Kinay's POV
Lembar pertama buku harianku akhirnya terisi. Niat awal ingin memulai dengan hal positif, entah kenapa menjadi suram. Buku yang baru saja aku beli kemarin dengan niatan mengubah persepsi, kini malah terbalik. Entah kenapa isinya masih terasa sama dengan buku yang dulu; masih penuh akan bisikan negatif. Terlebih lagi saat melihat kovernya yang membuat sekelibat memori terlintas di pikiran. Atau lebih tepatnya, pemandanganku saat membeli buku ini; saat masih berada di toko buku yang kala itu ditemani oleh kedua sepupu. Melihat mereka berdua berinteraksi dengan santai tanpa adanya aku, berhasil membuatku merasa tertinggal. Karena, selalu saja ketika aku mendekati mereka, keduanya akan tiba-tiba saja canggung seakan tidak pernah kenalan. Namun, hal berbeda terjadi jika aku hanya bersama salah satu dari mereka. Misalnya jika dengan Abang, dia masih terasa seperti biasa. Ya, seperti abang pada umumnya. Begitu pula dengan Alin, jika hanya berdua denganku; dia udah mulai mau membuka pembicaraan, tetapi akan perlahan diam ketika ada abang.
'Sebenarnya apa yang terjadi di sini? Tidak salahkan aku merasa tertinggal begini?' pikirku seraya menghela napas panjang.
Tak ingin berlama-lama larut dalam pemikiran yang aneh, aku pun menyoba untuk bersantai dengan menyandarkan punggung pada kursi. Dan kemudian, mengalihkan pandanganku ke pintu; menunggu Alin mengetuk tanda ingin menginap di kamarku lagi seperti yang telah dilakukannya selama empat hari belakangan ini.
Namun, sepersekian waktu pun terlewati hingga membuatku bosan. Dari yang awalnya hanya memainkan pulpen hingga berakhir memainkan ponsel, Alin pun tetap tak kunjung datang. Karena penasaran, aku pun perlahan beranjak keluar; mencoba mencarinya, tetapi hasilnya nihil. Rumah yang saat ini ditinggali oleh empat orang itu sangatlah sunyi. "Alin?" panggilku pada ruang hampa. "Abang?" panggilku sekali lagi.
Tetap saja tidak ada jawaban yang kudapati, akhirnya aku pun memutuskan untuk turun ke lantai bawah dengan langkah yang sudah tidak seperti robot. Sesaat tepat di depan kamar abang yang notabene paling dekat dengan tangga, aku pun langsung mengetuk. "Bang?" panggilku. "Abang ada di kamar ga?" tanyaku yang lagi-lagi tak dijawab. "Bang!" panggilku lebih keras, "Nay buka pintunya, ya?" kataku seraya perlahan membuka kamarnya yang ternyata kosong. 'Lah! kok nggak ada?'
Tak lama kemudian; aku beranjak menuju pintu depan; berniatan untuk mengintip mobil dari jendela. Dan ternyata ada, yang berarti abang ada di rumah. Karena malas berjalan mencarinya, aku pun bersandar di dinding dekat tempatku berada dengan niat untuk mengiriminya pesan; menanyakan keberadaannya. Namun, sesaat ingin menekan tombol kirim, suara pagar rumah mengagetkanku. Langsung saja aku kembali mengintip melalui sela-sela gorden, karena takut saja jika ada maling yang masuk. Akan tetapi, tak ada seseorang pun di halaman rumah. Pencahayaan yang kurang, berhasil membuatku mengutuk akan susahnya untuk melihat sekeliling rumah. Hingga pada akhirnya, aku pun menemukan sumber bunyi itu. Tepat di depan sana, ada dua orang yang tengah duduk bersandarkan pagar dengan pandangan menuju jalan komplek yang kosong itu. Awalnya sulit untukku mengenali siapa orang itu, tetapi ketika mereka saling menoleh ke satu sama lain. Terlihat jelas bahwa itu Abang dan Alin. 'Mereka ngapain sih? Nungguin bunda apa gimana? Eh ... Tapi kan, hari ni bunda lembur ... Lah, ngapain juga nunggu di situ?' batinku.
Rasa penasaranku kian menumpuk, tapi suatu rasa aneh lebih mendominasi. Aku merasa tertinggal, tertinggal dari apapun yang sedang terjadi saat ini. Sepertinya aku beneran kembali jatuh ke lubang yang sama, hanya dengan situasi yang berbeda.
Tak sedikit pun aku ingin mengganggu mereka di sana. Lebih baik aku kembali bersembunyi di ruangan yang sedari dulu menemaniku dalam kehampaan yang membingungkan.
~~~~~
"Kak, tumben tadi malam tidur awal?" tanya Alin ketika menemuiku tergeletak di sofa ruangan tengah.
Aku baru saja pulang sekolah, bahkan baju seragam belum sempat kuganti. Hari ini cukup melelahkan, aku harus pergi ke sekolah seperti biasanya, tanpa diantar oleh Abang. Mungkin aku terlalu cepat beradaptasi dengan kehadirannya, hingga terlalu sulit untuk kembali mandiri. Abang masih menawari tumpangan tadi pagi dan khawatir dengan luka di kaki aku yang sudah membaik ini, tapi dengan tegas aku menolak. Aku berkukuh memaksakan pergi sendiri; mengendarai motor seperti biasanya. Karena, sebenarnya aku sudah memikirkan hal ini dari tadi malam. Dan kuputuskan untuk menarik diri. Lebih baik kembali ke sediakala, karena aku yakin kehadiran mereka yang menemani saat ini hanya sementara.
"Udah ngantuk banget, Lin. Nungguin kamu lama banget, akhirnya ketiduran."
Bohong. Mudah sekali dusta itu keluar dari bibirku, padahal kenyataannya tadi malam aku sengaja memejamkan mata berlaga seperti orang telah terhanyut mimpi. Aku hanya malas untuk bercengrama suasana hati yang tak baik-baik saja.
"Malam ini kita mau ke mana, Kak?"
Pertanyaannya mendapatkan perhatianku. Untuk beberapa saat aku terdim, mencoba mengingat janji apa yang telah aku buat. Hingga akhirnya aku bertanya, "Emang mau ke mana?"
"Katanya kita mau pergi malam ini."
"Pergi? Siapa yang bilang? Sejauh ini kakak nggak ada denger apa-apa."
"Abang."
"Kakak nggak tahu, Lin. Ini aja baru dengar dari kamu ... Emang abang kasih tahunya kapan?"
"Barusan aja, pas alin keluar dari mobil. Terus abang nggak bilang apa-apa, jadi alin kira kakak udah tahu."
Aku hampir saja mendengus ketika mendengar jawaban adik kecil ini. Teringat bahwa seharian ini dia ikut bersama abang pergi ke kantor ... Lagi-lagi aku merasa kesal ... Lagi-lagi aku merasa tertinggal ... Terlebih lagi abang tidak sekalipun mencoba menghubungiku. Setidaknya untuk mengabari masalah acara mau pergi ini. Mengantisipasi terjebak dalam situasi yang lebih parah daripada ini, aku kemungkinan akan lebih baik jika tinggal di rumah.
"Kakak nggak ikut dulu deh."
"Yah ... Kenapa nggak ikut?"
"Banyak tugas, Lin ... Nggak papa, ya? Beneran lagi banyak tugas, ini kakak mau mulai ngerjain juga."
Dusta lainnya. Tanpa memberikan Waktu untuk Alin berbicara, aku langsung beranjak menuju kamar karena ingin menghindari lebih banyak kebohongan yang keluar dari mulutku. Tugasku malam ini bukan berasal dari sekolah, tapi dari batin yang mulai dibebani dengan rasa tersingkirkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unexpectedly Found
Fiksi RemajaKisah harapan seorang anak tunggal bernama Kinay yang kedatinya tak jauh dari kata sepi. Alur hidupnya yang menyendiri dan penuh rahasia tak sengaja terungkap oleh Derion; sang abang sepupu. Selangkah saja Derion memasuki kehidupannya, semua langsun...