Berjam-jam aku dan abang duduk dalam diam, menatapi Alin yang masih belum sadarkan diri. Keadaannya sudah lumayan membaik, warna juga mulai menghiasi air wajahnya. Hanya waktu yang ia perlukan, biarlah Alin beristirahat sejenak. Akan kutunggu ia bangun dari tidurnya. Sempat beberapa kali Abang menyuruhku pulang. Kutolak mentah-mentah, karena bagaimana bisa aku meninggalkannya sekarang?
"Nay," panggil abang. "Kamu pulang aja, istirahat, biar abang yang jagain."
Aku menatapnya tajam. "Berhenti nyuruh aku pulang."
"Nay ... Jangan gitu."
"Apa? Kenapa?" bisikku dengan marah.
"Kalau Alin bangun, ngeliat kamu—," ujarnya yang langsung kupotong sangat cepat. "Kenapa emangnya? Ini?! Ini yang disembunyiin selama ini?!" tegasku.
Aku mendekati abang yang duduk di sudut ruangan. Tak bisa menahan emosi, tapi tak ingin membuat keributan. "Apa masih perlu aku tanya kenapa? Kalau sekarang ini kenapa?! Kalau Alin kenapa? Kalau Abang kenapa?!" bisikku penuh penekanan.
"Abang nggak berhak jelasin, Nay."
"Daritadi, aku diam. Sama sekali nggak bahas masalah ini. Aku cuman mau di sini, jagain dia. Apa salah? Nay daritadi diam, Bang ... Nay nggak sekalipun nanya tentang situasi apa yang terjadi sekarang. Nay sama sekali nggak tau apa pun, nay cuman diam, Bang."
"Kamu tenang dulu, Nay," ujar sang abang seraya mencoba meraih lenganku.
"Jujur, nay muak harus begini lagi. Bolak-balik nerka hal yang nggak pasti. Harus khawatir dulu baru tau jawabannya, tapi ini nggak pa-pa. Nggak pa-pa harus terjebak disituasi kayak dulu. Karena yang terpenting saat ini adalah Alin, Bang! Nay harus mastiin dia baik-baik aja," lirihku panjang lebar.
"Abang tau, Nay. Abang bukan mau ngusir kamu ... Maaf selama ini abang jadi nempatin kamu di situasi yang sama. Abang juga terpaksa, Nay ... Abang nggak tau harus ngelakuin apa."
Aku mengangguk mengerti, karena memang situasi terasa serba salah. Sesungguhnya, ada rasa bersalah lain yang kupendam, mungkin jujur akan lebih baik ... Aku menarik napas dalam seraya duduk di sebelahnya, "Seharusnya tadi malam nay tetap di kamar ... Seharusnya nay jagain Alin. Permintaan abang cuman satu dan nay gagal ... Lihat keadaan kita sekarang, berantakan karena nay yang keras kepala ... Maafin nay, Bang. Seandainya tadi malam nay nggak turun ke kamar abang, ini nggak bakalan terjadi."
Bang Ion langsung menarik lenganku, "Enggak, bukan salah kamu. Jangan berpikir begitu! Apapun yang buat kamu berpikiran seperti itu, hilangin. Bukan salah kamu. Mengerti?"
Aku hanya mengangguk pasrah. Berusaha untuk meyakinkan diri ini dengan perkataannya, walau terkadang rasa bersalah masih menghantui. Abang masih menyuruhku pulang tanpa henti, alasannya biar aku bisa menjernihkan pikiran; istirahat dulu dan membersihkan bercak merah yang masih ada di baju.
"Tapi ... Nay mau jagain Alin, Bang."
"Gantian. Nanti kita gantian, sekarang kamu pulang dulu. Jangan sampai Alin ngeliat kamu begini," ujarnya pada penampilanku kini.
Aku mengangguk tanda setuju, sekaligus terkejut dengan sikapku yang sudah lebih tenang. Padahal baru saja tadi berdebat dengan sang abang agar tak memaksa untuk pulang. Bang Ion memberikan kunci mobil padaku dan langsung saja aku pulang tanpa ada singgah ke tempat lain. Begitu memarkirkan mobil di perkarangan rumah, mataku melirik kursi belakang mobil terdapat sedikit bercak darah. Dengan cepat aku membersihkannya sebelum memasuki rumah. Kulihat BiBi tengah mondar-mandir di ruang tengah dengan ponsel berada di telinga. Ia belum menyadari kehadiranku.
"Bi? Belum pulang?" tanyaku.
Bibi langsung menoleh ke arahku dengan wajah pucat pasi. "Ada apa?" tanyaku.
"Non, dari mana? Kenapa di atas banyak darah?" tanyanya gemetaran sambil memeriksa sekujur tubuhku. "Astaghfirullah! Bajunya kenapa banyak darah, Non! Non, kenapa? Nggak pa-pa?"
Aku memegang kedua pundak Bibi yang ketakutan, "Nay enggak pa-pa, Bi. Tadi ada sedikit ... Alin ... Alin yang luka, tapi enggak pa-pa. Sekarang udah di rumah sakit, dijagain Abang juga."
"Tapi ... Tapi ... Itu di atas, darahnya banyak banget, Non. Bibi jadi takut, mana tiba-tiba enggak ada orang di rumah."
"Udah, enggak pa-pa, Bi. Biar kinay aja yang beresin. Bibi pulang aja istirahat."
"Enggak apa, Non. Biar bibi aja yang bersihin. Non, mandi dulu, itu masih ada bercak di baju ... Non Alin benaran nggak pa-pa, kan ya?"
Aku tersenyum tipis dan mengangguk untuk meyakinkannya, karena tenagaku sudah habis untuk meyakinkan diri sendiri. Bersama Bibi, aku menaiki tangga hingga berpisah saat menuju kamar. Sejujurnya jika terpaksa aku yang harus menghapuskan semua jejak itu, aku pasti tak akan kuat. Melihat pintu kamar Alin saja aku sudah bisa merasakan genangan air di mata. Bagai mahkluk tak berjiwa, aku menyeret diri ke kamar mandi. Membersihkan diri dengan mata yang becucuran air asin. Secepatmungkin kulakukan semuanya, agar bisa bergantian dengan abang. Namun, seketika melihat kasur, aku seakan tersadar. Perlahan aku mendekati dan terduduk begitu saja. "Maaf, Lin," lirihku sambil menundukan wajah. Seharusnya aku tidak meninggalkannya tadi malam. Seharusnya aku tak seegois itu!
Baru saja aku mau meraih boneka di kasur, ponselku berdering. Panggilan masuk dari Bunda. Cepat-cepat aku menghapus semua air mata dengan tangan yang bergegar. Apa yang harus kukatakan pada Bunda?
"Halo, Nak? Kamu dimana?" tanya Bunda di seberang sana.
Aku terdiam, takut suaraku masih serak khas orang baru saja menangis. Bunda memanggil namaku lagi. Aku masih terdiam mengatur napas.
"Kinay? Sayang, suara Bunda kedengaran nggak?"
Aku berdeham dengan pelan dan menjawabnya setenang mungkin. "Iya, Bun?"
"Kamu dimana? Tadi, Bibi nelfon bunda, tapi nggak sempat diangkat. Apa ada masalah?"
Aku semakin gemetaran, bingung mau menjawab apa. Takut salah bicara, takut juga salah langkah. Aku butuh Abang.
"Kinay? Kok diam sih, Nak?"
"Itu, Bun ... Iya ... Bibi mau ngasih tau ... Itu ... Alin luka, Bun."
"Apa? Maksudnya? Jadi, gimana? Alin dimana sekarang? Abang mana?"
"Tadi nay sama abang yang bawa Alin ke rumah sakit. Mereka berdua masih di sana, nay sekarang di rumah, lagi pulang sebentar."
"Astaghfirullah, luka gimana? Banyak berdarah?"
Aku mengigit bibirku untuk menahan nangis. Sekelibat ingatan tentang tadi pagi tiba-tiba saja telintas. "Bunda pulang ya," lirihku.
"Iya, Nak. Bunda pulang sekarang ... Jadi, Alin gimana?"
Aku menghela napas panjang, "Alin enggak pa-pa, lagi istirahat di sana. Ada abang yang jagain."
"Syukurlah kalau gitu. Udah dulu ya, Sayang. Bunda dalam perjalanan ke bandara, nanti langsung ke rumah sakit. Yang dekat rumah kan?"
Sebuah jawaban iya kuindahkan padanya dan langsung mematikan panggilan tersebut. Aku bergegas keluar rumah dan langsung menuju rumah sakit. Aku segera mungkin harus memberitahukan ini pada Abang. Sambil mengendarai mobil, aku berdoa untuk Alin dan semua yang akan terjadi setelah ini. Kuharap semua akan baik-baik saja. Kuharap Abang dan Bunda bisa mengatasi situasi ini, karena aku sudah cukup terguncang dengan apa yang kulihat pagi ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Unexpectedly Found
Teen FictionKisah harapan seorang anak tunggal bernama Kinay yang kedatinya tak jauh dari kata sepi. Alur hidupnya yang menyendiri dan penuh rahasia tak sengaja terungkap oleh Derion; sang abang sepupu. Selangkah saja Derion memasuki kehidupannya, semua langsun...