[1] - chapter 8

297 86 87
                                    

Enggak lama setelah nyari sarapan, kita langsung pulang. Tapi sayangnya, rasa ngantukku sudah lenyap. Alhasil, sofa menjadi tujuan utamaku. Sekadar untuk bersantai seraya menonton film.

Dan tentu saja, aku tidak sendirian. Bang Ion juga mengikutiku ke ruang tengah. Nih, sekarang dia ada di sampingku. Kayaknya sih, anak ini juga enggak ngantuk lagi. Padahal tadi pas nyari sarapan, dia kerap saja menguap.

"Jadi mau ke Dufan?" tanyaku pada lelaki itu tanpa menatapnya. Mataku lagi berfokus pada serial film yang sedang tayang. Ini kebiasaan hari mingguku, movie marathon gitu. Bisa seharian duduk di sini, tanpa bergerak kemana-mana.

"Jadi lah, masa enggak," jawab Bang Ion.

Aku hanya mengangguk pelan tanpa mengalihkan pandanganku. Namun, tiba-tiba saja remote yang ada digenggamanku dirampas oleh si abang yang mulai bosan itu.

"Et dah, ngapain nonton ini? Enggak seru banget," cemooh Bang Ion.

Dan, dengan enteng ia mengubah film yang sedang aku tonton. Aku yang melihat televisi itu langsung tercengang. Dengan dramatis, aku menolehnya sambil menunjukan tampang tak percaya.

"Abang!" pekikku seraya memukul lengannya.

Dia tertawa seraya menahan tanganku yang berusaha merebut remote. Tak hanya itu saja, dia juga sengaja merentangkan tangannya yang memegang barang itu, agar sejauh mungkin dari jangkauanku.

"Ih, Abang! Siniin remote-nya!" pintaku seraya menarik bajunya. "Itu filmnya bagus tau," tambahku sambil memelas.

"Ye... Udah gih, lo mandi aja sana. Siap-siap ke Dufan," seru si penganggu sembari melepaskan tanganku dari bajunya.

"Ih, apaan sih! Abang aja sana," geramku seraya berdiri.

Tinggal beberapa sentimeter lagi aku merampas remote itu, si pengganggu langsung berdiri. Membuatku mendengus kesal karena tinggi anak ini mempersulitku untuk meraih barang itu. Eh! Bukan karena aku pendek loh ya, emang dia aja yang ketinggian.

"Nih, ambil nih ... Pus pus pus sini, ambil nih," ledek Bang Ion dengan mimik tangan yang seakan memanggilku seperti kucing. Dengan cepat, aku menepis tangannya lalu mengentakkan kaki bak anak kecil yang sedang marah.

"Pus pus! Emangnya gue kucing?!"

"Siapa yang bilang lo kucing?" timpal si abang sambil sesekali mendekatkan remote itu. Tapi, lagi-lagi aku kalah cepat dengannya. Baru saja tangan ini bergerak sedikit, dia kembali menjauhkan tangannya.

"Ih, Abang enggak main lah," desisku seraya menghempaskan tubuh; kembali duduk ke sofa. Dengan wajah menekuk serta tangan yang berlipat di dada, aku menatap televisi. Mengabaikan si penganggu yang masih tertawa tak jelas itu.

"Ye, gitu aja ngambek," kata Bang Ion seraya kembali duduk di sampingku. "Nih ambil," tawarnya sambil tersenyum tipis. Dia juga mendekatkan remote padaku, seraya menepuk pelan lenganku menggunakan barang itu.

Di sisi lain, aku masih diam tak berkutik dengan pandang yang masih berfokus pada layar kaca di depan mata.

"Nay, udah dikasih ini. Ambillah," katanya dengan pelan.

Yes! Taktik marahku berhasil!

Secepat mungkin, aku beralih untuk merampas barang itu. Tapi untuk kesekian kalinya, aku kalah cepat dengan refleksnya. Dan tentunya, aku kembali menjadi bahan tawaan anak itu.

"Siapa juga yang mau ngasih?" ejek Bang Ion disela tawanya. "Akting lo ga mempan sama gue," tambahnya.

Melihat Bang Ion yang tertawa, akhirnya aku juga tak tahan untuk meneruskan akting marah itu. Alhasil, diri ini tertular dengan tawa yang sama dengannya.

"Kan enggak ada salahnya nyoba dulu, kali aja mempan," jelasku seraya menyengir.

Dia menggelengkan kepalanya seraya berkata, "Ye kan udah dibilang, enggak mempan boongin gue ... Udah khatam."

Melihat senyum sombongnya itu, aku hanya bisa melawan dengan tatapan sebal sembari menjulurkan lidah. Ya udah lah, ngalah dulu hari ini.

"Tapi serius nih, jadi gak ke dufan?" tanyaku untuk kedua kalinya.

"Ya jadi lah, makanya gue ngambil remote dari lo ... Kalau enggak gue ambil, ye mana mungkin lo mau siap-siap," lugasnya sambil menunjukan barang yang sedaritadi ingin aku rampas.

"Halah sok tau banget Abang ih."

"Ye, lu ya, meragukan gue ... Emangnya kalau gak gue ambil, lu ada niatan buat berhenti nonton?" sahutnya dengan nada menantang.

"Enggak ada sih," kataku sambil menyengir. "Mau nonton terus," lanjutku dengan jujur. Kayaknya enggak bisa bohong lagi nih, ketawan mulu.

"Nah kan bener, masih sama kaya dulu. Hapal dah gue ... Gih sana, mending lu mandi," perintahnya sambil mendorong pelan pundakku, menyuruhku untuk pergi.

"Ya lo juga lah!" sanggahku sambil berdiri. Dengan sekuat tenaga aku juga menarik tangannya. Namun, tak lama aku langsung melepaskan lengannya itu.

"Lu berat banget sih, Bang! Bantuin dikit lah. Kalau ditarik tuh; ye gerak lah," tuntutku pada Bang Ion yang terkekeh. Karena, menyetujui perkataanku. Ia menyerahkan kedua tangannya untuk kembali aku tarik. Dan, tentu saja kali ini berhasil!

"Nah gitu dong... Gih, masuk ya ke kamar. Siap-siap sono, kan mau ke Duuufaaan," seruku dari belakangnya. Karena saat ini, aku sedang sekuat tenaga mendorong Bang Ion ke arah kamarnya sendiri.

Sesaat tepat berada di depan pintu kamarnya. Bang Ion berbalik badan sambil menatapku tajam. "Awas lo lama ye," ancamnya.

"Paling lo yang lama!" sanggahku tak mau kalah.

Mendengar perkataanku, dia tersenyum seraya mengacak rambutku. Dan, tepat sesaat aku ingin memukulnya. Dia langsung kabur; masuk ke dalam kamarnya. Tak ada jawaban berarti darinya, hanya sebuah tawa yang terdengar. Membuatku menghela napas; mencoba untuk sabar. Dengan itulah, aku tersenyum kecil seraya pergi ke kamarku sendiri.

Segini ribetnya ya punya abang?

Unexpectedly FoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang