[2] - chapter 23

75 7 0
                                    

Hari senin berjalan cukup cepat. Semua terlihat hampir seperti hari biasa. Masalah kaki Kinay udah lumayan mendingan. Anak itu udah berasa kayak jagoan, maunya jalan sendiri. Namun, ketika diingatkan bahwa senin harus sekolah. Tentu saja dia menolak. Alhasil, dia kembali membolos dengan alasan, 'selasa aja, nanggung!'

Di sisi lain, Alin masih tak jauh berbeda. Dia diam seribu bahasa, tak akan bersuara jikalau enggak ditanya duluan. Namun, mulai hari itu aku semakin mencurigainya. Gelagatnya begitu tertutup, sering juga cemas tertulis diwajahnya. Kekhawatiranku didukung dengan keadaan Bunda. Tak sengaja aku melihatnya dengan mata sembab sesaat keluar dari kamar Alin. Aku yakin ada sesuatu serius yang dibicarakan kedua orang itu. Karena sampai detik ini, masih banyak teka-teki yang tak terjawab. Mau berapa lama mengamati, enggak bakalan cukup. Alin dan Bunda terlalu jago menyembunyikan semuanya.

"Cepetan, Bang! Nanti kinay telat," pekik Kinay dari ruang tengah berhasil membuat pemikiranku buyar.

"Abang lama banget. Kinay pasti telat ini mah," panggilnya sekali lagi. Namun, kali ini dengan nada seperti orang bernyanyi enggak jelas.

Karena mulai risih dengan nyanyian Kinay. Akhirnya, aku mempercepat langkahku. Sambil membuka pintu kamar, aku mendesis, "Hushh, berisik."

Sesaat tatapan Kinay jatuh kepadaku. Dia mengangkat sebelah alisnya, "Widih, mau kemana, Pak? Tumben rapi amat, biasanya pake hoodie doang," cibir adik kecilku.

"Ye jelas," timpalku songong. "Kan mau ketemu Rayna."

"Heh! Enak aja. Awas ya berani macem-macem! Ntar kinay, HEM, baru tau," ujarnya seraya menunjukan tangannya yang mengepal.

"Enggak takut."

"Awas aja kalau berani," ancamnya.

"Ya, terserah," ujarku malas-malasan. "Eh tunggu dulu, mending dibuka ato tutup aja?" tanyaku pada Kinay sambil memegang kancing kemejaku.

"Buka aja. Kalau ditutup berasa formal bener," cibirnya.

"Oke, oke," jawabku seraya melepas semua kancing kemeja; memperlihatkan baju kaus yang kupakai. "Dah yok cepetan, katanya nanti telat," lanjutku seraya bergegas ke mobil.

Tak mendengar suara kaki anak kecil itu. Aku langsung memutarkan badan; mencarinya yang ternyata masih di tempat semula. "Ampun tuan putri, jalannya lelet," ejekku.

"Sabar!"

Tak tahan menunggu, aku langsung menghampirinya dan mengalungkan lengan anak kecil itu ke leherku. "Dah, jangan protes. Piggyback biar cepet."

Bergegas, tapi berhati-hati aku berjalan. Namun, sesaat membuka pintu. Aku berhenti mendadak.

"Kenapa? Lupa apa?" tanya Kinay.

"Alin mana?"

Bukannya Kinay yang jawab, melainkan Alin. "Di sini?" ujarnya dengan bingung. Ternyata anak itu udah nunggu di teras rumah.

Aku mengangguk padanya. Dan tak perlu waktu lama, kita bertiga telah berada dalam mobil. Dengan cukup laju, aku menyetir mobil. Karena, ada satu bocah yang panjang lebar ngebahas gerbang sekolah ditutup.

"HA! Itu gerbang masih dibuka. Lo ngeremehin abang sih," pamerku pada Kinay yang memutar kedua bola matanya.

"Iye iye, saya mengaku salah."

"Bagus ... Si Rayna mana?" tanyaku enteng.

"Telat dia."

"Jadi? Kamu bisa sendiri nggak?" tanyaku khawatir pada Kinay.

"Bisa sendiri ... Eh tapi, tuh ada Bima," katanya seraya membuka pintu mobil. "BIM! BIMAA," panggilnya.

Mendengar namanya dipanggil. Si Bima ini langsung mencari sumber suara. Sesaat melihat Kinay, dia langsung berlari pelan ke arahnya.

"Eh? Cowok?" tanyaku.

"Ya iyalah, namanya juga Bima," sahut Kinay.

Sesaat Bima berdiri tepat di depan Kinay. Anak kecil itu langsung menutup pintu mobil. Kulihat si Kinay berbicara pada cowok itu. Kemudian, si Bima ini nawarin tangannya. Eh?! Enak aja lu mau modus ya.

Langsung saja aku menurunkan kaca mobil, "Oi jangan pegang-pegang. Pegang tasnya aja, Nay."

Si Bima langsung menoleh padaku bingung. Sementara, pipi Kinay berubah merah karena malu. "Ih, Abang! Apaan sih?"

Dia langsung memalingkan wajah seraya memberikan tasnya pada Bima. Oh, ternyata Bima nawarin bawain tas. Dengan itu, si cowok ngebantuin Kinay jalan. Dan bagusnya, adik kecilku hanya bertumpu pada tas si Bima.

Sesaat mereka memasuki gedung sekolah. Aku langsung menarik perhatianku pada bocah yang daritadi diam ini. "Lo pengen ke mana?" tanyaku pada Alin.

"Pulang," jawabnya dengan singkat, padat, jelas.

"Gue enggak. Jadi kalau gitu, lo ikut gue."

"Males banget."

Aku tersenyum simpul padanya, "Nih ya, Lin. Jujur aja, gue nggak bakalan ninggalin lo sendirian di rumah. Terutama semenjak gue nge-gep lo kemaren."

Alin langsung memutar kedua bola matanya dengan malas-malasan. "Kan rokoknya udah diambil."

"Emangnya salah ya kalau gue mau mastiin lo baik-baik aja?"

Tak mendengar penolakan darinya, aku langsung tersenyum bak pemenang. Dan dengan itu pula, aku menginjak pedal gas; membawa anak ini mengelilingi kota. Tenang aja, ditemanin GPS pastinya.

~~~~~

Setelah cukup lama mengukur jalan, akhirnya aku mengajak Alin ke salah satu mal terdekat. Emang niat awalku mau ke tempat ini. Berhubung besok udah mulai ke kantor. Ya, seenggaknya persiapan aja.

Dia mengikuti ke mana langkah kakiku pergi, kayaknya lebih ke arah pasrah gitu. Beberapa toko terlewati, anak itu tak kunjung menunjukan sedikit rasa tertarik. Dan pada akhirnya, dia mau enggak mau menemaniku membeli baju buat kantoran. Sempat juga aku menanyakan hal-hal simpel padanya. Berniatan untuk mengenal adik sepupu ini. Namun, jawaban darinya tak lebih dari sekadar iya, enggak tau, mungkin. Cuman bisa mengelus dada dengar jawabannya—butuh sabar yang luar biasa.

Sesaat waktu hampir mendekati jam makan siang. Aku mengajaknya untuk mengisi perut. Sempat juga aku menanyai keinginannya, malah aku yang ditanya balik. Dan pada akhirnya, memang aku yang memilih tempat makan.

Pas berjalan menuju tempat makan ini. Kita tak sengaja melewati toko buku. Dalam diam, aku mengamati wajah Alin yang memercikan sedikit ekpresi. Ternyata ini kegemaran nih anak? Siapa sangka Alin termasuk ke dalam golongan pencinta buku.

Langsung saja aku membuat mental note, agar nanti mengajaknya ke situ. Dan tak jauh dari toko buku, aku dan Alin memasuki sebuah restoran. Sesaat setelah memesan, aku duduk di sebuah bangku kosong. Hal sama juga dilakukan oleh Alin. Karena, tak ada suara sedikit pun, suasana hampir terasa canggung.

Namun, tentu saja aku memecahkan kehingan itu dengan sebuah pertanyaan simpel. "Udah boleh belum gue bahas yang kemaren?"

"Nggak akan pernah boleh," lontarnya tajam.

"Oke, kalau gitu gue bahas yang lain ... Lo bolos kenapa?"

"Siapa yang bilang aku bolos?" tanya Alin menantang.

"Kan lo kelas sebelas, lalu sekarang lo di sini. Gue belum ada denger bunda bahas masalah pindah sekolah. Bunda belum ada ngomong apa-apa malahan."

Alin langsung mengatup bibirnya, "Aku juga nggak tau," gumamnya. Tak lama dia juga bertanya, "Kayaknya kalian juga nggak tau aku ya?"

Aku menggelengkan kepala sebagai jawaban. "Tapi, lo tenang aja. Abang nggak bakalan nanya apa pun kalau lo belum siap jawab," jelasku dengan pelan.

Karena lagi-lagi Alin tak menjawab, aku langsung mengalihkan pembicaraan.
"Oiya, lo suka baca?" tanyaku dengan tersenyum ramah.

Unexpectedly FoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang