28. Isn't Hallucination

12.1K 1.5K 77
                                    

"Jadi gimana? Sudah tau siapa yang layak buat lo perjuangin?" –Ami.



***


Kinanti

Lo tau gak kalo semakin dalam lo jatuh untuk seseorang, maka kemungkinan lo untuk hancur itu semakin besar. Dan kehancuran itu akan datang pada saat-saat yang gak lo sangka. Dan ketika saat itu datang, lo bakal lebih sering menangis dari pada tersenyum.

Sama kayak gue sekarang.

Dari awal gue bukannya menutup hati untum Jeffrey, melainkan gue sedang memantapkan hati gue sendiri untuknya dan menemukan mana waktu yang tepat untuk gue menjatuhkan hati gue padanya.

Tapi ternyata, gue lengah. Gue jatuh tanpa memikirkan akibat lain dari bahagia adalah terluka.

Gue jatuh di waktu yang salah. Bukan waktunya yang salah, tapi guenya yang ceroboh.

Saat Jeffrey lebih memilih untuk pergi dari pada menghampiri gue, saat itu gue baru sadar, betapa besarnya arti masa lalunya dari pada gue.

Bukannya gue munafik atau gimana, hanya saja, disini posisinya, gue sudah hampir sepenuhnya melupakan masa lalu gue, namun, masa lalu miliknya datang di saat gue ingin merajut masa depan dengannya.

Hahahahaha. Dunia memang sebajingan itu bukan?

Jangan berharap pada apa yang lo kira baik. Karena semuanya itu bisa saja hanya topeng.

Sore itu gue langsung menelpon Ami. Karena gak mungkin kalo gue nelpon Mama apalagi Ibu.

Dering ke dering Ami cukup lama mengangkat telpon gue kali ini. Gak seperti hari-hari kemarin saat minggu pertama dia di Kuala Lumpur.

Ini hampir telpon gue yang ke-4 dan gue hampir menyerah, namun ternyata di dering ke-3 Ami mengangkat telpon gue.

"Halo, kenapa sih Nan? Gue lagi ribet nih."

Gue gak menjawab apapun saat itu, tapi suara tangis yang sedari tadi gue tahan malah gak bersahabat dengan gue. Iya. Tangisan gue pecah ketika mendengar suara Ami dari seberang sana.

"Loh, loh? Lo kenapa deh? Kok nangis?" tanyanya bertubi-tubi, "Bentar gue matiin kompor dulu."

Beberapa detik kemudian suaranya muncul lagi, "Kenapa beb? Ada apa?" tanyanya dengan nada perhatian.

"Jeffrey, Mi.. Jeffrey.." baru 3 kata, bukannya berhenti menangis, tangisan gue justru malah makin menjadi.

"Aduuuuh, kenapa? Kenapa?" lanjutnya, "Yaudah deh nangis aja dulu, gak apa-apa,"

Gue menangis hampir 3 menit full dan Ami hanya terdiam mendengarkan tangisan gue dari balik layar hp nya.

Sampai akhirnya gue terdiam sendiri lalu Ami bertanya lagi, "Udah? Kenapa siiiih?"

"Lo inget gak waktu lo suruh gue buat belajar nerima dia?"

"Ehemm?"

"Sekarang gue udah bisa nerima dia, Mi."

"Ya bagus lah. Kenapa lo nangis? Apa yang perlu di tangisin?"

Gue terdiam sejenak, "Mantannya dateng lagi ke hidup dia, Mi." ucap gue sambil menitihkan air mata.

"Terus?"

"Tadi pas gue tanyain soal cewek itu dia malah bilang—"

"Bilang apa?" potong Ami dengan cepat.

More | JJH ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang