"Nayyy ... Kinayyy ... Dekkk!" panggil sepupuku dengan berteriak dari ruang tengah hingga terdengar sampai ke kamarku.
Eh tunggu dulu, tumben banget dia memanggilku dengan sebutan adik?
Dan tak butuh waktu lama, aku pun berjalan menuruni tangga; nyamperin sang sepupu yang sedaritadi memanggilku.
"Kenapa?" tanyaku sesaat duduk di sebelahnya sembari melirik film horror yang sedang berlangsung di TV.
"Sini napa—temenin nonton."
"Lah, emang kenapa? Takut ya?"
"Ye, enggaklah. Seorang Derion takut beginian? Beh ... Mustahil."
"Iyain biar cepet," gumamku.
Aku pun terdiam, mulai menarik semua fokusku pada film yang sedang bermain di depanku. Eh, tunggu! Ambil tameng perlindungan dulu.
"Pause dulu filmnya, Bang—kinay mau ambil barang dulu di kamar."
Si abang pun mengangguk dan menghentikan film itu. Dia ikutan berdiri sesaat melihatku beranjak pergi. Awalnya aku kira mau ngikutin aku, ternyata mau ngambil camilan. Jadi, dia ke dapur, sementara aku berlari ke kamar secepat mungkin.
Dengan bergegas, aku meraih boneka panda dan kembali menuju ruang keluarga. Baru beberapa langkah aku turun dari tangga, sang abang pun keluar dari dapur dengan membawa banyak camilan. Dia tertawa melihatku memeluk boneka panda kesayanganku ini.
"Jiahhh! Bawa boneka! Kalau lu yang takut, kenapa gue yang dituduh?"
"Enggak takut ya! Jaga-jaga aja!" aku menjulurkan lidah dan langsung mencari posisi enak di sofa. Kemudian dibarengi dengan bang ion yang duduk sembari meletakan semua camilannya di meja kecil yang ada di depan kita.
Film pun kembali dimulai membuatku menatap fokus layar besar itu. Sesekali adegan seram muncul, aku mendekap bonekaku dengan erat; mungkin lebih tepatnya untuk menutup mata.
"Nay," panggil sang abang sembari menatapku yang sedang bersembunyi di belakang boneka ini.
"Apa?"
"Mau ganti film aja nggak?"
"Enggak, gak pa-pa. Abang kan mau nonton, yaaa lanjutin aja."
Dia kembali mengembalikan pandangannya pada TV. Aku mencoba mendorong rasa takut dan mengintip film itu dari sela-sela boneka pandaku. Namun, ekor mataku menangkap sang abang yang sedaritadi curi pandang padaku.
"Lo gimana, Nay?"
Pertanyaannya berhasil membuatku mengernyit. Gimana gimana? Nanya gimananya suka enggak jelas, ih.
"Maksud gimananya kayak waktu itu?"
"Iya, lo gimana? Udah mau cerita, belum?"
Aku menunduk seketika mendengar perkataannya, rasanya ingin kabur dari topik ini. Tubuh ini juga masih menolak terlihat rapuh. Tiba-tiba saja tangan Bang Ion mengusap rambutku dengan pelan.
"Gak pa-pa kalau belum mau cerita, jangan dipaksain."
Responsku hanya bisa berupa anggukan. Takut rasanya mengeluarkan suara, takut saja tiba-tiba semua sesak yang mengganjal di hati ini mengeluap begitu saja.
"Dulu pas lo pulang—gue selalu nanya sama mama. Kapan lo bakalan datang lagi," lirihnya dengan pelan. Namun, cukup terdengar olehku.
"Hampir setiap hari gue nanya dan jawaban mama selalu sama, Nay. Dia bilang kalau sebentar lagi lo bakalan pulang."
Kali ini aku terdiam tanpa suara; mendengar dengan saksama ceritanya tentangku. Mataku berfokus menatapnya sembari memeluk boneka dengan rasa penasaran yang mulai menggerogotiku.
Film yang masih terputar akhirnya terabaikan. Karena rasanya, sebuah kisah dari sepupuku lebih penting.
"Jadi, tiap hari gue nungguin lo. Tapi, perasaan gue nggak enak. Kabar dari lo ataupun bunda gak ada kedengaran sama sekali, atau mungkin mama gue aja yang enggak ada ngasih tau ... Tapi, lo tau nggak rasanya gimana?" tanyanya seraya membalas tatapanku. Sedangkan, bibirnya ditemani oleh seutas senyum sedih.
"Gue cemas banget, Nay. Lo udah jauh dari genggaman—adik gue udah jauh dari abangnya ... Gue jadi nggak tau keadaan lo gimana. Gue juga gak bisa jagain lo sebagaimana gue jagain Aldena.
"Gue ngerasa gagal jadi abang, Nay. Gue kehilangan adik gue yang paling kecil. Adik yang seharusnya gue jaga, tapi malah enggak bisa. Dan gue tau, semenjak terakhir kita ketemu—ada masalah yang buat lu jadi begini. Dan sayangnya, gue nggak ada di sini buat bantuin.
"Gu—
"Abang mau jagain kamu lagi. Mau bantu kamu biar bisa ceria kayak dulu—kembali jadi adik kecil abang yang dari dulu manja banget. Maaf, dulu abang enggak bisa nemenin kamu setiap saat. Tapi, sekarang abang di sini. Jadi, Kinay enggak usah sedih lagi ya. Kinay udah enggak sendirian."
Sesaat dia berhenti berbicara tangannya mengusap pipiku. Menghapus air mata yang tanpa sadar telah jatuh. Tanpa aba-aba, aku langsung memeluknya dengan erat; membuat mata ini semakin mengeluarkan airnya.
"Kalau kamu masih belum bisa cerita, gak apa—jangan dipaksa. Abang janji bakalan temenin kamu terus," janjinya dengan pelan sembari mengusap punggungku; mencoba menenangkanku.
Bukannya tenang, diri ini malah semakin meluapkan semua rasa yang telah dipendamnya. Topeng yang selama ini dipakai tak sengaja terlepas dan hilang begitu saja.
Setelah sekian lama mencari akhirnya dia datang, membantuku melepaskan semua gelisah di hati ini.
Tanpa sadar hatiku pun mulai merapalkan doa.
Meminta agar dirinya selalu menjagaku.
![](https://img.wattpad.com/cover/192825133-288-k728325.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Unexpectedly Found
Roman pour AdolescentsKisah harapan seorang anak tunggal bernama Kinay yang kedatinya tak jauh dari kata sepi. Alur hidupnya yang menyendiri dan penuh rahasia tak sengaja terungkap oleh Derion; sang abang sepupu. Selangkah saja Derion memasuki kehidupannya, semua langsun...