[1] - chapter 13

222 44 57
                                    

"Kamu yakin hari ini mau sekolah?" tanya sang abang dengan suara pelan.

Kali ini, aku paham betul dengan maksudnya. Karena kemarin, setelah lama menangis di dekapannya. Aku kembali menghabiskan waktu tidurku untuk menulis diary sembari menangis sepanjang malam. Alhasil, mataku sembab dan susah untuk dibuka.

"Enggak juga sih, Bang ... Tapi, mau gimana lagi? Udah di depan sekolah juga."

Senyum tipis muncul di wajah Bang Ion seraya mengusap pelan rambutnya, "Tadi kan abang udah bilang, enggak usah sekolah dulu."

"Ya, itu kan tadi. Pas kinay masih mau sekolah."

"Ya udah, gini aja ... Kita pulang aja, gimana? Kamu istirahat aja dulu, biar abang bikinin surat buat sekolah," sarannya.

"Yahhh, jangan pulang—jalan aja ya."

Permintaanku berhasil mengubah raut cemasnya menjadi bingung. Ya iyalah, baru kali ini aku mengajaknya jalan. Biasanya yang hobi jalan kan dia.

Dengan senyum bak anak kecil, dia mengangguk dan mengiyakan pintaku. "Emangnya mau kemana?" tanyanya.

"Ada deh, biar kinay arahin."

"Enggak mau pulang dulu? Itu masih pake seragam sekolah."

"Gak pa-pa langsung ke sana aja, kalau ke rumah—nanti kelamaan. Yang ada keburu siang."

"Emang jauh, ya?"

"Shhh ... Abang ikut aja, jangan banyak tanya. Cepetan bawa mobilnya biar cepet sampe."

Dia tersenyum lebar seraya memfokuskan matanya pada jalan. Tentunya dengan arahanku—mengikuti setiap tuntunan yang aku berikan. Ini akan menjadi perjalanan yang cukup panjang.

~~~~~

Cuaca pagi ini begitu menenangkan jiwa. Lembutnya hangat mentari terasa seperti memeluk tubuh. Serta, segarnya wangi dedaunan memaksaku untuk memejamkan mata. Menyuruhku untuk menghela napas panjang demi menyimpan suasana ini.

Waktu yang habis digunakan untuk menempuh jalan ke sini. Akhirnya, terbayar lunas dengan indahnya pemandangan.

Aku sengaja mengajak sang sepupu ke sini karena suatu hal. Serta ada juga sedikit firasat—sepertinya dia tipe orang yang menyukai alam. Dan benar saja, sejak memasuki tempat ini, matanya tak berhenti mengagumi setiap keindahan yang alam berikan.

"Woah!" ucapnya dengan pelan.

"Gimana, Bang? Tiga jam perjalanan enggak sia-sia, kan?"

Mendengar pertanyaanku, dia langsung terkekeh pelan sembari mengangguk. Aku yang melihat jawabannya, tertular tawa. Terutama karena mengingat perjalanan tadi. Sepanjang jalan, dia sudah penasaran; mengomel enggak jelas, terutama karena jarak ke tempat ini lumayan jauh.

"Emang sepi begini ya tempatnya?" tanyanya seketika menyadari kesunyian yang menenangkan ini.

Aku mengangguk sambil mengatakan,
"Iya, emang gini."

Tak terasa langkah kaki membawaku dan menuntun aang abang ke tengah taman yang cukup luas ini. Mataku menatap gazebo yang ada di sana. Ada kolam kecil berisikan ikan mengelilingi bangunan kecil itu.

Aku dan Abang pun mendekati gazebo itu dan duduk di lantainya yang dingin. Keheningan yang nyaman tercipta di antara kita; tak ada lagi kata canggung.

Aku menunduk—mengamati bayanganku yang terpantul pada air kolam. Di situ, aku juga bisa mengamati sang abang yang masih menoleh pada setiap penjuru taman. Hingga akhirnya, ia menghentikan sunyi itu dengan pertanyaan.

"Dek, kamu sering ke tempat ini ya? Eh tunggu, nih tempat namanya apaan dah? Abang enggak ada liat plang namanya dari tadi."

Aku tersenyum kecil mendengar pertanyaan. Apa dia belum sadar? Kasih kode ajalah biar ngerti.

"Dulu sih sering ... Sekarang udah jarang. Dan, nama tempat ini Rifelin's Garden, Bang."

Kali ini, aku menoleh ke arahnya. Memperhatikan gerak-gerik wajahnya. Dan seakan baru saja tersadar, dia langsung membelalakan matanya dengan mulut terbuka.

"LAH?! Ini taman kamu punya?"

"Bunda punya, Bang."

"Eh iya iya, panteslah sepi begini. Pribadi punya. Ye, bilang napa dari awal. Abang dah bingung dari tadi, ngapa juga penjaga di depan tau nama kamu."

"Yeee, salah sendiri nanyanya enggak to the point."

"Iya iya, maaf Ndoro. Cowok selalu salah."

"Apaan sih."

Dengan itu, aku langsung mengalihkan pandanganku. Mengikuti gerak-geriknya tadi; mengamati setiap sisi tempat ini. Di sinilah, semua kenangan indah tercipta. Tempat ini telah menjadi zona penting dalam kehidupanku. Karena, inilah bukti nyata bahwa segala situasi hanyalah sementara.

Mengingat situasi, benakku terbawa pada masa kecil. Membuatku seketika menoleh pada sebuah pohon besar di ujung sana. Ada lampu yang melilitnya, walaupun sedang tidak menyala. Tumbuhan itu dihiasi karena permintaanku waktu kecil. Entah kenapa, dulu aku sangat senang memanjat dan bertengger di dahannya. Hingga suatu saat, aku tak sengaja terjatuh dari pohon itu. Dan, tentu saja hal itu membuat bunda dan ayah langsung panik; sepanik-paniknya.

Aku tersenyum kecil ketika mengingat memori usang itu. Dan tak sengaja, air mata mulai membendung. Lantas saja, aku menunduk; tak ingin Abang melihat mataku yang berlinang ini. Namun, seketika saja ia menggapai tanganku. Menggenggamnya dengan erat sambil sesekali mengelus.

Tak sekalipun aku menoleh ke padanya—tak ingin tangisku pecah seperti semalam. Aku pun kembali membisu sembari menarik napas dalam; mencoba menenangkan diri.

Hanya saja, ekor mataku mendapati sang abang menatapku sendu. Aku tau ini saatnya aku membuka mulut. Aku yakin dia sudah menyadari kenapa aku membawanya ke sini.

Tujuan utamaku ke sini adalah untuk bercerita padanya. Ingin membagi kisah masa lalu padanya. Aku juga ingin berdamai dengan gelisah dari masa lalu ini.

Jadi, inilah saatnya.
Saat di mana aku memecahkan cangkang yang penuh dengan semak hati ini. Cangkang yang memendam semua rasa sakit karena tak ingin berbagi rasa sesak ini.

Unexpectedly FoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang