Gadis yatim piatu

77.4K 2.2K 17
                                    

Awan mendung sore itu tidak membuat cemas seorang gadis yang tengah melantunkan doa dan ayat-ayat suci di depan pusara kedua orangtuanya. Dengan ditemani salah seorang sahabatnya, dia masih setia berdoa dan seakan tidak ingin pergi dari tempat peristirahatan kedua orangtuanya.

Gadis itu sangat merindukan sosok umi dan abahnya yang sudah selama 7 tahun ini meninggalkan dirinya. Air matanya kembali berlinang saat ingatan tentang kejadian 7 tahun lalu kembali hadir. Saat dia masih duduk di kelas 5 SD, kedua orangtuannya mengalami kecelakaan yang merenggut nyawa mereka dan lebih tragisnya lagi, uminya sedang mengandung calon adiknya.

"Ning Biya, pulang sekarang?" Tanya Fahma sambil berdiri

"Iya!" Jawab Biya lalu mengejar langkah sahabatnya.

Biya dan Fahma berjalan menuju komplek pondok putri yang tak jauh dari makam. Mereka banyak bercanda, karena pada dasarnya Biya seorang yang ceria.

"Aku itu heran sama Sampeyan Ning! "

"Kenapa? Sudah bilang jangan panggil begitu, panggil nama saja lah!"

Fahma tertawa pelan sebelum menjawab. "Kamu cepat berubahnya, tadi pas ziarah bisa sampai nangis, sekarang sudah ketawa!" Jelasnya dan membuat Biya ikut tertawa lagi.

"Kata Abah Ahmad begitu kan, enggak boleh lama-lama sedih."

"Iya sih! Oh iya Biya jadi kapan berangkat Bandung?"

"Masih bulan depan."

"Wah kita pisah dong kita? "

"Iya sedih aku! Tapi aku bakal sering-sering buat ikut Mbak Zara pulang, kamu masih tetap di sini kan?"

"Doain istiqomah ya! Pesan umi sama abi aku harus ikut Abah Ahmad sampai nikah."

"Amin, saling mendoakan ya Fah! "

Fahma seperti belum rela berpisah dengan sahabatnya itu, dia ingin berlama-lama menghabiskan waktu sebelum Biya merantahu ke Bandung.

"Kamu sudah rela ninggalin Mas Royyan? Dengar-dengar kamu mau dilamar setelah pertemuan di toko itu?"

"Sembarangan, jangan bikin gosip begitu lah!"

Fahma malah semakin tertawa melihat Biya yang malu-malu dan menimbulkan semburat merah di wajahnya.

"Ciyee, malu!!"

"Sudah ah, jangan gosip. Sudah sampai kamar, aku masuk ndalem dulu ya, terimakasih sudah ditemani ziarah."

"Siap nona cantik, aku mau antri mandi saja."

"Kalau banyak antrinya mandi di dalam saja, enak!" Tawar Biya sambil tersenyum lembut.

"Kalau enak enggak mungkin kamu malah sering ngantri di sini, Biya!!"

Biya hanya tertawa karena mmemang benar dia lebih suka bersusah-susah antri di kamar mandi pesantren, tentunya kalau sedang tidak buru-buru.

Setelah berpamitan dengan Fahma, Biya bergegas masuk menuju rumah Abah Ahmad. Ahmad Mustofa Abdullah adalah kakak kandung dari Muhammad Syafa Abdullah abah dari Biya. Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Al-Anwar Semarang. Setelah kedua orang tuanya meninggal, Biya diasuh dan dirawat oleh Abah Ahmad dan istrinya yang juga memiliki tiga anak, Zara, Nilna dan Hanif.

Biya sangat bersyukur karena keluarga Abah Ahmad menyayanginya seperti keluarga kandung dan tidak pernah membeda-bedakan. Zara sudah menikah dan memiliki satu anak, saat ini dia tinggal di Bandung. Nilna putri kedua saat ini sedang bekerja di salah satu sekolah sebagai guru agama dan juga sering membantu Uminya mengajar di madrasah santri putri. Sedangkan Hanif putra bungsu masih duduk di kelas 2 Aliyah atau setara SMA.

Biya masuk ke kamarnya untuk mengambil baju dan bersiap mandi, langkahnya terhenti ketika tidak sengaja mendengar percakapan Abah Ahmad dan Umi Hayyin di ruang keluarga.

"Jadi pripun Bah dengan rencana perjodohan ini?"

"Umi sudah yakin sama Royyan?"

Deg..Hati Biya tiba-tiba bergetar mendengar nama Royyan. Dia tidak bermaksud untuk menguping tapi dia sangat penasaran dengan pembahasan mereka.

"Insyaallah Bah, Nak Royyan baik, Insyaallah sholeh dan juga kelihatannya sangat dewasa juga bertanggung jawab, untuk nasabnya kita enggak usah khawatir kan? Dia putra teman Abah sendiri."

"Apa kemarin Mas Hamam meminta untuk Royyan di jodohkan dengan siapa? Abah lupa."

"Mboten Bah, Mas Hamam dan istri meminta Abah yang mencarikan."

"Menurut Umi, siapa yang cocok?"

"Umi juga kurang yakin, Abah sendiri?"

"Bagaimana kalau Nilna? Abah rasa dia sudah waktunya untuk menikah."

"Umi juga kepikiran itu Bah, nanti kita Tanya sama anaknya ya!"

Tanpa sadar air mata Biya menetes, dia mengurungkan niat untuk keluar. Selama ini diam-diam Biya menaruh hati pada sosok Royyan, salah satu guru di madrasah pondok putra. Dia begitu mengagumi Royyan karena selain penampilannya yang menarik, dia juga seorang yang humble dan pintar dan untuk kesholehannya tidak perlu diragukan lagi.

Perasaan yang dia miliki semakin besar ketika minggu lalu Royyan juga mengutarakan perasaan yang sama dengannya. Dia ingat ketika dia sedang belanja dengan Fahma di toko, Royyan menemuinya dan berbicara jujur tentang perasaannya.

Flashback.

"Boleh saya bicara sebentar Ning?" Tanya Royyan.

"Monggo Mas Royyan!" Jawab Biya yang duduk ditemani Fahma.

"Maaf kalau saya lancang ya Ning, tapi saya hanya ingin bicara jujur tentang perasaan saya. Sudah lama saya mempunyai perasaan pada Ning Biya dan ketika saya tahu Ning akan kuliah di Bandung saya beranikan diri untuk mengungkapkanya. Sekali lagi maaf Ning Biya."

Biya hanya mematung, dia terkejut dengan kejujuran Royyan. Dia tidak menyangka laki-laki 5 tahun lebih tua darinya itu juga memiliki perasaan padanya. Kemudian dia tersadar ketika Fahma menyikutnya.

"Mas Royyan yakin?"

"Insyaallah Ning."

"Terimakasih banyak atas perasaan Mas Royyan pada saya. Tapi saat ini saya tidak bisa menjanjikan apapun, saya masih ingin kuliah dan mengejar cita-cita saya Mas."

"Saya tahu Ning, saya hanya ingin sampaikan pada Ning Biya, Insyaallah saya mendukung semua cita-cita Ning dan akan sabar menunggu."

"Terimakasih Mas, saya bersyukur Mas Royyan mengerti posisi saya."

"Saya tidak menuntut jawaban, saya hanya ingin Ning Biya tahu kalau di sini ada yang menunggunya dari Bandung dan siap melamarnya setelah lulus." Kata Royyan sambil tersenyum.

Biya tersenyum malu, dia sangat suka orang yang berprinsip dan tidak banyak basa-basi.

"Insyaallah Mas." Kata Biya menggantung.

"Insyaallah saya tunggu Ning di sini." Lalu Royyan pergi karena tidak ingin menimbulkan fitnah.

Seketika pipi Biya memerah, dia tidak bisa menahan senyum yang daritadi berusaha dia tahan.

"Subhanallah, Mas Royyan aku enggak nyangka Bi, dia juga ada perasaan sama kamu, beruntung kamu Bi!"

"Aku juga enggak nyangka Fah, semoga semua di lancarkan."

Kedua wanita berparas cantik itu kompak mengucapkan amin, lalu melanjutkan acara belanja mereka yang sempat tertunda karena kehadiran Royyan.

1. Kafa Biya (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang