Sudah tiga hari berlalu sejak makan malam yang berujung kecanggungan itu. Dan, sudah 72 jam berlalu sejak Bang Ion mulai menghindariku. Semenjak berbincang dengan bunda, ia dengan sengaja mengabaikanku. Sepulang kantor, abang langsung menuju kamarnya tanpa banyak bicara, hanya menitip Alin padaku. Dan, Alin belakangan ini lebih memilih menghabiskan waktu di kamarku. Tanpa bersuara, hanya membaca, tapi kebanyakan tidur. Rumah kembali sunyi, apalagi Bunda sudah kembali pergi. Tiga penghuni rumah ini seperti mayat hidup, tidak sedikitpun terpancar aura kehidupan.
Saat ini, aku sedang menemani Alin yang baru saja tertidur. Sebenarnya keberadaanku di sini, tak begitu berguna. Hanya menjadi patung pajangan tanpa interaksi apapun. Alin benar-benar kembali seperti semula. Adik kecil itu hanya mau menjawab pertanyaan dan dengan cepat memutus percakapan. Jujur, aku sudah ditahan lagi. Apa sebenarnya yang terjadi?
Kupastikan adik kecil itu tertidur pulas untuk terakhir kalinya, dan beranjak pelan menuju kamar abang. Ragu-ragu aku mengetuk pintunya, sebab dua hari ini ia selalu berlaga tak mendengar apapun. Sebenarnya nyaliku sudah ciut ketika pertama kali merasakan pengabaian darinya. Tapi aku tidak bisa berhenti, tidak sebelum aku mendengar apa yang ingin dibicarakannya hari itu.
"Abang ... Nay, tahu abang belum tidur," tegasku sambil mengetuk. Melirik gagang pintu, aku memberanikan diri membukanya. Namun sayang, ternyata terkunci.
"Abang," panggilku sekali lagi.
Sunyi. Tidak ada sedikitpun jawaban darinya. Kenapa? Kenapa abang ikutan diam? Kenapa abang ikut bermain dalam permainan itu? Abang, jawab kinay...
"Abang..."
"Abang kenapa?"
"Bang?" lirihku dengan leher yang berasa tercekit. Mirip ... Sangat mirip dengan apa yang terjadi dulu. Aku kembali menghilang, menjadi insan yang tak dianggap keberadaannya. Lututku lemas, tak mampu lagi menopang beban tubuh hingga terduduk memegangi lantai yang dingin.
Memori-memori yang dulu kembali terulang seperti kaset yang rusak. Masih di rumah yang sama, dengan kejadian yang sama. Aku hanya bisa menangis, menyambut semua kenangan itu. Terkaanku terbukti; semua akan diam. Untuk ke sekian kalinya, aku menghilang, lenyap tanpa diingat.
Aku kembali ditinggalkan...
Aku kembali terlupakan...
Aku kembali sendirian...Berulang-ulang kali, suara itu memenuhi pikiranku hingga membuat raunganku pecah. Kubungkam mulut ini dengan cepat agar tidak ada suara yang terselip. Dada ini terasa sesak dengan begitu banyak amarah dan sesal.
Berhenti!
Kumohon berhenti mengingat semua itu!Lagi-lagi memori itu tidak menyerah, aku semakin mengingat detik demi detik yang berlalu kala itu. BERHENTI! teriakku dalam hati. Sebelah tangan masih membungkam mulut, dengan sebelahnya lagi sedang melampiaskan resahnya ke dinding terdekat. UDAH CUKUP! bentakku dalam hati ketika mengingat ucapan bunda dahulu.
Hatiku terasa hancur berkeping-keping pada memori itu. Bunda ... Kenapa bunda pernah berbicara sejahat itu? Raunganku tak bisa lagi dibendung, hingga terselip sedikit teriakan yang memicu amarah. Dinding dingin kala itu terasa cukup hangat untuk dijadikan target pelampiasan. Masa bodoh dengan sekitar, dinding itu lagi-lagi menyaksikan titik terendahku. Tanpa ampun, aku memukulnya dengan tangan kosong. Hingga seketika saja badanku ditarik ke dalam kamar.
Napasku menderu dengan kencang, kunang-kunang mulai berlalu-lalang di penglihatan. Kesadaranku mulai melayang, hingga badan terasa ringan. Aku tidak tertidur, hanya terkulai lemah, berjuang menarik napas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unexpectedly Found
Novela JuvenilKisah harapan seorang anak tunggal bernama Kinay yang kedatinya tak jauh dari kata sepi. Alur hidupnya yang menyendiri dan penuh rahasia tak sengaja terungkap oleh Derion; sang abang sepupu. Selangkah saja Derion memasuki kehidupannya, semua langsun...