Suara pintu yang tiba-tiba terbuka tidak lagi mengagetkanku. Sudah terdengar hentakan kaki semakin mendekat daritadi. Terkaanku hanya dua, kalau bukan Alin, ya Abang.
"Sibuk nugas apaan?" tanyanya tanpa basa-basi.
"Biasa, PR."
Entah apa yang dipikirkannya saat itu, kurasa dia tak mungkin percaya. Rasanya cukup mustahil aku bisa menipunya. Secepat kilat, ia menghampiri seraya merampas pena digenggamanku. "Nggak ada ceritanya ngerjain PR kayak begitu," sindirnya ketika menyadari coretan tak penting di buku.
"Lagi nyari motivasi."
Ia mengendus malas. "Ayo, ikut," katanya sambil menarik lengan bajuku.
"Males, nggak mau keluar."
"Ngapain juga di rumah sendirian? Emang kamu udah makan?"
Aku menggeleng, "Belum ... Tapi, nanti bisa masak mie instan aja."
"Ngapain? Udah ah, cepetan ganti baju. Ikut," suruhnya sekali lagi menarikku hingga berdiri.
"Nay, nggak mau ikut, Bang!" geramku seraya menepis tangannya.
"Ini bunda yang ngajak, Nay ... Nyuruh pada ikut semua."
"Ya udah kali, bilang aja nay banyak tugas."
Abang pun menghela napas dengan kesal. "Terserah," katanya. "Abang tunggu 10 menit buat kamu siap-siap. Kalau nggak turun, langsung abang seret ke mobil," tegasnya seraya meninggalkan ruangan.
Itu dia, ancaman klasik ala Bang Ion. Bukannya aku takut, hanya saja anak itu tak pernah main-main dengan perkataannya. Jika itu yang dijanjikannya, maka pasti akan dilakukannya. Jadi, mau tak mau aku harus menyampingkan beban pikiran ini dan mengikuti alur cerita yang disiapkan oleh bunda.
~~~~~
"Alin, gimana? Kamu suka di sini?"
Ya Tuhan, kenapa bunda menanyakan hal itu. Belakangan ini, Alin memang terlihat lebih--bagaimana menjelaskannya--tenang? Adik kecil itu sudah mau memulai percakapan duluan, terutama dengan Abang. Nah ini dia, sikap pesimisku kembali. Tapi, mau gimana juga? Memang itu kenyataannya. Kedua sepupu itu lebih dekat daripada denganku, apalagi bunda. Dan menurutku, apa yang baru saja ditanyakan bunda, cukup terasa mengarah ke hal yang serius, hampir seperti diinterogasi. Tampaknya dugaanku benar, Alin hanya mengangguk tanpa jawaban.
Bunda tersenyum, "Kalau gitu, kamu mau tinggal di sini?" tanyanya membuat kami bertiga diam tak bergeming. "Loh, kenapa?" kekehnya menyadari ekspresi kami yang mendengar. "Gimana, Nak?"
Raut wajah Alin akhirnya berubah. Sirna sudah, tampang ceria Alin nan manis. Kalau perlu dijabarkan, raut wajahnya berubah seperti kali pertama aku melihatnya; seakan tak bernyawa. Hanya gelengan kepala tanda tak setuju yang diindahkan oleh adik kecil itu. Sungguh ini membuatku penasaran, kenapa bunda bertanya demikian. Penetapan waktu yang kurang tepat, serta topik pembicaraannya yang serius, rasanya cukup untuk membuat seseorang kesal. Tapi masalahnya, kenapa? Kenapa Alin cukup tersinggung dengan itu? Permainan apa lagi ini yang tak kuketahui?
Abang langsung berdeham kecil, mengusir hawa canggung ini. "Bunda, gimana? Katanya mau keluar kota lagi?" tanyanya dengan lembut. Mengubah topik pembicaraan yang sepertinya sedikit sensitif untuk si adik paling kecil.
Sepanjang makan malam, aku tak begitu peduli untuk membantu abang memangku beban pembicaraan dengan bunda. Biarlah dia yang menyetir pembicaraan itu agar tak keluar jalur batasan Alin. Karena, jujur saja, aku tidak mengetahui batasan apa yang diterapkan oleh adik kecil ini. Di sini aku hanya penonton, hanya benar-benar diam dan menikmati hidangan yang ada di hadapanku. Walau sebenarnya, beberapa kali abang melempar pandangan penuh makna, yang kurasa minta tolong untuk menetapkan topik pembicaraan, tapi peduli apa. Kehadiranku di sini terpaksa, jadi biarkan aku duduk dengan tenang dan mengamati.

KAMU SEDANG MEMBACA
Unexpectedly Found
Novela JuvenilKisah harapan seorang anak tunggal bernama Kinay yang kedatinya tak jauh dari kata sepi. Alur hidupnya yang menyendiri dan penuh rahasia tak sengaja terungkap oleh Derion; sang abang sepupu. Selangkah saja Derion memasuki kehidupannya, semua langsun...