Esok harinya suasana menjadi sangat suram di kelas ketika aku berjalan masuk, tidak ada yang menyambutku atau sekedar mengucapkan selamat pagi, bahkan semua mata berpaling dari arahku, Melisa pun langsung diajak Eva untuk pergi keluar kelas ketika aku masuk. Mereka semua berubah hanya dalam satu hari. Awalnya aku berpikir sudah memulai awal yang baik dari kehidupan SMA-ku, meski aku tidak berharap untuk menjadi populer, tapi aku ingin memiliki banyak teman dan awalnya itu berhasil. Aku sangat senang. Tapi seperti yang kemarin Velia katakan padaku
"Maaf ya IDIOT, kepopuleranmu berakhir di sini."
Kata-kata itu terngiang di kepalaku. Coretan di dahiku sudah mulai menghilang setelah aku mandi membersihkannya dengan keras selamanan, meski ada sedikit bekas-bekas warna hitam di dahiku, tapi aku bisa sedikit menutupinya dengan poni. Pada akhirnya aku pun duduk di kursiku dan hanya dapat menatap keluar lapangan melalui jendela. Hari yang buruk.
"Selamat pagi IDIOT~" Vania tiba-tiba melompat memelukku dari arah belakang yang datang bersama dengan Velia dan kedua temannya yang lain.
"Apa yang kalian inginkan dariku?" jawabku ketus.
"Sepertinya ada yang kurang dari seragammu."Perkataan Velia membuatku memeriksa pakaian di tubuhku, dan aku merasa tidak ada yang ku lupakan.
"Kau lupa tanda pengenalmu I-DI-OT~"
Velia menyibak poniku secara tiba-tiba lalu menahan kepalaku dengan dahi yang terbuka layaknya halaman baru pada buku tulis, dan dengan spidol yang kemarin ia gunakan yang diserahkan Sarah kepadanya, ia menuliskan huruf yang kemarin ia tulis di tempat yang sama, I D I O T.
"Kau sudah gila ya." aku pun menghalau tangan Velia namun semua huruf itu sudah tertulis rapi di sana.
Dan setelah mereka menertawaiku, mereka pun pergi begitu saja tanpa berkata apa-apa. Dasar gila. Aku pun terpaksa pergi ke kamar mandi 5 menit sebelum bel masuk berbunyi, semua murid kelas lain melihatku seperti orang bodoh, entah apakah gosipku sudah mereka sebarkan ke kelas lain atau belum tapi itu semua menyebalkan. Aku mencoba menghapusnya di kamar mandi tapi tetap saja masih membekas seperti kemarin dan bertambah parah. Bel pun cepat atau lambat akan berbunyi dan dengan terpaksa aku harus kembali ke kelas dengan coretan ini di dahiku, sebisa mungkin aku menutupinya dengan poni tapi tetap saja akan terlihat.
Guru yang mengajar pun melihatku sedikit aneh, tapi tidak bertanya lebih lanjut, sepertinya entah itu guru BP atau pak guru yang kemarin melihatku sudah menyebarkan cerita ini ke semua guru, awalnya aku sering ditanyai tentang hal ini, tapi mau bagaimana pun aku tidak bisa menjawabnya dan karena mulai terbiasa, mereka hanya menatapku aneh dan terus melanjutkan pelajaran. Aku berpikir mungkin para guru sudah menganggapku sebagai orang gila yang mencoret dahinya sendiri.
Saat jam makan siang, aku mendapat perlakuan yang sama dari Eveline dan teman-temannya, perkataan yang sama seperti yang Melisa dan Eva katakan kemarin.
"Maaf, Aria, tolong jangan ganggu kami."
Aku pun mau tidak mau harus melakukannya, aku mulai mengerti perasaan mereka yang takut dengan Velia meski aku tak tahu apa penyebabnya, tapi aku tidak akan menyalahkannya, baik itu Melisa, Eva, Eveline ataupun yang lainnya yang menjauhiku karena Velia. Dan sejak saat itu pun aku mulai makan sendirian, tidak menyenangkan, tidak ada yang bisa di ajak mengobrol ataupun tertawa bersama. Tapi itu belum semuanya.
"IDIOT sedang makan apa?" Velia menggodaku saat aku sedang makan."Permisi... permisi... air panas mau lewat, oh tidak, aku tersandung." Vania dengan sengaja menyiramkan air dari botol minumnya ke nasi telurku dan berpura-pura minta maaf. "Maaf ya IDIOT, aku tidak sengaja, sebagai gantinya akan ku berikan ini." Vania melanjutkan keisengannya menggunakan botol saus sambal yang diberika sarah padanya, dan menuangkan hampir seluruh isinya ke kotak makanku sehingga tidak terlihat lagi yang mana nasi ataupun telur, semuanya berwarna merah sambal dan tak dapat di makan. "Nah, kalau begini kan jadi enak dan pas buat makanan seorang IDIOT."
Aku tidak berdiam diri setelah apa yang mereka perbuat itu, aku mencoba melawannya dan mencoba mengambil botol saus yang ada di tangan Vania.
"Beraninya kau...."
Terjadi perebutan sengit antara aku dan Vania yang menahan botolnya. Jika aku bisa menggemgamnya akan ku balas menyiram kau tubuhnya. Tapi rencana itu terhenti begitu saja, Hellen dan Velia membantunya dan mendorongku hingga jatuh ke kursiku sendiri.
"Hei, jangan main kasar dong, dia kan sudah minta maaf, dan lagi pula itu kan hanya saus."
Aku sadar aku tidak bisa melawan mereka seorang diri. Dan mereka pun meninggalkanku setelah tertawa puas. Murid yang lain hanya melihatku dan tidak berkata apa-apa. Memang lebih baik tidak mengambil risiko untuk mengorbankan tiga tahun masa SMA-mu hanya untuk hal sepele begini.
Sejak saat itu, mereka terus mulai menggangguku dan seperti sudah menjadi kebiasaan untuk mencoret dahiku dengan tulisan IDIOT setiap pagi yang terpaksa membuatku menggunakan topi untuk keluar rumah ataupun di luar lingkungan sekolah, sebisa mungkin aku mencari tempat makan siang yang tidak mereka ketahui, di lapangan, di kamar mandi, atau terkadang di atap sekolah, meski tidak jarang mereka terlalu niat dan berhasil menemukanku.
Tidak terpikir olehku untuk berpapasan dengan Velia dan grupnya ketika sendirian di kamar mandi, tanpa ragu dengan ember ia menyiramku dan membuatku basah kuyup lalu tertawa.
"Hahaha... berterima kasihlah kami sudah membantumu membersihkan diri dari kotoran itu."
Ini sudah keterlaluan. Seperti sebelumnya, aku mencoba merebut ember itu untuk membalas mereka, tapi Velia menendang perutku dan
melemparkan embernya kepadaku yang terjatuh."Kau ingin ember itu? Ambilah kalau kau bisa, Hahaha...."
Mereka semua tertawa, aku tidak tahu bagaimana nasibku selanjutnya, tapi beruntung bel masuk kelas menyelamatkanku.
"Ah sudah bel rupanya, ayo kita pergi." Ajak Velia pada yang lainnya.
Aku tidak tahu bagaimana aku akan keluar dari sini, basah dan dingin dan rasa sakit di perutku seakan aku akan pingsan sebentar lagi, pandanganku mulai hilang. Tiba-tiba seseorang mengangkat kerahku hingga aku berdiri dan kehilnangan pijakan lalu berbisik kepadaku.
"Ku mohon sadarlah, berhentilah melawan dan apa kau ini memang benar-benar IDIOT?!" itu suara Hellen, ia menegaskan kalimat akhirnya sehingga membuat mataku terbuka.
Sekarang aku mulai mengerti kenapa Velia menuliskan IDIOT pada dahiku. Aku adalah seorang IDIOT, IDIOT yang berpikir bahwa aku mempunyai teman, mungkin sejak awal ketika orientasi aku terlalu mencolok dengan tarian IDIOT itu, berpikir bahwa dengan begitu aku bisa akrab dengan yang lain tanpa tahu apa-apa, itu memang IDIOT. Aku tahu itu. Harusnya aku bergabung dengan Velia dan yang teman-temannya, harusnya begitu.
Itu lebih baik kan? Dan setelah semua ini aku berpikir untuk melawan Velia dan yang grupnya? Itu IDIOT kan?
"Hellen, kau sedang apa?" Velia yang menyadari temannya tidak mengikutinya melihat kembali ke kamar mandi.
"Tidak apa-apa." Hellen menjatuhkanku dan pergi begitu saja.Air mataku terjatuh begitu saja, bercampur dengan genangan di lantai kamar mandi yang membasahi seluruh tubuhku. Ini menyakitkan. Apa yang harus ku lakukan sekarang? Tidak ada yang bisa ku perbuat kan? Aku hanya bisa menyalahkan diriku dan menyesali semuanya, kesempatan itu sudah berlalu dan aku membuangnya sia-sia karena pikiran naif bahwa semuanya bisa berteman baik. Siapapun tolong aku. Aku hanya bisa berteriak dalam hatiku. Tapi yang paling IDIOT dari semuanya, hatiku berkata bahwa ini semua salah, aku masihlah IDIOT yang berpikir untuk terus melawan Velia bagaimana pun caranya.
Meksipun aku sendirian?
Ya, meskipun aku sendirian, aku IDIOT yang tahu bahwa seseorang yang dapat menolong diriku hanyalah diriku sendiri. Aku IDIOT yang berpikir kalau tidak melakukan apa yang harus ku lakukan meskipun yang lain tidak menyetujuinya tidak akan ada gunanya. Ya, aku ini memang IDIOT.
KAMU SEDANG MEMBACA
Idiot Aria [COMPLETE]
Roman pour AdolescentsAria, seorang gadis SMA yang hanya ingin berteman dengan semua murid di kelasnya, harus menyadari kenyataan ia tidak lebih dari sekadar murid yang dibully oleh Velia dan gengnya. Akankah keinginan Aria dapat terwujud?