"Kau ini memang benar-benar baik, tapi karena terlalu baik inilah, akhirnya kau menjadi orang yang bodoh, orang yang idiot!" Velia membentakku sambil menarik kerah bajuku yang masih terjatuh di bawah.
"Velia, sudah cukup...." Melisa mencoba menolongku, tapi Eva menepuk pundaknya dan menggelengkan kepalanya, memintanya untuk tidak terlibat lagi.
"Kau lihat kan sekarang? Padahal aku sudah berbaik hati mengajakmu bergabung denganku, tapi ini responmu?" Velia tersenyum dan menjatuhkanku yang belum sebenarnya sadar dari rasa sakit ini.Velia berjalan pergi untuk beberapa saat dan kembali dengan sebuah spidol, lalu ia sedikit menunduk dan menahan pundakku agar terus terbaring di lantai dan tanpa ragu mencoret dahiku dengan spidolnya.
"A-apa yang kau lakukan Velia?"
Aku tidak tahu apa yang ia tuliskan, tapi dari gerakannya aku bisa sedikit membayangkannya, sebuah gari vertikal lurus, lalu sebuah lingkaran, garis vertikal lagi, dan sebuah lingkaran lagi, lalu ada garis horizontal pendek dan ditutup sebuah turunan garis vertikal. Tulisan apa itu? Sebelum aku berhasil memikirkannya, Velia berdiri lalu berteriak memberi pengumuman.
"Mulai sekarang, dia adalah si IDIOT! Dan siapa saja yang berteman dengannya akan berurusan denganku! Kalian paham?!"
Seisi kelas menjadi hening dan tidak ada bereaksi baik itu perempuan ataupun laki-laki, mereka semua seakan menyetujui hal tersebut meski tidak mengenakan, dan melihat bagaimana respon anak baru lainnya, sepertinya peringatan tentang Velia juga sudah mereka dengar dari yang lain, apa ini murni kesalahanku? Karena kebodohanku?
Melihat keheningan kelas itu, Velia menganggap mereka sudah memahaminya. "Baguslah kalau kalian sudah mengerti." Ia pun kembali berbicara kepadaku dan mencoba untuk duduk. "Maaf ya IDIOT, kepopuleranmu berakhir di sini." ucap Velia yang sedikit mengelus kepalaku dan menghempaskannya ke udara lalu berjalan meninggalkanku.
Bel tanda berakhirnya jam istirahat memecah keheningan itu, aku pun berdiri dari tempatku, dan berjalan kembali ke tempat dudukku, baik Melisa ataupun yang lain tak ada yang berani menatapku dan setelah seorang guru datang aku baru menyadari bahwa aku lupa menghapus coretan Velia di dahiku.
"Aria! Apa yang terjadi padamu? Kenapa dengan pipimu yang bengkak dan dahimu itu? Siapa yang melakukannya padamu?"
Aku merasa ini kesempatanku, meski aku sudah mendengar bahwa Velia adalah cucu dari pemilik SMA Magasa ini, tapi bukan berarti ia akan terbebas dari kesalahannya bila ku beritahukan pada guru.
"A-anu, Velia yang melakukannya padaku."
Aku mengungkapkannya dengan yakin, mungkin untuk ke depannya itu hal yang berisiko tapi dengan begini paling tidak kebenaran Velia akan terungkap.
"Apa benar begitu Velia?" tanya pak guru.
"Tidak pak, dia berbohong, tanya saja pada yang lain."Aku tidak tahu darimana ia mendapat kepercayaan diri dengan berkata-kata seperti itu. Pak guru pun kebetulan bertanya kepada Melisa yang duduk di sebelahku. Dengan begini seharusnya sudah berakhir.
"Melisa, benarkah Velia melakukannya pada Aria?"
"...." Melisa terdiam untuk beberapa saat.
"Melisa?"
"Tidak pak, Aku tidak tahu apa yang terjadi pada Aria, tapi Velia tidak melakukan apa-apa."Apa-apaan ini? Kenapa Melisa menjawab seperti itu?
"Melisa! Bukankah kau melihat dia tadi menamparku saat istirahat, kenapa kau tidak mengatakan yang sebenarnya." mendengar perkataan bohong Melisa membuatku reflek berbicara.
"A-apa yang kau bicarakan, aku tidak tahu, Velia tidak melakukan apa-apa selain makan siang dengan teman-temannya saat istirahat." Melisa terus menyangkal pertanyaanku.
"Katakan yang sebenarnya Melisa!" suara pak guru sedikit meninggi.
"Benar pak! Aku tidak melihat Velia bersama dengan Aria dari tadi."Pak guru menarik nafas panjang.
"Aria, cuci dahimu sekarang dan jangan lupa untuk pergi ke ruang BP setelah pulang sekolah."
"Ta-tapi pak...."
"Jangan beralasan lagi!"Aku kehabisan kata-kata dan terpaksa mengikuti perintah pak guru. Aku melihat Velia dan teman-temannya tersenyum menyeringai di belakang sana seakan telah berhasil mengalahkanku. Ini menyebalkan. Ada apa dengan Melisa, kenapa dia berbohong seperti itu. Aku tidak dapat memikirkan alasannya. Dan yang lebih buruk lagi, coretan spidol ini tidak bisa hilang dengan sempurna meski sudah ku bilas berkali-kali dengan sabun yang ada di kamar mandi. Tulisan IDIOT yang samar-samar masih tertera dan dapat dilihat dengan mudah. Menyebalkan.
Pulang sekolah, aku pun pergi ke ruang BP, guru BP sepertinya sudah mendengar cerita dari pak guru yang tadi menyuruhku. Dan seperti yang ku duga, ia juga tidak mempercayaiku dan lebih bertanya tentang hal-hal seperti.
"Kenapa kau berbohong?"
"Apa yang terjadi dengan pipimu?"
"Kenapa kau mencoret dahimu sendiri?"
"Apa yang sebenarnya terjadi denganmu?"Memangnya siapa orang gila yang akan mencoret dahinya sendiri dengan spidol seperti ini. Aku tahu dari raut wajahnya, guru BP juga pasti kebingungan dengan semua ini, ia tidak percaya bila aku berkata Velia yang melakukannya, tapi ia juga tahu aku tidak segila itu mencoret dahiku sendiri. Meskipun aku bisa menceritakan tentang Melisa dan yang lainnya tapi aku mengurungkan niat itu, aku ingin bicara pada Melisa dan bertanya kenapa. Aku pun kleuar dari ruang BP, sekolah sudah menjadi cukup sepi setelah aku diceramahi kurang lebih 45 menit dan diberikan segelas teh manis, aku menuruni tangga dan kebetulan atau memang sudah direncanakan-aku tidak tahu-tapi Melisa dan Eva berdiri di sana sedang menungguku.
"Melisa...." Aku mencoba menyapanya duluan, Melisa menundukkan kepalanya seakan takut berbicara kepadaku setelah kejadian itu. "Maaf, aku sudah membentakmu tadi."
"Ti-tidak apa, harusnya aku yang minta maaf."
"Tapi kenapa?" aku mencoba melangkah mendekatinya tapi Eva juga melangkah maju yang membuatku mengurungkan niat untuk mendekati Melisa.
"A-aku tidak bisa, kita semua tidak bisa." Melisa mengangkat wajahnya. "Bagaimana pun, satu hal yang harus kau ingat seharusnya jangan berurusan dengan Velia, karena meski begitu pun, kau akan baik-baik saja. Jadi... Maafkan aku...." Melisa mulai menangis.
"Hei, hei, Melisa kau tidak apa-apa, tapi kenapa? Ada apa?" aku mencoba menepuk pundak Melisa untuk menenangkannya, tapi Eva menghentikanku.
"Cukup Aria, aku juga minta maaf, tapi..." Eva membuang mukanya sebelum melanjutkan kata-katanya padaku. "Tolong jangan ganggu kami lagi."
Setelah berkata begitu, Eva pun mengajak Melisa pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal padaku. Aku tidak mengerti kenapa semua menjadi seperti ini, tapi perasaanku merasa tidak enak dan sangat bersalah.Apakah aku terlalu naif dengan semua ini?
Aku hanya ingin bisa berteman dengan semuanya, itu saja. Apakah terlalu sulit agar itu terwujud? Apa memang aku yang sudah melakukan kesalahan? Kenapa mereka semua menuruti Velia? Masalah ini begitu rumit yang sulit untuk bisa ku pikirkan dan membuatku terjaga berjam-jam sebelum tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Idiot Aria [COMPLETE]
Fiksi RemajaAria, seorang gadis SMA yang hanya ingin berteman dengan semua murid di kelasnya, harus menyadari kenyataan ia tidak lebih dari sekadar murid yang dibully oleh Velia dan gengnya. Akankah keinginan Aria dapat terwujud?