[2] - chapter 26

86 8 0
                                    

Semenjak aku meminta Alin untuk menemui Kinay, mereka menjadi semakin dekat. Buktinya seperti kemarin, alias hari kedua Alin mengungsi di kamar Kinay. Aku kembali diusir dengan alasan girls night. Ya sudahlah, biarin aja. Aku malah bersyukur karena sekarang Kinay juga bisa menjaganya.

Sedangkan hari ini, alias hari sabtu, semua penghuni rumah tengah bersantai dikarenakan tidak adanya sekolah ataupun kantor yang menyibukkan. Namun, ketika hari beranjak siang. Bunda tiba-tiba saja mengajak Alin pergi tanpa alasan. Firasatku mengatakan bahwa ini berhubungan dengan masalah Alin di Bandung, tapi tentu saja aku tak bisa memastikannya. Apalagi karena saat ini, aku dan Kinay benar-benar tersesat—tanpa tahu apapun.

"Berasa udah lama nggak ngeliat lu. Sibuk banget ya sama sekolah?" tanyaku sesaat menghempaskan tubuh tepat di sebelah Kinay yang tengah diam menonton film.

Si adik kecil itu langsung menatapku sinis sembari menjawab, "Ya, gitulah. Namanya juga sekolah."

Aku pun mengangguk sebagai tanda mengerti. Sesaat setelah itu suasana kembali hening, tanpa sepatah kata keluar dari mulut Kinay. Hal ini berhasil membuatku mengernyitkan dahi. Awalnya aku hanya diam memperhatikannya, berharap ada respons dari sang adik kecil. Namun, hasilnya nihil. Si Kinay tampak hanya fokus pada layar kaca itu.

Pada akhirnya, aku pun berdeham mematahkan kesunyian seraya bertanya, "Kaki sama tangan gimana? Udah nggak sakit?"

"Iya, udah nggak sakit, kan kemarin udah ke dokter sama Bunda."

"Loh? Emang iya? Kok abang nggak tau?" tanyaku tak percaya.

Dia beralih menatapku malas, "Ya kan Abang di kantor," seraya mengalihkan matanya kembali pada layar.

Dan, untuk kedua kalinya, ruangan ini menjadi senyap sunyi. Akhirnya, secara tiba-tiba aku bertanya padanya, "Kamu kenapa?"

Sontak saja, dia menoleh padaku, "Ha? Nggak kenapa-napa."

"Lalu kenapa diam begitu?"

"Lagi nonton ini, Bang. Gimana sih?!"

Aku pun mengangguk berlaga percaya dan mengikuti permainannya. "Oooh gitu ... Ya udah, coba ceritain filmnya tentang apa."

Kinay langsung menghela napas pasrah, "Tadi ayah ada nelfon kinay," ujarnya. "Dan, nggak kinay angkat. Rasanya kinay masih ... Belum siap?"

"Kenapa?" tanyaku pelan.

"Kinay takut kalau dengar suara ayah, pasti bakalan langsung nangis."

"Nangis kenapa?"

Perlahan manik hitam adik kecilku mulai berbinar dengan air mata, "Itu dia masalahnya, kinay sendiri gak tau kenapa. Mau nangis karena sedih? Apa marah? Atau takut? Kinay nggak tau," jelasnya seraya bersandar dibahuku dan menghela napas dalam. "Kenapa sih masalah hati lebih susah ngurusinnya, Bang? Kenapa setiap cerita begini—kinay pengen banget nangis?" geramnya sedih.

"Nggak ada salahnya kalau kamu nangis Nay," ujarku sembari mengusap air matanya yang baru saja terjatuh. "Gini ya, Dek ... Abang selalu beranggapan kalau semua luka itu sama, sekalipun luka yang nggak terlihat," jelasku yang dibalas keheningan tanda mendengar oleh Kinay.

"Gini, biar abang perjelas ... Kemarin kan, kaki kamu luka kena beling, terus banyak keluar darah. Sakit nggak?"

"Sakit," bisiknya.

Ketika mendengar jawabannya, aku lantas mengangguk seraya melanjutkan pembicaraan, "Nah, iyakan sakit ... Lalu, kan lukanya dijahit—dikasih perban—diobatin. Perih nggak?"

Unexpectedly FoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang