[2] - chapter 18

91 8 0
                                    

Dokter dan perawat baru saja meninggalkanku dan anak ini berdua. Mereka menyuruh Kinay untuk istirahat sebentar. Sementara mereka mengobservasi jahitannya. Ya, emang belum bisa pulang juga—masih nungguin berkas dan obat untuk di rumah. Dan, tiba-tiba saja Kinay—yang tengah bersandar pada brankar—terkekeh melihat kakinya sendiri.

"Lo kenapa bisa sampe begini?" tanyaku sambil menyeringai.

Dia menoleh padaku seraya mengangkat bahunya, "Enggak tau tuh, selimutnya punya masalah sama kinay."

"Emang kenapa?"

"Jadi gini," katanya sembari menghela napas panjang. "Pas bangun tidur, enggak sengaja nyenggol lampu; ya auto pecah. Lalu ceritanya, mau kinay bersihin. Pas mau turun dari tempat tidur—Eh, taunya kaki kanan kelilit sama selimut. Jadi, kaki kiri kinay langsung nginjak ke lantai dong. Niatnya biar enggak kesungkur gitu, taunya malah ketancep," jelas Kinay tentang tragedi kakinya.

"Lalu kenapa tangan ikutan berdarah?"

"Ya, kena juga. Soalnya sempat numpu pakai tangan. Abisnya masih sempoyongan bangun tidur Bang," jelasnya sekali lagi sambil terkekeh.

Senyum tipis terpampang di wajahku, "Yak, udah bagus. Ketawanya udah nggak sambil nangis. Aneh banget dah, tadi nangis-nangis ketawa," ledekku padanya. "Berarti udah enggak sakit lagi nih?"

Dia tersenyum gemas seraya menggelengkan kepalanya dengan cepat, "Enggak. Ehhh, sakit sih. Tapi, enggak sesakit tadi, Bang."

"Oh ya udah, baguslah," ujarku merasa lega. Karena, Kinay dan luka bukan kombinasi yang cocok. Bisa-bisa bikin aku mati kepanikan.

Seraya melihat wajahnya yang mulai kembali berseri, aku jadi teringat akan satu hal. "Jadi, pas lampu pecah lo baru bangun?" tanyaku memastikan.

"Iya."

"Lo ngapain baru bangun jam segitu?"

"Kinay kan enggak sekolah."

"Lalu apa hubungannya dengan lo nggak sekolah?" tanyaku bingung.

Sambil cengengesan Kinay berkata, "Nanggung, Bang. Kinay mau nyantai; di rumah aja gitu. Kan, surat berlaku tiga hari."

Eh, surat?!

"Kemarin abang enggak ada bikin surat, Nay," tuturku dengan pelan berhasil membuatnya melotot kaget.

"Hah?! Berarti kemarin alfa?"

"Ye kan, gue sama lu terus kemarin. Mana sempat bikin begituan," belaku pada Kinay yang cemberut itu.

"Ih ya udah, sana gih. Minta surat dari rumah sakit aja. Ntar mampir sekolah," pinta Kinay.

Aku tersenyum seraya mengacak rambutnya, "Keenakan libur lu ya."

Dia pun mengangguk. "Kalau minta libur seminggu, dikasih nggak ya?" tanyanya seraya menyengir.

"Sakit apaan lo sampe seminggu nggak masuk?

"Yeee, ini kan sakit Bang, gimana sih?!" seru Kinay sambil menunjuk kakinya.

"Iya lah sakit, iya, tapi bolosnya dari kemaren," ledekku.

"Dah lah, Ab-" perkataannya terpotong ketika seorang perawat menghampiriku. Memintaku untuk menandatangani beberapa berkas sekaligus mengambil obat untuk anak kecil ini.

"Tunggu ya ... Abang ngurus itu bentar," ujarku pada Kinay yang langsung mengangguk.

~~~~~

"Piggyback dong!" rengek Kinay yang masih duduk di kursi belakang.

"Ogah," jawabku cepat seraya keluar dari mobil, berlaga meninggalkannya.

Unexpectedly FoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang