Pesantrenku

26K 1.5K 4
                                    

Hari ini aku sudah bersiap dengan satu koperku. Setelah makan siang, Mas Kafa bersikeras untuk mengantarku ke bandara. Bahkan dia juga tidak keberatan untuk menjemput Devi dan Monik terlebih dahulu.

"Bi, kayaknya ada sedikit masalah." Ucap Devi saat perjalanan menuju apartemen Monik.

"Kenapa Dev?"

"Tadi malam Monik telepon katanya dia enggak jadi ikut."

"Kenapa begitu? Bukannya dia yang paling semangat?"

"Emm, bagaimana ya ngomongnya. Kalau aku kira sih karena dia enggak enak masuk pesantren, tahu sendiri waktu kita habis bahas berita yang lagi heboh itu dia kaya enggak yakin begitu mau ikut."

"Berita yang mana? Kalian banyak gosip soalnya."

"Issshh, kamu memang enggak pernah ikut ngomong tapi dengar sama saja kan?"

Aku hanya menggerakkan bahuku dan melirik Mas Kafa yang ikutan tertawa meledek.

"Itu lho Bi, berita yang ada pengusiran umat kristen lagi ibadah." Cerita Devi penuh keraguan.

"Jadi Monik ngerasa enggak enak begitu ya Dev?"

"Iya Bi, aku sudah meyakinkan tapi enggak tahu, coba kamu nanti yang ngomong sendiri."

"Insyaallah Dev."

Setelah sampai apartemen Monik benar saja dia belum bersiap-siap, untung waktunya masih lumayan longgar untuk membujuknya. Aku sudah mengerahkan seluruh tenaga dan pikiranku untuk membujuknya tapi juga tidak memaksanya, aku cuma enggak mau Monik berpikir buruk tentang agama islam. Aku dan Devi sudah berusaha tapi apa yang terjadi, dengan satu kalimat Mas Kafa saja dia luluh dan bersedia ikut. Tahu begitu dari tadi saja aku minta Mas Kafa yang bujuk.

"Aduh, kok aku gugup gini sih." Kata Monik yang akhirnya bergabung bersama kami.

"Kamu percaya sama aku Mon, semua enggak seperti yang kamu pikirkan, keluarga pesantren pasti menerima dengan baik." Kataku meyakinkannya.

"Bukan itu tapi itu lho, bisa di supirin Pak Kafa rasanya nano-nano."

"Dasar kampret, aku kira kenapa!" Omel Devi sambil menoyor kepala Monik

"Awas saja kamu nggodain suamiku."

"Wuuuu, Biya cemburu.!" Mereka berdua kompak meledekku dan Mas Kafa hanya geleng-geleng melihat kelakuan kita bertiga.

***

Sekitar pukul 5 sore kami sampai di ujung jalan sebelum sampai ke pesantren. Aku mengajak mereka naik taksi dari bandara karena Hanif tidak bisa menjemput. Kami sudah persis kaya santri yang mau balik ke pondok dari liburan, masing-masing membawa tas dan koper.

"Masih jauh Bi? Pegel banget ini punggung." Keluh Devi.

"Salah sendiri satu lemari dibawa semua." Ejek Monik.

"Itu sudah kelihatan gerbangnya, ayo!"

Saat memasuki gerbang pesantren aku melihat Monik agak murung. Lalu aku mendekat dan memegang tangannya.

"Ayo!" Kataku meyakinkannya.

"Tunggu, aku pakai ini dulu!"

Dia terlihat mengambil syal dari tasnya lalu dia menutup kepalanya. Aku tersenyum lega, sebenarnya aku ragu tadi mau mengingatkannya takut dia tersinggung, karena bagaimanapun disini di lingkungan pesantren di wajibkan menutup aurot. Aku berencana meminta maaf pada abah dan umi karena tidak bisa memaksa Monik. Tapi aku bersyukur dia sadar dengan sendirinya. Pemandangan yang terlihat pertama kali adalah santri putra yang sudah selesai mengikuti ngaji sore.

"Bi, itu santri-santri?" Bisik Devi saat melintasi komplek santri putra.

"Iya Dev!"

"Wah banyak ya Bi, jadi betah di sini!" Sahut Monik.

"Huuu, dasar! Tadi saja enggak mau ikut." Omel Devi.

"Yuk cepetan, malu dilihatin kang pondok."

"Apa itu Bi?" Tanya Monik penasaran.

"Panggilan saja buat santri putra kalau di pondok."

Dan dia hanya ber 'Oh' ria sambil terus antusias melihat suasana pondok.

"Assalamualaikum Umi." Sapaku ketika sampai rumah abah.

"Waalaikumsalam, sini-sini masuk! Maaf ya Hanif enggak bisa jemput lagi pergi sama abah dan Royyan."

"Iya Umi enggak masalah. Kenalin Umi ini Devi dan ini Monik sahabat-sahabat yang sering Biya ceritakan."

"Oh iya, terimakasih ya kalian sudah nemenin anak Umi yang manja ini." Kata umi sambil memeluk keduanya bergantian, aku melihat wajah Monik yang kagum dengan perlakuan umi.

"Sama-sama Umi, kita juga seneng punya sahabat kaya Biya." Jawab Devi.

"Ya sudah kalian pasti capek, ajak istirahat dulu Bi, sebentar lagi sudah maghrib terus ajak makan."

"Iya Umi."

Aku mengajak dua sahabatku ini untuk istirahat di kamarku. Setelahnya aku mengajak mereka untuk makan dan berkeliling pondok putri untuk mengenalkan pada santri-santri di sini. Fahma yang sebelumnya sudah aku kasih tahu sangat senang karena bisa berkenalan dengan Devi dan Monik. Aku masih melihat wajah Monik yang tidak santai seperti menahan sesuatu.

Aku ajak dua sahabatku ini di tambah Fahma untuk berkeliling melihat kegiatan para santri putri. Kebetulan malam itu sedang ada latihan hadroh oleh grup hadroh santri putri. Monik terlihat antusias melihatnya meskipun belum banyak bicara.

"Unik Bi, itu pakai alat musik apa? Mereka kelihatan ahli banget."

"Namanya terbang Mon atau rebana. Mereka sudah sering latihan jadi bisa terlihat mahir begitu."

Monik hanya mengangguk-angguk sambil terus melihat-lihat suasana pondok.

"Yang laki-laki juga ada?"

"Ada Mbak Monik, tapi kita enggak boleh ngintip." Sahut Fahma sambil terkekeh pelan.

"Yaaah, padahal pengen banget lihat." Aku lega Monik sudah bisa tertawa.

"Dasar otak jomblo!" Devi bersungut lalu menutup mulutnya sendiri seakan teringat kalau sedang di pesantren.

"Oh iya besok sabtu ada upacara kemerdekaan di halaman pondok Mbak, habis itu lanjut lomba-lomba, nah Mbak Monik bisa tuh lirik-lirik." Jelas Fahma sambil tersenyum geli

"Haha sempurna. Di pondok juga ada kegiatan kaya begitu?"

"Iya Bi memang enggak apa-apa? " Tambah Devi

"Ada. Ya enggak apa-apa malah harus diadakan. Jadi misi di pesantren selain memperdalam agama, jiwa nasionalisme juga harus diperkuat. Mengingat akhir-akhir ini fenomena di negara kita yang agak menghawatirkan tentang rasa nasionalisme, abah malah sering mengadakan kegiatan yang bisa menumbuhkan nasionalisme. Contohnya kalau pas lagi sholawatan itu sering di sisipi nyanyi lagu kebangsaan, sering menceritakan tentang jaman perjuangan juga." Dengan bangga aku menceritakan segala tentang pesantren ini.

Aku lihat Devi dan Monik manggut-manggut mendengar penjelasanku. Karena jam sudah semakin larut akhirnya aku sajak mereka untuk istirahat.

Dan di sinilah kami berempat sekarang, tidur di kamarku. Aku dan Fahma menggotong kasur dari kamar Mbak Zara karena tidak terpakai. Aku dan Fahma tidur di bawah dan dua sahabatku tidur di atas. Aku minta izin sebentar untuk menghubungi Mas Kafa lalu kembali bergabung bersama mereka. Setelah sedikit bercerita dan bercanda akhirnya kami tidur terlelap.



1. Kafa Biya (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang