[1] - chapter 10

260 54 66
                                    

Untuk pertama kalinya aku pergi sekolah diantar oleh sang sepupu ini. Bukan karena permintaanku, tapi paksaan darinya. Kalau dipikir-pikir, memang cukup aneh, tapi entahlah, biarkan saja.

"Nanti pulang, dijemput kan?" tanyaku saat membuka pintu mobil.

"Hidih, siapa juga yang mau jemput?"

"Siapa juga yang nyuruh nganterin?!" sanggahku seraya menutup pintu mobil dengan kesal dan beranjak menuju gerbang sekolah.

Namun, bukannya pergi. Bang Ion malah membuka kaca mobil dan meneriaki namaku.

Selamat!

Dia berhasil menarik semua perhatian siswa yang ada di sini. Dengan tampang tak percaya, aku berjalan cepat ke arahnya.

"Abang, Ih! Kenapa pake teriak kayak gituu?!" pekikku sambil berbisik. Sesekali melihat sekelilingku—memamerkan senyum tak enak.

"Siapa juga yang nyuruh main kabur begitu?!" ledeknya dengan menirukan gaya bicaraku tadi.

"Dah, ah ... Enggak main, mau sekolah," gumamku seraya berbalik badan.

Dan, baru saja satu langkah kuambil. Dia kembali memanggilku. Lagi-lagi, aku pun berhenti dan menoleh malas kepadanya.

"Iya, iya ... Canda aja kali, Neng. Pasti gue jemputlah ... Emang lo pulang jam berapa?" tanyanya yang sedang tersenyum simpul itu.

"Jam 2 kayaknya, ntar kinay chat aja."

Untuk kesekian kalinya, aku berpaling—hendak melanjutkan rencana awalku ke gerbang sekolah. Namun untuk ke sekian kalinya, dia memanggilku.

"Pamit dulu kek sama gue," candanya seraya membuka kedua tangan; meminta pelukan.

"Hidih, siapa juga yang mau meluk Abang! Dah ah, Bye ... Kinay mo sekolah," jelasku cepat.

Dengan satu lambaian padanya, aku pun segera berlari menuju gedung sekolah—meninggalkannya di situ; biar enggak dipanggil lagi.

Tanpa sadar senyum kecil terlukis di bibir ini. Ini pertama kalinya diantarin ke sekolah sama abang.

~~~~~~

Bel pulang sudah berbunyi, aku dan Rayna secepat kilat mengemaskan buku. Ingin segera keluar dari kelas yang sumpek ini.

"Nay ... Jadi gini," ujar Rayna dengan sangat pelan dan lembut. Dia juga tiba-tiba saja menggandeng tanganku.

"Lo mau apa, Ray?" tanyaku tanpa basa-basi; membuatnya cengar-cengir menatapku.

"Kan lo tau sendiri nih, gue gak enakan anaknya ... Tapi, Rayka hari ini ada latihan basket."

"Minta anterin pulang nih?" tanyaku memastikan.

"Iyaaa," ungkap Rayna sambil menggenggam lenganku.

Belum sempat aku menjawab perkataan Rayna. Seketika saja dari arah belakang—ada yang merangkulku dan Rayna. Ya ... Siapa lagi kalau bukan Bima?

Sontak saja Rayna mengambil beberapa langkah ke belakang dan melepaskan tangan Bima. Sambil cengir-cengir, Bima kembali mendekati Rayna; menggodanya habis-habisan. Aku memanfaatkan waktu sejenak itu untuk menge-chat Bang Ion, minta jemput.

"Pulang sama gue aja ya, Ray. Dijamin aman sampai rumah," pinta Bima sambil sesekali menyenggol manja bahu Rayna.

"Enggak!" bentak Rayna. "Mending pulang sama Kinay," jelasnya seraya menarik tanganku; menuntunku ke parkiran.

Aku pun menghentikannya dengan cepat, kemudian menariknya ke tempat biasa (bawah pohon).

"Hari ini gue enggak bawa motor, Ray."

Tak perlu waktu lama, Rayna pun langsung menoleh ke arahku. "Lalu lo pulang gimana? Eh, tunggu ... Gue pulang juga gimana?" tanyanya.

"Abang gue yang jemput, kalau lo mau nebeng juga boleh," jawabku dengan enteng.

Raut curiga langsung muncul di wajah Rayna, "Hah, abang? Tapi, kan lo anak tunggal, pintarrr! Eh tunggu ... Abang-abangan yaaa!"

Ekspresi di wajahnya berhasil membuatku tertawa kecil, "Apaan sih? Enggak gitulah! Ini abang sepupu gue, Ray."

Sekali lagi, Bima kembali muncul di hadapaku dan Rayna. Tapi kali ini, dia udah menaiki motornya. Sebenarnya kalau dilihat-lihat, Bima nih enggak jelek. Anaknya manis malah, ya tapi enggak ngaruh buat Rayna.

"Ray, sama gue aja gimana? Sekali-sekali bikin gue seneng napa."

Tidak henti-hentinya Bima kembali memujuk perempuan yang ada di hadapannya itu. Namun, jawabannya pun selalu sama.

"Ogah!" lugas Rayna tanpa basa-basi. Yang kuat ya, Bim!

"Nay, Bantuin gue napa? Lu matung aja terus," kali ini Bima kembali memelas padaku.

Dengan tampang malas aku menatapnya, memberikannya isyarat kalau ini enggak bakalan ngaruh. "Ray, sekali aja gih sana pulang sama Bima. Aman kok, tenang aja," jelasku pada Rayna sembari menyenggol bahunya.

"Tetap enggak!"

Ya beginilah Rayna, anaknya keras kepala. Tapi, tentu saja Bima tetap kukuh. Dia masih di sini nungguin Rayna berubah pikiran. Aku sih udah enggak peduli lagi lah ya—udah bosan lihatnya.

Tak lama kemudian, sebuah mobil hitam yang ada di seberang sana menangkap perhatianku. Benar saja, itu Bang Ion. Dia membuka kaca mobil dan mengangguk ke arahku.

Tak disangka, ternyata Rayna juga menyadari akan kehadiran sang abang. Matanya lengket menatap mobil hitam itu, atau lebih tepatnya pada Bang Ion kayaknya.

"Itu abang lo?" tanya Rayna tanpa mengalihkan pandangannya. Kemudian, disusuli dengan Bima yang mengikuti arah pandangan Rayna.

"Heh lo berdua!" panggilku seraya menepuk bahu mereka. "Ngapain ngeliatnya sampe begitu?!"

Rayna pun cengar-cengir lalu menggandeng tanganku, "Gue ikut lo ya, Nay."

Dia juga memberikan puppy eyes padaku dan menarikku ke arah mobil. Meninggalkan Bima yang memanggilnya. Rayna pun menjulurkan lidahnya pada Bima dan aku hanya bisa menatapnya iba.

Sesaat aku dan Rayna masuk ke mobil. Bang Ion menoleh ke kursi belakang—lebih tepatnya ke Rayna. Dia menunjukkan senyum nakal pada sahabatku itu. Sontak saja aku menepuk pipinya. Biar sadar!

"Heh, Abang! Jangan genit, ini temen kinay," seruku pada Bang Ion sambil memandang mereka.

Sepupuku pun hanya tertawa kecil dan membenarkan posisi duduknya. Memfokuskan matanya kembali ke depan untuk segera menyetir.

Ya, kira-kira begitulah sepanjang jalan ke rumah Rayna. Bang Ion kerap saja menggoda sahabatku itu, tentu saja aku mengomelinya. Tak lupa juga, aku menyubit lengan Bang Ion. Bikin malu aja!

Emang, gini ya kalau punya abang? Harus siap sedia ngomelin dia kalau jelalatan enggak jelas.

Unexpectedly FoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang