"HAHAHA! Iya, Bun. Abang panikan banget!" adu Kinay pada Bunda. "Gini nih mukanya," lanjutnya seraya meniru tampangku waktu itu.
Saat ini, kita berempat sedang ngumpul di ruang tengah. Sang anggota baru, alias Taralina lebih memilih jadi penonton. Wajah dinginnya begitu datar. Dan di saat yang lain tertawa, dia hanya tersenyum tipis dengan canggung.
"Kamu juga, pagi-pagi udah begitu. Ya, pasti Abang panik," kekeh Bunda menggeleng.
"Nah betul, Bun! Wajar banget abang panik. Lo nangisnya mah sampe begitu!" belaku seraya menunjuk Kinay. "Gini nih, begini," lanjutku sambil meniru gaya anak kecil itu menangis. Namun, lebih didramatisir.
"Halah, lebay. Enggak gitu juga ya!" sahut adik kecilku.
"Ye, emang gitu ya!" kilahku.
"Yeee, lebih tau siapa? Kan kinay yang nangis!!"
"Kan abang yang liat," timpalku sambil menyeringai.
Hendak Kinay membuka mulutnya, Bunda langsung memotongnya dengan cepat. "Udah, udah ... Ribut mulu ya kalian berdua. Jangan-jangan nggak ada bunda, berantem tiap hari ya?" candanya.
"Enggak kok, kinay anak baik," puji Kinay pada dirinya sendiri.
"Iya, baik banget neriakin abang tiap hari."
"Yaelah, kalau pas ganti perban doang," dengus Kinay yang cemberut.
Kali ini, baru saja aku ingin membuka mulut. Bunda memotongku, "Bunda mau kabur ke kamar ajalah. Kayaknya bentar lagi ada yang mau perang." Dengan itu, ia langsung melongos pergi. Meninggalkan kita bertiga tertawa. Lebih tepatnya aku dan Kinay, si Taralina lagi-lagi hanya tersenyum tipis.
Sesaat suara pintu yang menutup terdengar oleh seisi rumah. Fokus Kinay terjatuh pada Taralina. Dia berbalik menatap dengan canggung, ada juga sedikit rasa gugup yang terlihat di matanya. Mungkin saja, dia berasa seperti orang yang akan diinterogasi. Mengingat posisiku dan kinay yang duduk bersebelahan dan Taralina duduk sendirian di seberang sana. Membuat kita bisa saling memandang.
"Kamu kelas berapa?" tanya adik kecilku dengan pelan.
"Kelas 11," jawab Taralina seraya memalingkan wajahnya. Matanya beralih melihat layar kaca yang menyala itu.
"Ohhh...." jawab Kinay canggung. Dia kemudian melempariku dengan kode tatapan; menyuruhku untuk gantian bertanya.
"Lo mau pindah sekolah ke sini?" tanyaku.
"Nggak tau," ujarnya singkat.
Jawaban Taralina berhasil membuat suasana kembali hening canggung. Kinay lagi-lagi mengode kepadaku agar kembali bertanya. Namun, saat itu aku sibuk memperhatikan Taralina. Ternyata anak itu 2 tahun lebih muda daripada kinay. Artinya kinay bukanlah adik terkecil lagi. Sekarang ada Taralina.
Kinay berdeham mematahkan keheningan, "Besok lo mau ikut nggak?" tanyanya pada Taralina.
Sontak saja pertanyaan itu menarik perhatian Taralina. Bukan hanya dia saja, aku juga. Mau ke mana anak ini?!
"Mau ke mana?" tanyaku.
"Lah kok Abang yang lupa?! Kan mau ke dokter? Malah kemaren kan Abang yang ngingatin."

KAMU SEDANG MEMBACA
Unexpectedly Found
Novela JuvenilKisah harapan seorang anak tunggal bernama Kinay yang kedatinya tak jauh dari kata sepi. Alur hidupnya yang menyendiri dan penuh rahasia tak sengaja terungkap oleh Derion; sang abang sepupu. Selangkah saja Derion memasuki kehidupannya, semua langsun...