[3] - chapter 30

80 8 4
                                    

Usai pengakuan tadi, Abang menemaniku makan. Enggan ia melepaskan tangannya dari pundakku; menuntunku hingga meja makan. Menyiapkan sarapan untukku, tanpa mau untuk dibantu. Untuk sekitar 15 menit, tak ada satupun dari kami yang berbicara. Hanya ada terdengar suara letupan kecil dari panci penggoreng. Pagi ini termasuk ke dalam pagi amat tenang, kalau bisa melupakan kejadian semalam.

"Loh?" kaget seseorang yang baru saja memasuki rumah dari pintu samping. "Aden sama Non hari ini libur?" sambungnya penuh tanya.

Aku tersenyum melihatnya, "Eh, Bibiii! Udah lama nggak keliatan."

"Ya, kan biasanya Non sekolah," celetuknya.

"Biasa ... Ada yang malas sekolah, Bi," kekeh Abang yang mulai menyiapkan piring.

Si Bibi langsung tertawa sambil mencubit pipiku gemas. Kebiasaan, katanya. Kali ini, aku tak bisa menyangkal. Karena, kalau dipikir-pikir, memang kenyataannya seperti itu. Jarang masuk sekolah, hingga terkadang aku khawatir temanku telah melupakanku.

Sesaat Bibi pamit mau bersihin area rumah, sang Abang menghampiriku dengan membawa dua piring berisikan nasi goreng. Makanan kebanggaannya, karena cuman ini yang bisa dimasak olehnya. Terima kasih, kuucapkan seraya menyantap hidangan itu. Sekuat tenaga aku mencoba mengabaikan pandangannya yang menelitiku sedetail mungkin. Tatapan itu kebanyakan jatuh pada buku jariku yang diperban. Kumohon jangan membahas itu....

Saat ia berdeham, aku mulai keringat dingin. Aku tahu apa yang mau dibahasnya dan ini bukanlah waktu yang tepat. Lebih baik nanti, daripada sekarang. Tanpa pikir panjang, aku langsung menyeletuk untuk menetapkan topik pembicaraan sebelum dimulai olehnya. "Kinay tau, waktu itu, hampir tengah malam, Abang keluar sama Alin ... Nggak sengaja keliat pas mau ambil minum," ujarku beserta alasan tak penting.

Sendok digenggamannya tak sengaja terlepas, menimbulkan bunyi khas bersentuhan dengan piring. Sekaget itukah dia dengan pengakuanku? Hingga tak bisa berkata apapun, hanya mampu menatap kosong padaku?

"Abang nggak perlu bohong. Kinay liat semuanya; Alin agresif banget."

Lagi-lagi, ia hanya diam, tak berani berkutik. "Kenapa?" tanyaku bingung pada sikapnya.

Ia menghela napas dalam-dalam, kurasa mencoba menyari kata-kata yang tepat. "Abang mau banget ngasih tau, Nay ... Tapi, kamu harus ngerti, ini bukan cerita abang. Jadi, lebih baik kamu tunggu Alin yang cerita, ya," jelasnya penuh pengertian. Ternyata selama ini benar, memang ada sesuatu yang sedang disembunyikan. Dan, melihat reaksi Alin malam itu, kurasa sesuatu yang cukup penting. Namun, benar apa yang dikatakannya. Aku tak bisa memaksa. Maka dari itu, aku hanya mengangguk mengerti.

Tanpa melanjutkan cerita, Abang permisi untuk pergi ke kamarku. Meninggalkan sarapannya yang baru saja beberapa termakan beberapa suap. Katanya ingin membangunkan Alin, ia baru teringat dengan adik kecil itu ketika aku membicarakan namanya. Dengan tampang cukup cemas, Abang berlari kecil menuju tangga. Kudengar suara pintu terbuka hingga suara abang memanggil-manggil namanya. Berkali-kali ia memanggil nama Alin hingga hampir berteriak. Sontak aku ikutan panik dan bergegas menuju lantai dua.

Kulihat Abang berlihir mudik di kamarku hingga kamar mandi. "Loh? Alin mana?" tanyaku menyadari kekosongan di ruangan ini. Seharusnya saat ini, adik kecil itu ada di sini. Masih tertidur atau setidaknya lanjut membaca buku. Tanpa jawaban dari sang abang, aku langsung beralih menuju kamarnya. Kuketuk beberapa kali, tapi nihil jawaban. Akhirnya aku masuk ke kamar itu tanpa izin empunya. Dengan cepat aku menyisir seisi ruangan, tanpa menemukan jejaknya sedikitpun. "Alin? Alinnn! Kamu dimana?!" kudengar teriakan abang yang kini sudah sepenuhnya panik.

Kakiku berkelana tanpa diperintah, sepenuhnya waspada dengan kepanikan. Tanpa membuang waktu, aku berniatan untuk mencarinya di kamar bunda. Namun, suara air menghentikan langkahku. Suara air itu terdengar seperti tumpahan bak yang telah penuh. Aku langsung mendekati sumbernya, yang tak lain berasal dari kamar mandi pribadi Alin. "Alin? Kamu di dalam?" tanyaku sambil mengetuk. "Alin?" panggilku sekali lagi. Karena tak ada sahutan dari dalam, aku membuka paksa pintu itu. Terkunci?

⚠️TRIGGER WARNING⚠️
⛔️ this scene below contains self harm.
readers discretion is advised ⛔️

"Alin?" panggilku takut-takut. "Alin, kamu di dalam?" lagi-lagi tak ada jawaban. Aku mulai semakin panik, hingga tanpa sadar menggedor pintu itu sekuat tenaga. Segala skenario telah bermain dalam pikiranku; memutar kemungkinan-kemungkinan buruk yang mungkin saja terjadi di balik pintu ini. Berulang-ulang kali aku memanggil nama sang adik kecil hingga abang memasuki kamar ini dengan tingkat kecemasan yang sudah tak bisa dihitung.

"Kenapa?! KENAPA?" tanya Abang dengan penuh penekanan. Tanpa sadar aku telah berlinang air mata, "Pintunya nggak bisa dibuka, Bang!" pekikku dengan gusar.

Abang langsung menyingkirkanku dari jalur tersebut. Sekuat mungkin, ia mendobrak pintu itu hingga menimbulkan bunyi yang cukup menyeramkan. Tak perlu waktu lama, pintu itu berhasil terbuka. Abang berlari masuk ke kamar mandi dengan meneriaki nama Alin. Seketika aku mengikuti langkahnya, tapi terhenti di bingkai pintu melihat apa yang ada dihadapanku. Teriakanku tak bisa langsung ditahan, aku mendekati dengan ikut memanggil namanya. Merah ada dimana-mana; mengelilingi si adik kecil. Tampak abang menemukan sumber dan menekannya, harap-harap berhenti. Penuh dengan kepanikan, abang menggendongnya hingga menuruni tangga. Tampak cairan merah itu meninggalkan jejak di lantai putih. Aku sudah tak mengerti lagi dengan sekitar, semua suara sudah terdengar samar. Yang kupandang dengan kabur hanyalah tubuh adik kecilku yang terkulai lemah. Semuanya terjadi secepat kilat, tanpa sadar aku berada di mobil yang dikendarai abang cukup cepat. Badanku menopang Alin yang terbaring tak sadarkan diri, serta tanganku memberikan sedikit tekanan pada lukanya. Dingin, hanya dingin yang kurasakan dari tubuhnya. Bajunya yang sedikit basah terkena air, memperparah semua ini. Tanpa henti aku menangiskan kehangatan, kumohon bertahanlah.

Palang khas rumah sakit telah terlihat. Seketika kendaraan ini berhenti, tenaga medis sigap menangani adik kecilku. Tak kuhiraukan lagi apa yang dilakukan abang. Alin hanya Alin yang terpikirkan saat ini. Ikut berlari, aku masuk ke unit gawat darurat hanya untuk dihentikan seorang perawat. Entah apa dikatakannya, aku hanya bisa menangis mengejar Alin. Tirai pembatas langsung ditutup, aku tak tahu apa yang dilakukan mereka pada adik kecilku. Berkali-kali aku ingin menemaninya. Namun, berakhir dengan penolakan dari mereka dan pelukan dari abang.

Kedua tangan kami masih bersimbah darah, karena enggan meninggalkan tempat. Tanpa henti aku menangis hingga udara terasa lenyap. Abang menenangkanku dengan caranya, walau wajahnya sendiri tengah berlinang. Kutarik napas dalam-dalam demi meluruskan pikiran agar bisa berdoa pada-Nya, meminta agar Alin diberikan kekuatan untuk berjuang.

Unexpectedly FoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang