Sambil berjalan di sepanjang lorong sekolah, aku yang seperti biasanya, hendak menujur ke atas atap di jam istirahat pertama dengan bekal makan siang yang sudah ku persiapkan dari rumah untukku maupun untuk Jasmine—hanya bekal, saat ini Jasmine sudah membawa minumnya sendiri sehingga tidak perlu ku bawakan. meski sudah beberapa hari kami menjadi teman, dia selalu keluar paling cepat bahkan sebelum aku menyadarinya, tidak pernah menungguku ataupun berjalan bersama menuju atap sekolah, padahal saat jam pelajaran dia biasa memanggil-manggilku sampai diomeli oleh guru yang sedang menjelaskan.
Setelah jam pelajaran matematika yang membingungkan, terutama tentang bagaimana -3 bisa menjadi jawaban dari pertanyaan a log 729, jika diketahui a=0,111… . Aku berharap bisa makan siang dengan tenang, tapi kebingungan ini menjadi bertambah bila aku memikirkan tentang kenapa Jasmine selalu keluar paling cepat? Dan lagi, Jasmine tidak pernah terlihat saat jam istirahat kedua. Aku pernah—sebelum menjadi temannya—datang ke atap sekolah saat jam istirahat kedua, tapi dia tidak ada di sana, begitu pun saat aku berada di kelas, aku tidak melihatnya. Dan meski saat ini kami sudah berteman, kami belum pernah pulang bersama, memang bukan sebuah keharusan, tapi seperti ada sebuah alasan khusus kenapa Jasmine bisa hilang di waktu-waktu tertentu.
Tak terasa lamunanku sudah membawaku ke atas atap sekolah dimana tiba-tiba Jasmine, dari balik pintu menuju atap berteriak berusaha mengagetkanku.
“Waaa!!” teriak Jasmine dengan senyuman lebar di wajahnya, tampaknya ia sedang senang hari ini.
Tapi sayangnya pikiranku sudah sampai di titik dimana aku tidak memperhatikan sekitarku, sehingga usaha Jasmine hanya mendapat balasan datar berupa, “Apa?” ucapku sambil menatap dingin padanya.
“Ehh…. Membosankan.” Jasmine cemberut mendengar respon datar itu dan menusuk lembut pipiku dengan jari telunjuk.
Sambil duduk bersama di tempat biasa kami makan siang, aku memberikan bekal makan siang yang sudah ku siapkan, ebi furai dan nasi putih. Belakangan ini aku mulai menganggap diriku sebagai spesialis memasak gorengan dalam minyak—karena hanya itu yang bisa ku masak dengan mudah selain mie rebus atau telur goreng.
“Oh ya, Jasmine, ngomong-ngomong selama istirahat kedua dan pulang sekolah, kau pergi kemana? Aku tidak pernah melihatmu di atap ataupun di kelas.” tanyaku dengan datar.
“Eh? A-apa?” suara Jasmine terdengar gugup.
Respon yang mencurigakan. Pikirku.
“Kau menyembunyikan sesuatu ya?”
“S-sesuatu? A-apa maksudmu?” Jasmine terlihat mulai gelisah.
Ucapannya yang terbata-bata membuatku terus menatapnya dengan rasa ingin tahu yang mengintimidasi tanpa berkata apa-apa.
“….”
“J-jangan menatapku seperti itu.”Aku membuang napas. “Yasudah… lupakan saja. Kalau kau memang tidak mau cerita, juga tidak masalah.” Aku berharap dia akan menjadi merasa bersalah kalau aku berhenti karena dia tidak mau memberitahukuannya tapi…
Jasmine menarik napas lega. “Syukurlah….” Bisiknya pelan pada dirinya sendiri.
Sial. Jasmine bukan orang yang semudah itu memberitahukan rahasianya.“karena laki-laki?”
Jasmine terperanjat sebelum ia mengigit daging udang dengan garpunya. “B-bagaimana kau bisa tahu? Bukan! A-apa maksudnya laki-laki? Tidak, bukan seperti itu! A-aku tidak sedang menyukai siapa-siapa. Hahahaha… Lupakan yang aku katakan, j-jadi ada apa dengan laki-laki? Aku tidak tahu maksudmu.”
Aku menarik kembali kata-kataku sebelumnya.
“Ehh…. Ternyata Jasmine….” ucapku dengan nada meledek.
“Jangan! Jangan katakan. Memangnya kalau aku ini atlit aku tidak boleh menyukai seseorang?”
“Aku belum bilang apa-apa kok.”
“Ehh? Maafkan aku.” Jasmine menutupi wajahnya yang merah dengan kedua tangannya.
“Jadi, siapa?”
“Kakak kelas, kelas 2-B, dulunya kami satu SMP dan sama-sama latihan karate, itulah kenapa aku bisa kenal dengannya, kami memang tidak terlalu dekat, bahkan aku baru tahu kalau dia pindah ke sekolah ini pada kelas 2, aku yang sudah mendaftar di sekolahnya yang sebelumnya terpaksa pindah setelah 1 semester.”
“Aku tidak menyangka Jasmine, gadis yang romantis.”
“A…apa-apaan responmu itu.” Jasmine yang marah dengan malu-malu terlihat imut di mataku.
“Eh? Suaraku keluar?”
“Kau meledekku lagi kan? A-aku tahu ini memalukan, tapi kau tidak perlu terkejut seperti itu juga.” Jasmine memiting leherku.
“Ahahaha… maafkan aku. Sudah… sudah… hentikan. Lagipula wajar saja kan kalau kau menyukai seseorang, kenapa harus malu?”
Jasmine terdiam dan melepaskan pitingannya. “Te-terima kasih….” Jawabnya dengan malu-malu lalu kembali pada makanannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Idiot Aria [COMPLETE]
Fiksi RemajaAria, seorang gadis SMA yang hanya ingin berteman dengan semua murid di kelasnya, harus menyadari kenyataan ia tidak lebih dari sekadar murid yang dibully oleh Velia dan gengnya. Akankah keinginan Aria dapat terwujud?