[2] - chapter 19

92 8 0
                                        

Tiga hari telah berlalu semenjak tragedi Kinay. Dan, biar kuberi tahu. Tiga hari itu bukanlah hari-hari yang tenang. Mengingat Kinay masih mengeluh kesakitan. Hal itu juga diperparah dengan mood-nya yang berkali-kali berubah. Kayak pas hari kamis; sehari setelah kakinya dijahit....

*flashback*

"Eh, astaga!" pekik Kinay tiba-tiba.

Aku mengerutkan dahi sambil menatapnya khawatir, "Napa lagi?"

"Belom kasih tau bunda," jawab si adik kecil seraya menunjuk kakinya.

Detik itu pula, wajahku menjadi pucat pasi. Karena, baru saja teringat akan janji menjaga anak kecil ini. "Ya udah, whatsapp aja," gumamku.

Kinay pun mengangguk dan meraih ponselnya. Berkali-kali dia menekan tombolnya, tapi layar kecil itu enggan menampakan sedikit cahaya. 'Bagus, alhamdulillah, baterai habis,' batinku.

"Yahhh, abis baterai," keluhnya.

"Ya udah, nanti aja."

"Sekarang aja, nanti lupa lagi ... Handphone Abang bisa nggak?"

"HP abang di kamar," jawabku sekenanya.

Si Kinay menaikan sebelah alisnya, "Lalu?"

"Males ngambilnya."

"Ambilin napa, Bang—kan dekat itu."

"Males," kelitku seraya memejamkan mata—berlaga seperti orang tidur.

"Ih, emang ya," desis Kinay sambil berdiri dari sofa. "Nggak kasian sama adek sendiri," lanjutnya seraya beranjak pergi dengan amat pelan. "Mana kaki lagi begini, disuruh jalan pula ... Tega banget jadi abang," dumelnya dramatis.

Aku pun mengerang, "Iye, iye, sini biar abang yang ambilin."

Merasa menang, Kinay pun langsung tersenyum gembira dan menghempaskan badannya di sofa. "Ya udah sana, ambil HP-nya," kekehnya.

Alhasil, aku mengalah. Kala itu, 1001 permintaannya, aku kabulin. Benaran berasa jadi jin dalam botol, tapi ya udah, nggak apa. Yang penting anak kecil itu senang.

Namun, dalam 48 jam terakhir ini. Bukan hanya itu yang membuat hari tak begitu tenang. Karena, ada lagi masalah perban—ini sih yang paling bikin heboh.

*flashback*

"ADUHHH!" pekik anak kecil itu seketika menarik kakinya.

"Iya, sabar, ini mau ganti perban doang."

"Sabar-sabar," potongnya. "Sakit tau!"

"Iya, tau, sakit. Makanya diem bentar kakinya! Gimana abang mau gantiin perban kalo kakinya lo tarik terus," protesku.

Kinay langsung mencebikan bibirnya, "Ya maaf, kaget aja ... Ini sakit beneran," lirihnya.

Aku pun menghela napas panjang, "Tahan dikit ya, bentar aja kok gantinya. Tapi, kamu jangan banyak gerak—nanti kena jahitannya gimana?" jelasku dengan pelan, berharap dia mengerti. Karena jujur saja, aku juga takut kalau dia terus bergerak tiba-tiba.

"Hmm," gumam si adik kecil. "Pelan-pelan aja."

"Lah, ini dari tadi dah pelan banget. Udah pake hati banget ngurusinnya. Emangnya mau selembut apa lagi?" ledekku.

"Ihhh, pokoknya gitu," rajuknya seraya memukul lenganku.

Aku pun mengangguk dan tersenyum tipis seraya melanjutkan kegiatan mengganti perban ini. Kali ini, kakinya udah enggak banyak gerak. Ya, walaupun suaranya mengaduh tak juga berhenti.

Unexpectedly FoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang