[2] - chapter 25

87 8 0
                                    

Tepat sudah dua minggu aku berada di sini. Siapa sangka 14 hari terakhir ini berjalan bak kilat. Rasanya baru saja aku menikmati masa liburan, tapi kini tanggungjawab telah menyapa.

Kemarin, alias hari penutupan kegabutan-ku, berjalan dengan santai. Tak begitu banyak pekerjaan yang diurus, mengingat itu hari pertamaku menjabat di kantor. Alhasil, waktuku lebih banyak dihabiskan untuk bertukar pikiran dengan Alin. Walaupun sulit, tapi ada-lah beberapa kisah kecil yang mau diceritakannya.

Ya, tentu saja aku memelas padanya untuk menemaniku ke kantor. Dan percayalah, itu bukanlah hal yang mudah. Beribu alasan keluar dari mulutnya, tapi syukurlah aku memenangi argumen.

Sebenarnya aku sengaja memintanya untuk ikut, agar tetap bisa mengawasinya. Karena jujur saja, aku mulai sangat amat khawatir. Ada sesuatu yang tertangkap oleh mata ini. Namun, lagi-lagi aku belum memiliki bukti nyata untuk memastikannya. Walau sesungguhnya, aku sangat ingin jikalau diri ini hanya salah melihat.

Dan pada hari ini, aku tengah sibuk berkutat dengan berkas-berkas. Sedangkan, Alin juga fokus bermain game pada ponselnya. Maka, inilah saat tepat untuk memastikannya.

"Lin, boleh minta tolong nggak?" tanyaku. "Ambilin map biru yang paling atas 'tu," tambahku dengan cepat tanpa menunggu jawaban darinya.

Sambil menggerutu, si Alin beranjak mendekati lemari berkas itu tanpa melepaskan pandangannya pada handphone. Tanpa menghiraukan sekitar, ia berjinjit mengambil map itu. Lengan bajunya yang panjang tampak sedikit terturun sebab ia mengangkat tangan. Dan di situlah, aku langsung mematung.

Ada saat di mana aku senang jika menjadi benar, tapi saat ini bukanlah salah satunya. Menjadi benar saat ini memiliki arti bahwa dugaanku bukanlah sekadar rumor. Bercak merah itu telah membuktikan semuanya. Enggak bisa lagi diri ini mengelak dari kenyataan.

Lidahku kelu sesaat Alin memberikan map itu. Titik fokus mataku hanya tertuju pada lengannya. Namun, sayangnya saat ini tak sepatah kata pun bisa keluar dari bibir. Bagaimana cara seseorang menghadapi situasi seperti ini? Karena jujur saja, ini kali pertama aku berada dalam posisi begini.

~~~~~

Sepanjang hari ini berlalu, aku belum bisa menentukan cara yang tepat untuk bertanya. Namun, sudah aku tetapkan kalau ini perlu diungkapkan sesegera mungkin; sebelum kekhawatiran semakin menghantuiku. Dan pada akhirnya, malam menjadi puncak hari ini.

"Alin," panggilku pada anak kecil yang memandang gelapnya langit malam. Kala itu dia sedang berada di depan pagar, duduk dengan beralaskan sendal seraya memeluk lututnya.

Dengan ragu-ragu, aku ikutan duduk di sebelahnya. "Ngapain sendirian di sini?"

"Mau liat bulan."

Aku mengangguk pada angin malam yang akan menjadi saksi semuanya. "Tadi siang abang ada ngeliat luka di lengan kamu, Lin," ujarku sangat pelan.

Dan seketika saja, Alin memandangku panik. Kuberikan senyum tipis padanya, tak ingin membuatnya merasa terganggu.

"Sejak kapan?" tanyaku. Namun, lagi-lagi tak ada suara yang keluar darinya. Hanya tatapan panik nan kosong.

"Abang khawatir, Lin."

"Aku nggak kenapa-napa," lugasnya sambil membuang muka.

"Kalau kamu nggak kenapa-napa. Ini nggak mungkin ada," kataku seraya menggenggam pelan lengannya yang tertutup baju itu. Namun, secepatkilat ditariknya. "Lin ... Ini udah terlalu jauh. Abang mau ngebantuin kamu, tapi gimana caranya kalau abang sendiri nggak tau apa-apa," sambungku.

Unexpectedly FoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang