[1] - chapter 7

337 106 117
                                    

Lenganku memeluk erat diary ini seraya merebahkan badanku di kasur. Kedua manik hitamku berfokus memandang langit-langit kamar, dengan pikiran yang entah berlarian kemana. Terlalu banyak kejadian yang berlangsung dalam satu hari ini. Rasanya benakku masih membutuhkan waktu untuk memproses semuanya.

Mulai dari bunda yang tiba-tiba saja berangkat, hingga perkataan sepupuku itu...

Perhatian yang diberikan Bang Ion berhasil membuatku terkejut sekaligus takut. Enggan rasanya melepas topeng yang telah lama aku pakai ini. Namun, dia juga berhasil membuatku terkesima. Apakah benar dia sudah menganggapku seperti adiknya sendiri?

~~~~~~

Pagi ini tidurku tiba-tiba saja diganggu oleh ketukan pintu. "Nayyy," panggil si pengetuk pintu dengan malas. "Bangun oi, gue mau ngomong. Jangan kebo, bangon," lanjutnya seraya tak berhenti mengetuk pintu kamarku.

Risih dengan suara berisiknya, aku pun duduk sembari mengucek mata. Sesaat melihat jam, wajahku langsung menekuk tanda kesal.

Astaga!
Ada apa dengan anak ini!
Baru aja jam 6 udah gedor-gedor kamar orang.

Mendengar suara bising itu tak kunjung berhenti. Dengan malas-malasan aku menarik tubuh ini berdiri; berniatan untuk segera mengomeli si pembuat ribut itu.

Tetapi, sesaat aku berdiri. Suara dentuman buku terjatuh berhasil mengalihkan perhatianku. Mataku lansung tertuju pada diary-ku yang tergeletak di lantai. Oh alah, sepertinya tadi malam aku terlelap sambil memeluk buku ini. Dengan gerak cepat, aku langsung meraih barang itu. Kemudian, menyimpannya di tempat yang aman.

Enggak ah, enggak mau kasih tau di mana nyimpannya. Rahasia pokoknya....

Tuh kan, jadi hampir lupa!
Aku pun bergegas menuju pintu kamar dan membukanya dengan cepat. Namun tiba-tiba saja, aku dikagetkan dengan Bang Ion yang mundur beberapa langkah karena hilang keseimbangan. Posisi saat ini, punggungnya berada di hadapanku.

"Eh eh, woi!" teriakku sambil refleks memegang pundak sepupuku itu. Untung saja dia tidak menimpaku, bisa gepeng badan ini.

"Abang gimana sih?! Pakai nyender begitu. Nyari penyakit aja," geramku seraya menatap tajam pada lelaki yang berdiri di depanku ini.

"Lah, lu nya enggak bangun-bangun. Udah lama gue nunggu di sini, ye mending nyenderlah," bela Bang Ion tak mau kalah.

"Ye kalau mau nyender, kan di dinding aja bisa," timpalku seraya melipat tangan di depan dada. "Lalu, emangnya ada yang nyuruh abang bangunin gue?! Pagi banget lagi tuh," lanjutku.

Seketika saja senyum menyeringai terpajang di wajahnya, "Ada nih, insting gue yang nyuruh," candanya.

Sesaat mendengar itu, aku langsung mendengus dan menutup pintu tepat di wajahnya. Tapi sayangnya, tangan sepupuku itu sungguh cepat menahan pintu.

"Ye... canda aja kali neng. Gitu aja ngambek. Gue mau ngajak pergi," jelasnya sambil menahan pintu.

Dengan tampang tak percaya aku berkata, "Ha apaan? Mau ke mana pagi-pagi begini, ih."

Yang benar saja anak ini. Jam segini mau jalan, nyari apaan? Ganggu tidur aku aja, ih!

"Dufan aja yok," ajaknya dengan enteng.

"Lah!" pekikku seraya tercengang melihatnya. "Dufan buka masih lama; empat jam lagi. Ngapain bangunin sekarang?!" tambahku. Dan karena sudah terlampau geram, akhirnya aku mencubit lengannya. Bukannya kesakitan dia malah ketawa. Ih, bikin spaning aja pagi-pagi!

"Heh, lu lupa apa gimana? Lu siap-siap tu lama banget. Ya mending gue bangunin awal-awal aja."

"Ya udah lah terserah, mau tidur lagi. Ntar sejam lagi bangun, kinay janji," kataku dengan malas. Diri ini sudah terlalu mengantuk untuk meladeninya.

Langsung saja, aku berjalan menuju kasur dan kembali membenamkan diri dalam selimut. Tanpa menghiraukan Bang Ion yang masih berdiri di ambang pintu.

Bukannya pergi, ia malah masuk ke kamarku dan sekali lagi mengangguku.

"Yeee kebo ... Woi, Kinay ... Jangan tidur lagi Nay," perintahnya seraya menarik selimutku.

Dengan wajah kesal, aku langsung duduk di kasurku; memandang tajam ke arahnya. "Ih, Abang kenapa lagi sih?"

"Gue laper. Keluar yok, nyari makan," pintanya sambil menyengir.

Tanpa menerima jawaban, ia langsung meraih tanganku; menuntunku untuk turun ke bawah. Karena malas berdebat lagi, akhirnya aku memilih untuk menuruti permintaannya.

Bye kasurku, sampai jumpa lagi. Nanti aku lanjutin tidurnya ya.

Dengan wajah yang masih cemberut, aku menuruni tangga. Atau lebih tepatnya, masih ditarik oleh si abang. Sambil menguap, aku berjalan menunduk. Seakan baru saja tersadar, aku langsung berhenti dan melepaskan genggaman Bang Ion.

"Eh Bang tunggu, ganti baju dulu."

"Udah gitu aja gapapa, ntar lo pakai jaket gue aja. Kan bentar doang," ujarnya seraya kembali menarik lenganku.

Tepat kakiku menyentuh anak tangga terakhir. Aku langsung berlari menuju sofa di ruang tengah dan merebahkan badan di situ.

Tanpa berkata apapun. Bang Ion masuk ke kamarnya sambil terkekeh melihat kelakuanku. Dan, beberapa menit kemudian dia keluar dengan menenteng sebuah jaket. Dia sendiri juga udah pakai jaket.

"Nih, dipake," perintahnya sembari menyodorkan sebuah jaket.

Dengan saksama, aku perhatikan jaket yang sekarang ada digenggamanku. Kemudian, beralih memperhatikan jaket yang dikenakannya.

"Kok mirip?" tanyaku dengan nada bingung. Ini mata aku yang salah atau aku masih mengigau?

"Ye emang sama, Nay."

"Ngapain belinya sama gini, ih? Aneh-aneh aja," timpalku sembari memakai jaketnya.

"Suka aja, emang enggak boleh punya dua barang yang sama?" tanyanya dengan songong. Belum sempat aku melawannya, dia langsung menutup mulutku. "Eh udah ... Enggak usah dijawab, ntar lama lagi. Yok dah, mending langsung pergi," lanjutnya seraya menarik lenganku.

Aku hanya bisa terdiam memperhatikannya. Karena sekarang, benakku kembali berkeliaran bebas memikirkan hari-hariku sebelum kedatangan sepupu yang hobi jalan ini.

Betapa bedanya dengan kala itu. Hari-hari tenang nan sunyi itu perlahan sirna.

Apa mungkin, gini kali ya rasanya punya abang?

Unexpectedly FoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang