"Mbak jangan bercanda?" Tegurku pada Mbak Zara yang baru saja mengabarkan kalau aku mau dijodohkan.
"Ya Allah Mbak, enggak mungkin aku nikah kalau masih kuliah gini." Aku merinding sendiri jadinya.
"Ya nunggu kamu lulus dulu mungkin Bi!" Tambah Mbak Nilna.
"Mbak Nilna lupa, kalau Abah enggak mau lama-lama menikahkan anaknya setelah lamaran?"
"Iya juga ya, ya sudah Bi kamu tenang di coba dulu!" Ujar Mbak Zara.
"Di coba apanya Mbak Zara? Masa nikah coba-coba!"
"Haha, maksud Mbak coba ikuti dulu apa yang akan Abah bicarakan."
Aku enggak menjawab Mbak Zara, saat ini aku mengusap wajahku gusar. Aku benar-benar enggak kepikiran kalau abah akan menjodohkanku secepat ini.
"Mbak kenal siapa orangnya?" Tanyaku lemas pada Mbak Zara.
"Mbak belum tahu Bi. Kenalan abah kayaknya."
Aku hanya diam, hatiku sungguh tak tenang. Aku belum bisa menerima semua ini, aku pikir karena aku kuliah jadi abah enggak akan secepat ini menikahkanku.
"Mbak Biya, dipanggil Abah suruh keluar." Kata Hanif di ambang pintu kamarku.
"Sana Bi!" Mbak Nilna dan Mbak Zara kompak mengusirku.
"Enggak mau Mbak, Biya malu, bingung, gugup, gundah, gelisah!" Aku merancau dan ketiga saudaraku ini malah tertawa.
Dengan berat hati dan langkah kaku aku keluar dari kamar ditemani Mbak Zara. Saat sampai di ruang tamu, kami cukup terkejut dengan kehadiran Bu Hanifah, anggota semaan rutin kami di Bandung.
"Loh, Bu Hanifah?" Sapa Mbak Zara lalu bersalaman dan aku mengikutinya
"Nak Zara, Nak Biya! Jadi kalian ini anak dari Mas Ahmad?"
"Iya Bu!"
"Kalian sudah kenal Bu Hanifah?" Tanya Umi.
"Iya Umi, jadi Bu Hanifah ini ketua majelis semaan yang suka Zara ceritain."
"Masyaallah, enggak jauh-jauh ya. Dunia memang sempit, cuma kita yang mainnya kurang jauh." Tambah Abah dan membuat semua yang hadir tertawa, aku yang masih sangat gundah mencoba ikut tertawa tapi susah sekali.
"Jadi yang mana Mas yang mau jadi mantu saya?" Tanya suami Bu hanifah yang tadi memperkenalkan diri dengan nama Nur Mubarak.
"Ya putri saya tinggal satu ini Mas, Biya namanya. Dia anak almarhum."
"Alhamdulillah, dulu saya sering bercanda sama almarhum untuk besanan, ternyata jadi doa."
"Wah Ibu juga enggak nyangka Yah, Ibu sering semaan quran sama Nak Biya, sempat juga memikirkan untuk di jodohkan pada anak kita, ternyata jadi doa juga."
"Alhamdulilah berarti ini pertanda baik dari Allah." Celetuk Mbak Zara, aku hanya melirik tajam ke arahnya dan di balas senyum meledek.
"Kalau begitu bagaimana Biya? Kamu siap kan?" Kata Abah
Aku hanya menatap abah dengan tatapan memohon, berharap abah kasih aku waktu sampai lulus kuliah. Lagian aku mau nikah sama siapa? Daritadi hanya ada Bu hanifah dan Pak Nur.
"Abah sama Umi anggap kamu diam berarti setuju Biya!" Kata abah telak, aku tahu semua yang abah lakukan pasti sudah yakin itu yang terbaik tapi aku hanya butuh waktu sampai lulus kuliah, bagaimana mungkin aku kuliah dan harus mengurusi rumah tanggaku?
"Alhamdulillah, kalau setuju. Saya sangat bahagia Mas." Kata Pak Nur, kapan juga aku bilang setuju Pak?
"Loh, anak kita kemana Yah?"
"Oh iya, sebentar Ayah telepon."
Beberapa menit setelah Pak Nur menelon, masuk seorang laki-laki dengan perawakan tinggi, wajahnya cukup tampan bahkan mendekati sangat tetapi datar. Dia memakai celana panjang hitam, kemeja dan jas yang terasa pas di badannya.
Aku mengedipkan mataku berkali-kali. Mataku pasti lagi sakit, pasti karena aku banyak pikiran makanya laki-laki itu mirip Pak Kafa, dosen dari kutub.
"Ini dia, kenalin Nak Biya, ini anak Ibu namanya Zayin Al Kafa."
Aku hanya diam mematung, tak percaya dan tak kuduga kenapa dunia ini sempit, sempit sekali sesempit jilbabku saat ini yang aku rasa semakin mencekikku. Aku juga melihat Pak Kafa sedikit terkejut melihatku. Hancur sudah harapanku punya suami yang lembut dan manis perlakuannya kaya Mas Royyan atau Mas Anas.
"Biya! Kok diem saja?" Umi menepuk bahuku pelan.
"Maaf Umi." Aku tidak berani menatap Pak Kafa.
"Jadi bagaimana Nak Kafa? Ini Anak Abah yang akan jadi istri kamu."
Pak Kafa terdiam sambil menatapku sebentar, entah aku yang salah lihat atau bagaimana, dia tersenyum sekilas baru menjawab abah. "Kafa ikut saja."
Ya Allah, Pak Dosen yang terhormat jangan ikut-ikut saja!
"Kalau begitu secepatnya saja Mas Ahmad!" Ujar Pak Nur.
"Bagaimana kalau besok sore Mas Nur?"
"Allahu Akbar!" Pekiku cukup keras karena terlalu kaget lalu Mbak Zara membungkam mulutku, mereka memandangku sambil menggeleng. Heran dengan sikapku mungkin, ya siapa coba yang enggak kaget kalau besok sore banget mau nikah?
"Surat-suratnya bagaimana Mas?"
"Insyaallah banyak yang membantu Mas Nur, nanti tinggal serahkan KTP saja."
"Alhamdulillah. Siap kan Kaf?"
"Insyaallah Yah!"
Dosen ini tadi makan apa sih? Kok tampang garangnya sama sekali enggak ada? Bahkan sekarang terlihat sangat sopan dan santun meski tetap datar.
*****
Setelah selesai rencana pernikahannya, kita berkumpul di ruang keluarga kecuali abah dan umi yang masih menemui tamu.
"Jadi dia itu dosenya Biya, yang sering dia ceritain di rumah!" Kata Mas Anas sambil tertawa.
"Masyaallah beneran Bi? Ini mah jodoh beneran!"
"Terus saja ngeledekin!" Aku mendengus kesal, sempat aku sedikit melirik Mas Royyan yang duduk di sebelah Mbak Nilna. Dia hanya diam.
"Sudah Mbak terima saja sih, kalau abah sudah iya itu berarti sudah yang terbaik buat." Hanif menimpali.
"Ya Allah kenapa sih pada enggak ngerti posisiku. Mbak Zara nikah pas sudah lulus kuliah, Mbak Nilna juga bahkan sempet kerja. Lha aku??"
"Ya berarti rejeki kamu lebih cepat Bi!" Sahut Mas Anas
"Ya Allah, tahu ah! Biya ke pondok saja, siapa tahu ada pencerahan."
"Ikut Mbak?" Ucap Hanif sambil nyengir. Aku hanya menghadiahkan sentilan pada kepala Hanif, sudah tahu enggak boleh masuk komplek putri.
Namun aku mengurungkan niat ke pondok putri, aku memutuskan untuk pergi ke makam umi dan abi. Setelah membaca yasin dan berdoa aku masih ingin berlama-lama bersama mereka.
"Assalamualaikum Abi dan Umi!" Aku menghela nafas merasakan kerinduan yang begitu dalam.
"Abi, apa benar Abi yang mau Biya nikah sama dia? Apa Umi juga setuju? Biya mau melakukan semuanya untuk kalian, tapi maaf kalau Biya masih belum sepenuhnya menerima semua ini."
Aku mengusap nisan mereka.
"Biya kangen banget sama Abi dan Umi. Besok Biya nikah, Biya ingin kalian hadir dan memelukku bahagia. Biya berusaha kuat mewujudkan cita-cita kalian. Biya harap Abi sama Umi bahagia di sana."
Aku menumpahkan seluruh tangisku, seluruh kerinduanku. Aku sudah ikhlas dengan takdir Allah, tapi pada saat-saat terpenting dalam hidupku, aku sangat ingin mereka hadir di sisiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
1. Kafa Biya (Terbit)
Teen FictionCinta akan indah pada waktunya di bawah ikatan halal. Cerita tentang seorang gadis yatim piatu berlatar belakang santri sebuah pondok pesantren mencoba kuliah mewujudkan cita-cita mendiang orangtuanya. Namun di tengah jalan dia mendapat banyak mas...