Bab 8 : Chapter 3 - Teman yang Benar-Benar Teman

1.2K 136 5
                                    

Sejak saat itu, memberikan sebagian bekal makan siangku, seakan menjadi kewajiban saat aku ingin makan di atas atap sekolah yang pada akhirnya membuatku harus menyiapkan dua bekal makan siang. Sebenarnya aku bisa bilang ini salah satu penindasan lain padaku, tapi memberikan makan siang seperti sudah sering aku lakukan dulu, jadi tidak terlalu ku anggap sebagai penindasan. Di sisi lain aku mendapat panggilan baru dari Velia dan teman-temannya, ‘Idiot Bermata Satu’, ‘Bajak Laut Idiot’ atau yang seperti itu. Sebisa mungkin aku hanya mendiamkannya saja, membiarkan mereka berkata sesuka hatinya selama tidak menggangguku secara langsung.

Tapi belakangan bukan karena mereka tidak ingin melakukannya, hanya saja karena ada Jasmine di sana, yang dengan bodohnya mulai sering bertanya padaku saat masih berada di kelas dengan pertanyaan. “Makanan apa yang kau bawa hari ini?” secara tidak langsung membuat Velia tidak bisa menggangguku secara langsung, membuat keadaan ini menjadi sebuah simbiosis mutualisme yang terjadi tanpa disengaja.

“Hari ini hanya mie goreng?” tanya Jasmine yang terlihat tidak begitu senang, saat aku memberikan bekal bagiannya di atap sekolah saat jam istirahat.
“Memangnya kau ingin apa? Steak yang digarami dengan gaya? Kekayaan tujuh turunan? Kehidupan abadi?” responku kesal.
“Karage!” jawab Jasmine tanpa peduli dengan ocehanku. Sekarang aku tahu itu makanan kesukaannya.
“Baiklah, besok akan ku berikan.”
“Yeay. Aria memang orang yang baik.” Jasmine tiba-tiba tersenyum sambil melihat ke arahku. Dan ku rasa ini pertama kalinya ia menyebut namaku dengan nada yang baik. Membuatku merasa agak canggung.
“S-sudah, makan saja.” aku berusaha membenarkan ekspresiku yang agak sedikit terkejut, berpura-pura tidak terjadi apa-apa, tapi Jasmine terus menatapku. Lalu mengarahkan tangannya ke wajahku dengan tiba-tiba yang membuatku secara reflek menjauhinya. “A-apa yang kau lakukan?”

Tanpa mempedulikan kata-kataku, disertai angin yang tiba-tiba berhembus diantara kami berdua, Jasmine melepaskan penutup mataku sehingga memperlihatkan bola mataku yang memutih yang tidak dapat digunakan untuk melihat lagi serta bekas luka di dahi yang bertuliskan IDIOT, luka lama yang hanya bisa kututupi dengan poni rambutku.

Jasmine menyentuh kelopak mataku dengan lembut menggunakan jari-jarinya lalu berkata, “Aria, Kau orang yang baik, maaf ya sudah melakukan ini semua padamu.” Jasmine sedikit tertunduk sementara tangannya masih menyentuh wajahku, gerakan dan ucapannya yang mendadak itu membuatku tidak dapat bergerak ataupun merespon sama sekali sebelum akhirnya aku dapat mengendalikan diriku lagi lalu menepis tangannya.
“K-kau ini sedang demam ya?” ucapku yang belum benar-benar tenang sambil menutup kembali mata kiriku.
“Aria….” Jasmine tidak melanjutkan kalimatnya dan terus menatapku, dia terlihat berusaha ingin mengatakan sesuatu tapi tidak ada yang benar-benar ia ucapkan.

Aku pun tidak dapat menjawab apa-apa, bukan berarti aku tidak ingin menerima permintaan maafnya, tapi diriku yang saat ini tidak pernah benar-benar menganggap apa yang ku alami sebagai sesuatu yang harus di salahkan pada orang lain. Apa yang terjadi pada mataku bukanlah kesalahan Jasmine, Jasmine tidak seharusnya meminta maaf. Bekas luka di dahiku ataupun mataku yang mengalami kebutaan ini, semata-mata karena aku adalah seorang yang idiot, tidak sepantasnya aku menerima permintaan maaf darinya. Baik itu perbuatan Velia, Hellen atau Jasmine, kalau saja aku tidak mencari masalah dengan mereka, aku tidak akan mengalami semua ini. Itulah yang ku pikirkan saat ini. Tapi….

“Baiklah, aku terima permintaan maafmu.” aku harus keluar dari momen yang canggung ini.
“Aria!” Jasmine melompat ke arahku, dan memelukku hingga hampir membuat bekal kami berdua tumpah ke lantai.
“Hentikan! Sudahlah, cepat makan dan kembali ke kelas.”
“Satu lagi.”
“Apa?” tanyaku yang berusaha menyudahi ini dengan cepat.
“Maukah kau jadi temanku?” ucap Jasmine yang membuat keadaan semakin canggung terlebih saat ia sedang memelukku seperti sekarang ini. “Yah, maksudku… kita memang teman sekelas, tapi yang ku maksud adalah teman yang benar-benar teman… argh… aku susah menjelaskannya, tapi intinya seperti itu.”

Teman… kah? Untung sesaat aku jadi teringat kenanganku bersama Hellen, kejadian yang hampir sama dengan apa yang terjadi saat ini di atas atap sekolah. Apakah saat ini aku harus senang, karena aku bisa memiliki sesuatu yang disebut teman? Atau aku harus takut dengan apa yang pernah ku alami dulu? Perasaan yang bercampur aduk ini membuatku seakan terhenti dari aliran waktu sampai akhirnya aku berkata.

“Ya, baiklah, kalau dengan begitu kau bisa melepaskanku.” jawabku dengan nada datar tapi dengan perasaan bahagia yang tidak bisa ku tunjukkan.

Idiot Aria [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang