Menatap langit-langit abu-abu di kamarku sendiri sambil mengelap keringat di dahi karena cuaca panas hari minggu. Luka yang membekas ini, aku merabanya dan terbayang kejadian hari itu. Wajah Hellen yang ketakutan terbayang jelas, suatu ketakutan yang seandainya aku bisa mengerti mungkin aku bisa menolongnya.
Sudah satu minggu semenjak Hellen terkena skorsing. Aku tidak tahu keadaannya, sedikit pun tidak. Apa yang akan dikatakan orang tuanya, apa dia baik-baik saja di rumah? Kalau aku ingat lebih jauh, aku tidak begitu mengetahui keadaan Hellen. Karena luka ini, hari minggu ku habiskan di rumah. Tidak bisa keluar kemana pun, komik yang ada di rak bukuku pun sudah selesai ku baca semua. Agak membosankan, menutup luka ini dengan kain yang diikat kepala akan membuatnya menjadi aneh, kalau dengan topi mungkin bisa, tapi kalau aku harus membukanya itu bisa jadi masalah yang gawat. Seminggu ini aku memanfaatkan poniku sebaik mungkin dan selalu menggunakan jaket berkupluk untuk menyembunyikannya. Itu cukup untuk pergi ke sekolah, tidak ke tempat lain.
Langit biru luas terpampang jelas dibalik jendela yang dapat kulihat langsung dari ranjangku di dalam kamar apartemen. Kira-kira apa yang sedang Hellen lakukan saat ini? Aku ingin tahu. Memegangi ponselku sambil menatap daftar kontak di dalamnya, di sana ada nama Hellen. Tapi aku tidak dapat meneleponnya, ya sama sekali tidak bisa.
Aku tidak tahu apakah Hellen akan senang bila aku hubungi.
Ya, Hellen mungkin masih membenciku, meskipun aku berniat menolongnya tapi jika memang dia menolak, apa yang bisa kulakukan? Memikirkannya semakin membuatku tidak tenang. Setidaknya aku harus bersabar untuk satu minggu ke depan sebelum bertemu dengannya lagi.
***
Di sebuah kamar rumah sakit, di hari yang sama.
"Hari ini kamu juga datang?" Seorang ibu yang terlihat berumur 40-an sedang terbaring di ranjang di dalam kamar itu seorang diri bertanya kepada Hellen.
"Ini kan hari minggu, sudah biasa kan aku datang hari ini."Di samping pintu yang baru saja terbuka, Hellen memasuki ruangan tersebut dan duduk di kursi setelah menaruh beberapa apel di atas meja.
"Ah, maaf, mama lupa hari ini hari minggu karena kamu selalu datang tiap hari belakangan ini. Sampai kapan kamu libur sekolah?"
"Minggu depan." ucap Hellen tanpa berani memandang kedua mata ibunya dan ia menyadari hal itu.
"Apa keadaan di sekolahmu baik-baik saja? Kamu tidak ada masalah apa-apa kan? Coba ceritakan saja ke mama."
"Ah... Tidak ada apa-apa kok, Lebih baik mama khawatirkan keadaan mama sendiri.
"Hahaha... maaf ya mama jadi membuatmu khawatir begitu, seharusnya setelah kita bisa tinggal berdua saja, mama bisa merawatmu, tapi sepertinya jadi mama yang merepotkanmu ya."
"Jangan bicara begitu ma...."
"Tapi... seandainya mama tidak sakit begini, mungkin kamu...."
"Cukup ma... jangan bicara seperti itu terus."Ditengah pembicaraan ibu dan anak itu, tiba-tiba seseorang mengetuk pintu, seorang wanita berjas putih datang memanggil Hellen.
"Hellen, bisa bicara sebentar?"
"Ah, baiklah." ucap Hellen setelah mendengar perkataan dokter yang baru masuk tersebut. "Mama istirahat dulu ya, apelnya jangan lupa di makan."
Setelah saling melambaikan tangan dengan mamanya, Hellen pergi keluar ruangan. Dokter menatapnya dengan tatapan serius namun berempati.
"Kau tahu kan apa yang ingin aku bicarakan di sini. Bukannya aku tidak mengerti keadaanmu, tapi seperti yang kau tahu, batas penanggungan biaya asuransi untuk penyakit ibumu akan terlampaui dalam beberapa hari lagi."
"Kapan batas waktunya dok?"
"Seminggu lagi." ucapan dokter membuat Hellen sedikit terkejut. "Maaf aku tidak bisa membantu apa-apa." setelah menepuk pundak Hellen, dokter itu pun meninggalkannya sendirian.Hellen terdiam dan berdiri di depan pintu kamar ibunya. Dengan mata berkaca-kaca ia berusaha untuk menahan tangisnya karena bila ibunya melihat keadaannya saat ini, hanya akan memperburuk keadaan. Tidak ada kerabat dekat yang bisa Hellen mintai tolong, bahkan untuk kebutuhan sekolah pun Hellen mendapat bantuan dari yayasan sekolah. Ia berusaha menyimpan semuanya rapat-rapat, segala pembiayaan administrasi ini tidak boleh sampai diketahui ibunya. Tidak boleh. Itulah yang ada di dalam pikiran Hellen. Ia mencoba menghapus air matanya, menarik nafas dalam-dalam seakan semua pembicaraan ini tidak pernah terjadi. Ia hanya berharap ada jalan keluar untuk semua masalahnya ini dan kembali ke dalam kamar ibunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Idiot Aria [COMPLETE]
Ficção AdolescenteAria, seorang gadis SMA yang hanya ingin berteman dengan semua murid di kelasnya, harus menyadari kenyataan ia tidak lebih dari sekadar murid yang dibully oleh Velia dan gengnya. Akankah keinginan Aria dapat terwujud?