[2] - chapter 20

88 8 0
                                    

Tepat saat mobil berhenti di halaman parkir stasiun kereta. Aku menoleh pada Kinay yang masih duduk dengan tenang. "Tunggu di mobil aja ya," ujarku.

"HAHHH?!" sergahnya kaget. Diikuti dengan pintanya yang sambil memelas, "Mau ikut."

"Kamu jalan lama."

"Ya udah, kalau gitu piggyback aja," saran adik kecilku itu.

"Males."

"Bang ... Bang Ion! Abanggg," pekiknya sesaat aku keluar dari mobil sambil berlaga seperti akan meninggalkannya.

"Napa teriak begitu?" tanyaku sesaat bertemu dengan wajahnya. "Ini kan abang mau bukain pintu kamu. Katanya mau piggyback?" ledekku sambil menyeringai.

Si Kinay langsung saja mengangguk antusias. Tak perlu disuruh, dia langsung melingkarkan lengannya di leherku. Dan begitulah, aku membawanya memasuki stasiun hingga berhenti di area kedatangan. Perlahan aku juga menurunkan anak kecil yang ada di punggungku ini.

"Dah, tunggu ya. Lo berdiri di sini aja. Jangan kemana-mana," pesanku padanya karena berniatan untuk jajan sebentar.

"Emang Abang mau kemana?" tanyanya. Belum aku menjawab dia langsung memotong cepat, "Abang juga nggak boleh kemana-mana. Gimana sih? Masa kinay sendirian nunggu di sini."

"Iye lah, iya. Nggak jadi. Abang di sini juga," ujarku mengalah.

Senyuman kemenangan kembali terlihat di wajahnya. Belakangan ini, senyum itu kerap saja muncul di wajahnya. Hal itu didukung oleh permintaannya yang selalu saja dikabulkan.

Selama menunggu kedatangan bunda, aku dan si adik kecil tak mendapati kursi kosong. Akhirnya, anak kecil itu lebih memilih untuk bersandar di sampingku sambil memeluk lenganku. Kalau dilihat dari sudut pandangku, dia seperti bergelantungan.

"Hidih, kayak monyet!" ledekku.

"Apa sih?!" serangnya sangar. "Tega banget ngeledek mulu."

"Biarin."

"Abang tunggu aja nanti ya," ancamnya. "Ntar kinay bales. Sekarang belom bisa, soalnya masih mikirin kejutan bunda," jelasnya cengengesan.

"Yaelah, itu mulu."

Bukan Kinay yang menjawab perkataanku. Justru suara bunda memanggil kami. Bunda yang baru saja menampakan batang hidungnya, tersenyum lebar. Dengan riang, ia menuntun kopernya ke arah kami.

Semakin bunda mendekat, Kinay semakin pecicilan. Dia melepaskan lenganku dan beralih memeluk bunda. Ketika kedua orang itu menikmati momen mereka. Mataku tertuju pada anak perempuan yang sedaritadi mengekori bunda. Aku mengangkat sebelah alisku, seakan bertanya tentang dirinya.

Dia yang sadar betul dengan tatapanku, hanya diam tanpa ekspresi. Wajahnya datar, tanpa senyum ataupun cemberut. Hal pertama yang aku sadari darinya adalah matanya. Kedua alat penglihatannya itu, tak ingin bertemu dengan tatapanku. Entah kenapa, sedaritadi dia mencoba untuk membuang muka.

Sesaat Bunda melepaskan pelukannya. Ia mengamati kaki dan tangan kiri Kinay. "Baru juga ditinggal seminggu udah jadi jagoan aja," canda sang bunda.

"Kan, emang dari dulu jagoan," kilah adik kecilku. "Oh iya!! Mana nih surprise buat kinay?" lanjutnya cengengesan.

"Eh iyaaa! Ini diaa," jawab bunda seraya memeluk anak perempuan yang tadi mengikutinya. "Sepupu kalian ... Taralina."

Sepupu?

Seketika saja semua pada diam. Kinay mengernyit bingung, apalagi aku. Kalau kinay begitu, jangan heran. Dia juga lupa denganku, tapi ini masalahnya; aku juga enggak tau. Seumur hidup aku belum pernah bertemu dengannya.

"Malah pada bengong," celetuk Bunda. "Kenalan dulu dong."

Seakan baru saja tersadar, Kinay langsung mengangguk cepat. Dengan mengerahkan senyuman, dia berkata, "Hai, Taralina! Aku kinay."

Karena aku masih diam, Bunda memanggilku. "Abang? Kenapa daritadi diam mulu? Kamu sakit kah, Nak?" tanya bunda mulai khawatir. Tangannya menyentuh dahiku, mengecek suhu badanku.

Langsung saja aku menyengir, "Enggak, Bunda. Abang sehat."

"Kirain sakit. Soalnya kamu diam terus ... Ini ada sepupumu, Taralina. Kenalan dulu, ya."

"Eh, iya, Tara," panggilku. "Derion," ujarku seraya menunjuk diri.

"Panggil aja Abang," potong Kinay.

Si lawan bicara, alias Taralina hanya mengangguk pelan. Lagi-lagi, hal itu membuat kinay mengernyit bingung. 'Hadohh, Bocah. Ekspresinya tahan dikit napa,' batinku.

Tak ingin membuat Taralina salah paham, aku langsung menarik lengan Kinay. Memberinya isyarat mata, berharap dia paham. Dan syukurlah, dia mengerti dan seketika terkejut. Mungkin baru sadar dengan tampangnya.

"Bunda, Tara, langsung ke mobil aja ya ... Kasian, pasti masih pada capek, kan."

Bunda tersenyum seraya mengelus rambutku, "Perhatian bener anak bunda yang ini."

Mendengar itu, adik kecilku langsung sewot. "Emangnya kinay enggak?" tanyanya, tak mau kalah.

"Iya, ini sama juga," jawab Bunda seraya mengelus kepala Kinay dan Taralina secara bersamaan.

"Bunda," panggilku. "Abang nggak bisa bawain koper ni."

"Kan bunda bisa bawa sendiri," ujar bunda bingung. Hampir terdengar seperti pertanyaan.

"Ya kan, abang nggak enak aja gitu. Masa nggak bantuin bunda."

"Oalah, ya nggak apa lah. Emang kenapa?"

"Abang gendong anak ini, Bunda," kekehku menunjuk Kinay.

Sontak saja bunda tertawa, "Manja banget ya sekarang," ledeknya sambil menyubit pipi adik kecilku.

"Ngapain manja sama Abang? Ini kan beneran sakit, Bunda," kilah Kinay.

"Lu-nya juga kesenengan kan?" tanyaku. "Eh, shhh ... Udah ... Nggak usah dijawab. Ntar lama lagi," sanggahku seraya mengalungkan lengan Kinay di leher.

Setelah Kinay aman di punggungku. Aku menuntun Bunda dan Taralina menuju mobil. Saat ini, mereka berdua mengekoriku dari belakang. Sepertinya, Bunda sedang membicarakan sesuatu dengan perempuan itu. Syukurlah jarak mereka cukup jauh. Karena, tiba-tiba saja Kinay berbisik tepat di telingaku.

"Bang ... Taralina tuh siapa?"

Aku langsung mengernyitkan bahu, "Abang nggak tau."

"Sama," lirih adik kecilku.

Kini, bisa dipastikan bahwa pikiranku dan Kinay penuh dengan kata penasaran. Dan, titik fokus kali ini terjatuh pada sosok Taralina. Hal pertama yang membuatku bingung adalah sikap murungnya. Dan, kedua adalah gelar sepupu yang disandangnya. Inilah yang membuatku sangat amat bingung. Bagaimana bisa aku sampai tidak mengenalnya?

Unexpectedly FoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang