"Asli, capek banget dah!" keluhku sambil mengucek mata.
Kinay yang sedang duduk di sampingku langsung mengangguk setuju. Bukannya tenang, dia berkali-kali membenahi posisi duduknya. Seakan tak ada posisi yang nyaman bagi tubuhnya yang tepar itu.
Ya wajar aja sih, aku aja tepar apalagi dia. Soalnya tadi, sehabis dari taman. Bukannya pulang, malah lanjut jalan-jalan. Emang iya, aku suka aja jalan-jalan. Tapi, kalau ngikutin mood Kinay yang pengin jalan. Aku angkat tangan. Kaki anak kecil itu tak berhenti melangkah seperti sedang di atas treadmill.
"Lu kenapa sih? Diem napa, kayak cacing kepanasan aja," kataku sambil menatap lekat wajahnya.
"Abang pindah sana dong. Mau selonjoran," pintanya seraya menunjuk sofa di sebelah kiriku.
"Hidih, kan abang duluan di sini."
Bibirnya memanyun seraya berkata, "Pelit banget sih. Pegel nih badan kinay."
"Ya udah tidur, ke kamar aja gih."
Kinay menggerutu, dahinya juga menekuk membuat alisnya hampir bertautan. "Kan masih mau nonton," belanya.
"Ye udah sini," tawarku sambil menepuk pangkuanku.
Senyum kemenangan langsung mengindah di wajah Kinay. Dengan cepat dia mengangguk dan langsung selonjoran; menjadikanku sebagai bantalnya lagi.
"Pinter banget ya, Nay. Kodenya mulus luss lusss."
Dengan gerakan cepat, dia menoleh kepadaku. Tangannya memukul samping lenganku dengan pelan, "Siapa yang kode, ih! Abang tuh yang nggak mau pindah."
"Iyain ajalah. Anggap aja abang percaya," kataku yang diiringi dengan kekehan yang terselip dari bibirku.
"Ye kan Aba-"
Baru saja dia ingin menangkasku lagi. Suara ponsel berbunyi berhasil memutuskan perkataannya. Dengan sigap, dia bangkit dan duduk untuk meraih ponselnya di meja.
Tak sengaja mataku menangkap layar ponselnya. Ternyata bunda, mau video call. Kulihat jari mungil Kinay menekan tomboh berwarna hijau dan tak lama kemudian wajah bundanya terpampang di layar kecil itu.
"Hai Bunda," sapa adik kecilku.
"Eh, anak bunda yang paling cantik. Lagi apa?" tanya bunda dari seberang sana.
Dengan tersenyum tipis Kinay menatap layar ponselnya, "Ini lagi di ruang tengah; lagi nonton. Nih, ada Abang juga," katanya seraya bersandar padaku. Kinay juga mengarahkan kamera ponselnya agar bunda juga bisa melihatku.
"Bunda... Bunda apa kabar? Sehat?" tanyaku sambil membenahi rambut. Mumpung ngaca di kamera.
"Alhamdulillah, Nak. Bunda sehat-sehat aja ... Tapi itu, kalian kok mukanya lesu begitu? Gak ada ceria-cerianya liat bunda," canda bunda diikuti tawa kecil.
"Capek Bunda! Ada yang ngajak jalan seharian," jelasku; mengadu pada bunda seraya menunjuk Kinay.
Sontak saja Kinay menatapku dengan pelototan tajam, "Sehari doang! Abang ngajak jalan aja dah berkali-kali."
"Hayo... Abang jalan terus ya," ledek bunda padaku.
Secepat kilat Kinay mengangguk dan mulai mengadu, "Iya Bunda! Kemarin aja, pas hari minggu ngajak ke Dufan. Mana pagi banget lagi tuh."
"Ye ngadu dia ... Boong tuh, Bun. Dia juga kesenengan ke Dufan," jawabku tak mau kalah.
Bunda yang di seberang sana langsung tertawa sambil menggelengkan kepalanya, "Kalian berdua ya! Sama aja, gemas bunda jadinya. Kalau bunda di situ, udah bunda peluk aja."
Kinay terkekeh pelan lalu mengaku, "Bunda ... Tadi kinay enggak sekolah."
Bukannya apa, Bunda malah kembali tertawa. "Udah bunda tebak. Pasti gak sekolah. Lagi temu kangen ya sama Abang?"
Pertanyaan bunda sontak membuatku menyengir. "Iya nih, Bunda. Si Kinay kangen sama abang kayaknya nih. Kemana-mana ngikutin terus," ledekku sembari menyenggol bahu Kinay.
"Ih, gak ada ya! Fitnah tuh, Bun. Kinay kan kangen Bunda. Kok jadi Abang sih?"
"Yaelah pake malu-malu. Bilang aja kangen abang."
"Hushhh, udahhh, malah berantem. Ini sih bunda yang jadi kangen sama kalian."
"Kita juga kangen. Bunda cepat pulang ya," jelas Kinay yang disusuli dengan anggukan kepalaku.
"Iya, kan bentar lagi bunda pulang. Bunda juga ada kejutan buat kalian."
Air wajah Kinay langsung mendadak ceria mendengar kata kejutan. Dengan tersenyum manis dia membanjiri bunda dengan pertanyaan, "Kejutan apa, Bun? Emang dalam rangka apa? Kejutan gimana nih?"
Aku menggelengkan kepala melihat antusias anak kecil ini. Bunda juga memberikan Kinay tampang yang sama denganku.
"Ada deh, tunggu bunda pulang aja," canda bunda sambil memberikan senyuman meledek.
"Yah... kasih clue dong Bun," pinta Kinay.
"Enggak ah, bunda mau tidur."
Kinay beralih menolehku, "Abang, bantuin napa. Pujuk Bunda biar ngasih clue."
"Yang penasaran siapa?" tanyaku sambil menaikkan sebelah alis.
"Ih, nggak jadi temenan sama Abang lah!"
"Lah malah berantem, udah ya tunggu bunda pulang aja. Bye bye," ledek Bunda dengan cepat dan langsung mematikan video call tadi.
"Yah Abang kan," tuduh Kinay seraya kembali berbaring ke pangkuanku.
"Ye, kok jadi abang."
"Tapi, kira-kira apa ya Bang?" tanyanya dengan pelan.
Aku hanya diam tak berkutik; pura-pura tak mendengarkannya. Sengaja juga mataku fokus pada TV; mengacangi anak ini.
Suaranya tak juga berhenti. Berkali-kali dia bertanya tentang kejutan yang aku juga tak tahu. Tersadar aku mengabaikannya. Dia langsung mengangkat tangannya dan menepuk pipiku, "Ye, Abang! Kok kinay dianggurin."
"Emangnya mau abang jawab apa? Abang aja gak tau."
"Yaaa, apa gitu. Kasih ide gitu."
"Yaelah, tunggu aja napa. Kan tiga hari lagi bunda pulang," bujukku pada adik kecil ini.
"Masih lama," ujarnya dengan bibir manyun. "Eh, mungkin bunda ngajak liburan kali ya? Atau beliin oleh-oleh," lanjutnya kembali menerka.
"Dah ah... Macem cenayang aja nerka-nerka," ucapku asal sebut.
Tak lama, Kinay langsung berdiri sambil memegang bantal sofa. "Kinay mau tidur. Abang malesin, ngacangin mulu," jelasnya seraya pergi.
Baru dua langkah, dia langsung berbalik badan dan melempar bantal sofa itu ke arahku. Baru saja hendak dikejar, dia langsung lari sambil tertawa.
Dasar anak kecil!
Awas aja ya, besok abang kerjain.Namun, syukurlah dia udah mulai terbiasa dengan kehadiranku. Dengan begitu saja, aku udah senang dan tanpa sadar membuat sebuah senyum memerekah di wajah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unexpectedly Found
Novela JuvenilKisah harapan seorang anak tunggal bernama Kinay yang kedatinya tak jauh dari kata sepi. Alur hidupnya yang menyendiri dan penuh rahasia tak sengaja terungkap oleh Derion; sang abang sepupu. Selangkah saja Derion memasuki kehidupannya, semua langsun...