

211 34 16
                                    

Berkali-kali aku mengedipkan mata ini. Mencoba menghilangkan genangan air yang tertampung. Tarikan napas juga kulakukan untuk kesekian kalinya. Hati ini senantiasa meyakinkan diri untuk membongkar semuanya.

Seketika saja tangan sang abang melingkar di bahuku. Kemudian, disusul dengan dirinya yang merapatkan jarak di antara kita. Aku bersandar padanya sambil meratapi tenangnya air.

"Apa Abang tau bunda sama ayah udah enggak sama-sama lagi?"

"Iya, abang ada dikasih tau pas mau ke sini," jawabnya begitu pelan, hampir seperti orang berbisik.

Aku pun menggangguk dan melanjutkan cerita. "Dulu, kita sering ke sini bertiga. Ngumpul bareng sebagai keluarga; keluarga kecil kinay ... Sampai suatu saat ayah mulai berubah. Dia mulai enggak peduli dengan apa pun. Nggak lama bunda mulai banyak diam. Kinay sendirian di tengah mereka tanpa tau apa penyebabnya. Tapi satu yang kinay tau, bahwa saat itu, mereka berdua mulai menjauh.

Sempat terpikir kalau ini karena kinay. Sampai suatu saat mereka bertengkar hebat. Saling berteriak, nyalahin satu sama lain. Tapi, di situ kinay jadi tau semuanya. Bunda bukan satu-satunya untuk ayah."

Sesaat kalimat terakhir keluar dari bibir ini, mata tak lagi bisa menghalang air asin yang turun. Menceritakan sedikit kejadian masa lalu, berhasil membuat perasaan lampau itu membanjiri ingatan. Teriakan mereka seperti kembali terdengar. Suara pengang yang pernah membuatku terdiam takut akhirnya terasa kembali.

Sang sepupu pun langsung memeluk dan mengusap lembut rambutku. Ia mencoba untuk menenangkanku dari perasaan yang melanda.

Dengan sekuat tenaga aku pun melanjutkan kisah ini. "Di malam itu—pas dengar bunda ngebongkar semuanya—kinay cuman bisa terduduk di lantai kamar. Emang iya, mereka bertengkar berdua, tapi entah kenapa kinay ngerasa kinay yang dimarahin; kinay yang salah. Kinay berasa di pojokan buntu...."

Lagi-lagi aku terhenti, badanku mulai gemetaran hasil sesenggukan yang coba untuk kutahan. Sang abang langsung saja mengeratkan pelukannya.

Ia menggelengkan kepala seraya berlirih, "Enggak, kamu jangan mikirnya kayak gitu ya. Mereka enggak marahin kamu, kamu enggak salah."

"Tapi habis itu, semua makin rumit, Bang ... Udah enggak ada yang sama kayak dulu," jawabku sambil tersenyum sedih.

"Terutama setelah perpisahan mereka, bunda hampir kehilangan semuanya. Rumah, mobil, tempat ini, dan aku sendiri pernah jadi buktinya. Semua karena ayah terlalu egois; maksa aku untuk serumah dengan wanita itu.

Seiring ayah mulai terbuka dengan hubungan gelapnya, orang sekitar pun akhirnya pada tahu. Mereka mulai nanya pendapat kinay, Bang. Emangnya mereka berharap kinay jawab apa?! Terkadang mereka nanya begituan tanpa mikir panjang, blakblakan banget. Apa mereka ngiranya kalau di sini, kinay hanya sebatas penonton? Seenaknya aja nanya hal pribadi seakan mengulas film."

Tangisanku kembali pecah karena ada setitik amarah yang menganggu. Napasku sudah tak teratur dan bibirku gemetaran ketika mengeluarkan semua cerita itu. Sedangkan, sang abang tak berhenti mengelus pelan rambutku. Matanya juga baru saja mengeluarkan setetes air mata.

"Kala itu, bunda juga terasa seperti orang lain, Bang. Entah kenapa, bunda jadi nyudutin kinay. Kinay sering disalahin karena terlahir sebagai anak mereka. Terutama karena masih ada hubungan darah dengan ayah. Perkataan itu mudah banget keluar dari bibir bunda. Tapi, satu yang bunda enggak tau. Seraya kata-kata itu masuk ke telinga kinay, hati kinay rasanya hancur. Apa ini benar salah kinay? Apa kinay cuma beban buat bunda?"

Dan untuk kedua kalinya, Bang Ion menggelengkan kepalanya. "Enggak, Nay. Kamu jangan ngomong gitu. Kamu bukan beban, karena abang yakin bunda 'tu sayang banget sama kamu. Mungkin aja pas itu bunda cuman sakit hati dan mungkin dia juga bingung untuk ngatasinnya gimana."

"Iya, kinay juga tau bunda cuman sakit hati," anggukan kecil pun aku lakukan. "Semua itu memang sementara. Tapi, ada kalanya omongan itu terlalu tertanam di memori. Kinay nggak tau gimana buat ngelupainnya. Dan, kinay enggak mungkin bisa cerita ini ke bunda. Kinay tau kalau bunda dengar cerita ini, dia bakalan sedih; nyalahin dirinya terus. Dan, kinay enggak mau itu.

Kinay mau berdamai dengan masa lalu, Bang. Kinay mau lupain egonya ayah ... Kinay mau lupain perkataan bunda ... Kinay enggak mau ingat semua itu lagi, Bang."

Sang lawan bicara pun diam tak bergeming. Ada genangan air membentuk kaca di manik hitamnya itu. Memang sempat terjatuh setetes air mata, namun dengan cepat ia mengusapnya. Melihat dirinya yang peduli, membuatku merasakan sedikit ketenangan. Dengan erat aku memeluknya dan membenamkan wajahku di tubuhnya. Merasakan kasih sayang saudara yang selama ini aku cari.

Setelah jeda beberapa saat, kini gantian Bang Ion yang menarik napas dalam. Menenangkan dirinya sebelum berkata, "Kamu enggak salah. Abang ngerti kenapa kamu enggak bisa cerita ke bunda. Abang tau kamu anak yang baik, enggak pernah sekalipun mau ngelukain perasaan orang lain. Tapi, sekarang giliran kamu mikirin diri kamu sendiri. Abang mau kamu tau kalau kamu enggak sendirian.

Maaf, abang enggak bisa jaga kamu dari keributan itu. Maaf, abang enggak bisa bela kamu ketika kamu dengar perkataan bunda. Tapi, abang janji sekarang kamu enggak perlu nyimpan semuanya sendirian lagi. Ada abang di sini, abang janji bakalan bantu kamu ngelupain semuanya."

Aku tersenyum tipis seraya menatapnya. Masih ada air mata yang terjatuh di pipi ini, tapi syukurlah sesenggukan itu perlahan hilang. Dan tak lama kemudian, tanganku beralih melingkar di lehernya—menyembunyikan wajah ini di bahunya.

"Abang jangan ikutan nangis. Kinay enggak suka bikin orang lain sedih. Maaf ya bikin Abang nangis," gumamku.

Ia mengangguk sambil mengusap punggungku. Beberapa detik kemudian, aku melepaskan pelukan itu. Hal tersebut di didukung oleh rasa lelah yang mulai menghampiriku. Tubuh ini sudah letih. Perlahan aku menghela napas panjang seraya memejamkan mata.

Seakan mengerti, sang abang menepuk pangkuannya; menyarankanku berbaring sejenak. Tanpa perlawanan aku mengikuti sarannya. Di situlah saat dia menjadi tempat bertumpuku untuk pertama kalinya.

Tangisanku pun telah hilang, namun tentu saja meninggalkan sembab di mata. Semua ini karena perhatiannya, ia berhasil membuatku membongkar segalanya. Memang berat untuk aku menceritakannya, namun aku sangat berterimakasih. Karena inilah hatiku mulai terasa ringan—bebannya baru saja terlepas. Pikiran-pikiran buruk yang selama ini menghantuiku perlahan sirna.

Kurasa memang benar...

Kenangan buruk itu butuh waktu untuk pergi. Tapi, ia juga membutuhkan seseorang untuk membantunya pergi dengan cepat.

Unexpectedly FoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang