25. Don't Call Me "Rey"

12.6K 1.5K 110
                                    

"Gue sudah melepas mawar putih dan kini gue sudah memilih mawar merah. Because everyone has the right to choose."


***


Jeffrey

Ketika ada seseorang di masa lalu yang mencoba untuk mengetuk pintu hati lo dengan sangat amat perlahan dan hati-hati, apa yang akan lo lakuin? Membukanya kembali atau akan tetap menguncinya rapat-rapat?

Jawaban gue adalah, gak tau.

Karena pasalnya bagi gue dia hanya datang untuk sekedar menyapa dan meminta gue untuk membantu menyelesaikan masalahnya bukan untuk mengetuk pintu hati gue lagi.

Ketika dia yang berulang-ulang kali menelpon gue sedari pagi dan membuat gue kalang kabut sendirian. Karena di satu sisi, gue berjanji untuk membantu menyembuhkan Papi-nya tanpa iming-iming syarat atau apapun dan di sisi lain, sifat manja Kinanti yang gak terduga itu justru membuat gue terkejut dari hari ke hari.

Iya, tadi juga dia merenung memberi tau gue fakta bahwa Rafa anak didiknya itu adalah adik dari masa lalunya, –Johnny.

Bukannya gue berlagak seolah gak peduli, hanya saja, situasinya sangat tidak memungkinkan untuk gue membahas tentang ini dikala hp gue yang terus menerus bergetar dan tak memberi jeda sedikitpun.

Saat gue berjalan menelusuri jalanan Jakarta pagi itu gue langsung pergi ke rumah Putri untuk menemuinya.

"Iya, Put. Aku kesana sekarang," ucap gue langsung memutuskan sambungan telponnya dan menancapkan pedal gas menuju rumahnya.

Rumahnya gak jauh dari rumah sakit tempat gue praktek.

"Papi kamu gak apa-apa. Tadi aku kasih dia obat penenang biar gak terus-terusan histeris." jelas gue sembari menghampiri Putri yang berada di halaman belakang.

Kebiasaannya menyiram bunga sambil melamun masih belum hilang.

"Put?" panggil gue, "Papi kamu gak apa-apa. Dia udah tidur sekarang."

Putri langsung menoleh kearah gue, dia sempat menghapus air matanya sejenak lalu menyimpan termos air yang dia pegang untuk menyiram bunga.

"Hah? Iya, Rey. Makasih ya."

Gue terduduk di sebuah bangku kayu panjang yang sudah tersedia di sebelah pintu. Lalu dia mengikuti gue, duduk di sebelah gue.

Setelah hampir 3 tahun, ini pertama kalinya kita duduk bersebelahan tanpa penghalang seperti ini. Karena biasanya ada meja besar yang menghalangi gue dan dia. Kali ini gak ada.

"Udah lama ya, Rey. Udah lama sejak kita pisah, dan baru sekarang kita bisa duduk sebelahan lagi kayak gini."

"Rasanya kangeeeeen banget hahahahaha,"

Dia masih mengira gue sendiri.

"Dulu waktu aku sama Lucky masih jadi suami istri, aku gak pernah ngerasa kayak gini. Kenapa sama kamu bisa ya? Hahahahahahahah," dia terus-terusan tertawa. Dan semakin banyak tawa yang dia tunjukan, semakin jelas rasa sakit yang terlihat di wajahnya.

"Put?" panggil gue dengan sangat hati-hati.

Dia berdehem tanpa menoleh kearah gue.

"Jangan panggil aku Rey lagi ya..?" kali ini dia menoleh bahkan menatap gue hampir 3 detik tanpa kedip. Raut wajahnya datar saat itu.

Namun, "Kenapa?" suaranya sangat parau seperti tidak minum seharian. Dia kembali mengalihkan pandangannya kearah lain.

Gue diam. Gak memberi jawaban.

More | JJH ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang