[2] - chapter 17

83 9 8
                                    

Suara notifikasi tak penting membangunkanku dari tidur nyenyak. Dengan masih setengah sadar, aku duduk dan mengucek mata. Sesaat menggapai ponsel, mataku tak sengaja membulat. Ternyata waktu telah menunjukkan pukul 8 pagi.

Akhirnya sambil menghela napas, aku beranjak ke kamar mandi untuk melaksanakan rutinitas pagi. Sesaat selesai, langkah kaki membawaku menuju dapur; menyuruhku untuk mengisi perut.

Mataku dengan sengaja menjelajahi seisi rumah yang tampak sepi ini. Tak ada satupun suara yang terdengar. Awalnya, ada niatan untuk memanggil nama adik kecilku itu. Namun, tak jadi karena kurasa dia telah pergi ke sekolah.

Ya iya lah pintar, dah jam berapa ini!

Sebuah gelengan kepala aku indahkan untuk pemikiranku sendiri. Tanpa ambil pusing, aku langsung mengambil gelas di rak. Kemudian berjalan pelan menuju dispenser air.

Sesaat tinggal dua langkah, aku mendengar suara dari lantai atas. Dengan spontan, aku mematung; mencoba untuk mendengarkan suara tadi lebih jelas. Karena keadaan kembali hening, aku berinisiatif untuk mengecek lantai atas. Kali aja ada maling atau apa.

Langsung saja, aku berlari pelan ke lantai atas sembari memastikan suara kakiku tak terdengar. Pikiranku sudah mutlak memikirkan maling. Lebih tepatnya memikirkan 1001 cara untuk menangkap penjahat itu.

Namun, sesaat menjejakkan kaki di lantai dua. Suara lirihan perempuan langsung terdengar di telingaku. Membuatku langsung tersenyum tipis dan menggelengkan kepala.

"Nay? Lo nggak sekolah?" tanyaku seraya berjalan menuju kamarnya. Sesaat mendekati kamar anak itu, suara lirihan itu semakin terdengar jelas. Suaranya memanggil namaku sambil berdesis seperti kesakitan.

Sontak saja, aku tersadar bahwa sesuatu telah terjadi padanya. Dengan langkah cepat, aku memasuki kamarnya—tanpa mengetuk sekalipun. Mataku membulat dengan mulut yang ternganga ketika melihatnya.

Di situ dia; Kinay, terduduk di lantai dengan serpihan beling serta darah mengerumuninya. Tanpa pikir panjang, aku langsung mendekatinya.

Seakaan menyadari tindakanku, dia langsung mengangkat tangan kirinya yang berdarah itu; menyuruhku untuk berhenti. "Abang pakai sendal dulu," lirihnya dengan pelan seperti orang yang sedang menahan tangis.

Aku langsung mengangguk dan memakai sendal kamar berwarna pink miliknya. Dengan sigap, aku mendekati Kinay yang masih bergumam menahan rasa sakit. Luka di kaki kirinya membuatku kembali terkejut, sebuah beling tertancap di sana.

Kinay melihatku dengan matanya yang sudah berkaca-kaca. Aku tersenyum kecil; mencoba untuk tidak panik dan menenangkannya.

"Shhh ... Shh ... Kita ke rumah sakit yaa ... Abang gendong yaaa," kataku dengan tenang, karena tak ingin membuatnya semakin panik.

Dia mengangguk seraya sebulir air mata jatuh ke pipinya. Detik itu pula, aku langsung menggendong adik kecilku ini. Membawanya menuruni tangga dan membantunya duduk di kursi belakang mobil.

Aku menyetir mobil dengan wajah cemas. Mulutku seperti mati rasa, sedangkan benak dipenuhi kata panik. Hal ini didukung dengan rasa bersalah yang menjalar di dada. Mengingat janjiku pada bunda untuk menjaga anak semata wayangnya ini.

Rintihan Kinay terdengar dari belakang, memaksaku meliriknya melalui kaca spion tengah. Ada sedikit air mata yang masih turun di pipinya, mungkin saja hasil dari menahan rasa sakit. Namun, untuk keadaan seperti ini. Dia cukuplah tenang, hanya sedikit gumaman tanpa makna keluar dari bibirnya.

"Tahan bentar ya. Dikit lagi sampai," ujarku dengan pelan, walaupun aslinya panik. Beberapa kali, aku juga bersyukur pada diri ini yang suka berjalan dan mengetahui letak rumah sakit terdekat.

"Sakit, Bang..." gumam Kinay sangat pelan. Tak lama disusul dengan air mata yang mulai turun sebanyak-banyaknya. Perubahan juga mulai terdengar pada suara nafasnya, karena menahan sesenggukan.

"Iya Dek, tunggu ya. Ini udah mau sampai. Kamu jangan panik ya," jawabku seadanya—tak peduli lagi jika terdengar panik.

Suara tawa kecil muncul dari bibir Kinay. Senyum di bibirnya berbanding terbalik dengan air matanya. "Muka Abang!" celetuknya dalam sela tangis-tawanya itu. "Gitu banget paniknya," lanjutnya yang mengamatiku.

"Yeee, siapa yang panik?" kilahku. Belum sempat ia menjawab, aku langsung menoleh padanya, "Shhh, dah, diem. Dah nyampe."

Aku langsung keluar dari mobil dan menggendong Kinay. Ia mengalungkan satu tangannya di leherku. Namun, ia mulai diam—tawa kecilnya tadi telah lenyap.

Sesaat memasuki pintu UGD, seorang perawat menghampiri dengan membawa brankar. Perlahan, aku meletakan adik kecilku di brankar itu. Dengan tangan kanannya yang baik-baik saja, Kinay menggenggam tanganku.

Baru saja aku hendak mengikutinya. Sang perawat menyuruhku untuk terlebih dahulu memarkirkan mobil. Mengingat bahwa, aku hanya meninggalkan kendaraan itu tepat di pintu masuk UGD.

Kinay langsung mengeratkan genggamannya. Seakan menyuruhku untuk menemaninya. "Iya, tunggu bentar ya. Abang markir bentar, nggak lama. Janji," kataku seraya melepaskan tangannya dan bergegas keluar.

Pas sudah terparkir, aku langsung berlari pelan ke UGD. Karena tak melihatnya, aku langsung menemui seorang perawat. Dan lagi-lagi ada halangan; disuruh isi formulir dulu. Sambil mengerang kesal, aku mengangguk dan lantas mengisinya. Sesaat selesai semua, sang perawat langsung menuntunku ke area khusus tindakan bedah.

Dan, di situlah dia. Kinay yang berbaring pada brankar itu merengut padaku. "Katanya bentar," sindirnya.

Aku pun terkekeh, "Iya, iya maaf. Yang penting kan udah di sini," jawabku seraya duduk di kursi samping brankar. Tak lupa juga, untuk kembali menggenggam tangan kanannya seraya dokter dan perawat menangani luka pada kaki dan tangan kirinya.

Anak kecil itu sudah mulai tenang. Air mata di pipinya juga telah mengering. Walaupun, ada beberapa kali ia mengaduh kesakitan. Wajar saja, mengingat dia tengah diobati. Dan, hal itu cukup membuatku lega. Setidaknya, aku tau bahwa dia akan baik-baik saja.

Unexpectedly FoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang