[1] - chapter 9

303 73 108
                                    

"Ye ... Lu main kabur aja. Untung gue liat," tegur Bang Ion seraya menepuk bahuku.

Sambil cengengesan aku menoleh padanya. Tak lupa juga, menunjukkan bando berbentuk telinga leopard yang sedaritadi menarik perhatianku. Karena barang inilah, aku tiba-tiba saja pergi meninggalkannya.

"Nih, lucu kan?" tanyaku dengan riang. "Coba deh Abang pake," lanjutku seraya memakaikan aksesoris rambut itu padanya.

Seakan belum tersadar dengan apa yang aku lakukan. Dia hanya berdiam melihatku dengan tampang bingung. Melihat itu, aku langsung menepuk pipinya, "Aaaa Dedek! Gemesnya."

Sontak saja matanya terbelalak; menyadari perbuataanku tadi. Dengan sigap, dia melepaskan bando yang ada di kepalanya.

"Hidih! Apaan sih?!" protesnya.

"Yah, Dedek!" pekikku dengan bibir mulai mencebik. "Kok dicopot sih!"

Tanpa berlama-lama, aku kembali merebut bando yang ada di genggamannya. Ya, awalnya berniatan untuk kembali masangkan benda ini di kepalanya. Namun sayang, refleks Bang Ion cukup cepat dan langsung merampas aksesoris rambut itu. Dan, tentu saja dia berhasil menghalangi niatku tadi. Ih, dasar!

"Dedek-dedek! Gue abang lo," sanggah sepupuku itu. "Dah hush ... Mending lo aja yang pake. Lebih cocok ... Kalau gue make itu, berasa jadi cowok apaan," jelasnya sambil bergidik ngeri.

"Tuh kan, bener!" serunya ketika memakaikan bando itu padaku. "Dedek yang ini lebih gemes!"

Dia pun tersenyum meledek padaku seraya menyubit pipiku dengan geram. "Ih jangan cubit-cubit, sakit tau!" serangku.

Tanpa menghiraukannya lagi, aku langsung beralih mengambil ponselku. Jari-jemariku mengetuk layar kecil itu; membuka aplikasi kamera.

Biasalah, namanya juga perempuan. Nyoba dulu, ngaca dulu, baru deh dibeli...

Sesaat mataku bertemu dengan pantulannya di handphone sana. Aku langsung tersenyum tipis. Fokusku saat itu berada pada bando yang ada di kepala. Ternyata memang benar, bando ini sungguh menggemaskan. Okelah, kalau gitu. Saatnya kita bayar...

Baru saja aku hendak berjalan menuju kasir. Sepupuku itu langsung menarikku untuk pergi. Sadar dengan apa yang dilakukannya, aku langsung melepaskan tangannya.

"Ih, Abang tunggu ... Aku mau bayar dulu."

Dengan itu, aku berbalik badan menuju tempat untuk membayar bando ini. Namun lagi-lagi, dia menarik tanganku.

"Udah gue bayar tadi, lu mau bayar apa lagi?"

"Lah kapan?" tanyaku bingung. "Lu mau ngajarin nyuri yaaa," candaku sambil menunjuk ke arahnya. Dia langsung tertawa dan menepisnya.

"Ye, fitnah aja terus ... Pas lo ngaca ya gue bayar lah. Gimana sih."

Kekehan pun terselip dari bibirku sesaat melihat reaksinya. Aku pun mengangguk dan berterima kasih padanya. Yeay! Dapat bando baru nih, gratis lagi.

"Nah, kan udah gue beliin bando ... Sekarang lo temenin gue naik yang itu ya," ujar Bang Ion sambil menunjuk sebuah wahana permainan dengan jarinya. Senyuman licik juga terpanjang di wajahnya seraya menuntunku ke wahana tersebut.

Oh, no! Niat baiknya ternyata tidak begitu baik.

~~~~~~

"Udah! Kinay enggak mau lagi," kataku sambil mengatur napas yang tak tentu rudu. "Jantung udah copot; hilang—enggak tau ke mana!" terangku pada sepupuku yang cengengesan itu.

Dasar Bang Derion! Masih bisa aja tertawa! Entah dia gila atau gimana, enggak tau jugalah. Tapi, katanya wahana tadi itu 'seru'. Kalau begini jadinya, mending tinggal di rumah ajalah! Yang pertama aja udah ngajakin naik Halilintar, apalagi nanti?

"Udah ... Kinay enggak mau," keluhku sambil melepaskan bando di kepala. "Nih bandonya, ambil! Enggak kuat!" jelasku seraya menyodorkan barang itu ke tangannya.

Dia yang masih terkekeh itu langsung menggelengkan kepalanya. "Ya udah iya, naik yang adem-adem aja ... Janji dah, enggak yang serem lagi," janjinya lalu mengambil bando itu.

"Tapi ... Bandonya dipake lagi ya. Kan udah gue beliin. Kali ini enggak minta imbalan dah," ejek Bang Ion seraya memakaikan bando itu padaku. Tak lupa juga, dia sempat membenahi rambutku yang acak-acakan akibat wahana tadi.

Melihatnya yang tersenyum mengejek itu berhasil membuatku tertawa dan memukul lengannya. Biar enggak kebiasaan! Orang lagi begini malah ketawa!

"Berarti, abis ini wahana pilihan aku ya?" tanyaku sesaat ketika tawa ini mereda.

Karena tak ada penolakan dari sang sepupu, aku pun kembali bersemangat dan melupakan sensasi takut naik Halilintar itu. "Yodah, sekarang ikut aku ya!" ujarku seraya menuntunnya.

Giliran naik wahana pilihan aku ya, Bang!

~~~~~~

Saat ini langit sedang bermain dengan warna jingganya senja.  Malam sedang beranjak datang mengantikan suasana terangnya mentari. Oleh karena itu, aku dan sang sepupu beralih menuju pintu keluar. Selesai sudah waktu bermain hari ini karena tubuh sudah mulai lelah.

"Bang ... Sebenarnya Abang ke sini, ngapain sih?" tanyaku sambil menikmati es krim yang barusan saja dibeli.

"Ke Dufan atau ke Jakarta?"

"Ya, ke Jakarta lah," ujarku seraya menyipitkan mata pada sang sepupu yang sedang berjalan di sampingku itu. Ia mulai mengasal jawab saja. Karena saat ini, dia juga sedang berfokus pada es krimnya sendiri.

"Gue mau ngurusin perusahaan bokap, Nay."

"Oke jadi, anggap aja Abang ke sini karena pekerjaan ... Tapi kok, kayaknya Abang enggak ngurusin apapun, ya?" tanyaku dengan sedikit bingung. Hal ini, dikarenakan aku tak pernah melihatnya keluar rumah. Ya, kecuali denganku.

"Ya, nanti lah; mau nyantai dulu," jawabnya sambil tertawa pelan. "Baru juga lulus kuliah, Nay ... Bentar lagi lah ngurusin perusahan. Toh, perusahaannya lagi aman-aman aja; masih bisa di-handle dari jauh."

"Oh gitu ... Jadi dari dulu perusahaannya cuman dipantau dari jauh? Eh tunggu ... Emangnya umur Abang berapa?"

"Iya, paling dulu papa cuman bolak-balik aja ke sini; cuman sehari/dua hari gitu ... Dan sekarang, gue udah 22 tahun. Ya udah, orang rumah pada nyuruh ke sini," jelasnya seraya menyengir. "Emang segitu lupanya ya lo sama gue? Kita kan beda 4 tahun. Tahun ini lo 18, kan?"

Mendengar perkataannya aku pun terkekeh malu, "Iya, maaf ya ... Kinay enggak terlalu ingat, soalnya masih kecil banget."

Dengan langkah semakin pelan, aku menunduk. Karena tanpa sengaja, ada rasa tak enak terjerat di benakku. Memikirkannya yang begitu paham dengan jiwa yang kehilangan ini. Bagaimana caranya aku tak merasa begini?
Hal kecil dari dirinya saja sudah lepas dari ingatanku. Adik macam apa yang seperti ini?

Menyadari raut wajahku, Bang Ion  tersenyum tipis. "Udah ... Ngapain dipikirin?" tanyanya seraya merangkulku. "Wajar aja, kan lo masih kecil, Nay. Sekarang kan gue udah di sini ... Noh, lo puas-puasin dah ngenal gue," tambahnya sambil mengacak rambutku.

Perkataannya itu berhasil membuatku tersenyum kecil sekaligus penasaran.

Seberapa lama ia di sini? Apakah cukup waktu ini untuk kembali mengenalnya?

Unexpectedly FoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang