"Kamu kenapa sejak tadi pagi diam saja?" Tanya Mas Kafa di perjalanan kami pulang ke Bandung.
"Capek Mas!" Aku masih malas membahasnya.
"Ya sudah kamu tidur saja, sebentar lagi sampai rumah."
Dan aku memilih tidur karena memang capek dan malas kalau harus menjawab pertanyaannya, mana enggak peka lagi kalau sudah dijawab. Percuma kan jawabanku?
Saat sampai di rumah, aku langsung turun dan membawa tasku. Setelah menyalami ibu dan ayah aku langsung pamit ke kamar. Sampai kamar akupun memilih langsung membersihkan diri dan membereskan barang-barang dari Semarang.
"Biya, makan dulu! Ibu sudah nyiapin buat kita."
"Nanti saja, Mas Kafa duluan enggak apa-apa." Aku menjawabnya tanpa menoleh.
"Biya, ayo makan dulu!" Kali ini dia sudah di sampingku.
"Ini belum selesai aku rapiin Mas!"
"Sekarang makan dulu!" Ulanginya dengan tatapan tajam, kalau sudah seperti in aku hafal dia sedang tidak bisa dinego.
Aku mengikutinya turun dan makan bersama ayah dan ibu juga Azka yang menyuapi anaknya.
"Kak kapan sampainya?" Tanya Azka.
"Belum lama kok!"
Aku mengambil Nayla dari pangkuan Azka.
"Wah besok bakalan kangen ya sama Tante Biya, Om Kafa tega ya mau sajak Tante Biya pergi." Azka berbicara pada anaknya di pangkuanku.
Pergi kemana? Apalagi ini?
"Iya Bi, besok kalau pas sudah pindah sering-sering main kesini ya! Kalau pas jadwal kita ngaji nginep sini ya Sayang!" Ucap Ibu mertuaku.
Aku hanya tersenyum kaku, tiba-tiba selera makanku hilang. Aku menatap Mas Kafa penuh tanya, tapi dianya tetap makan dengan santainya.
Setelah makan kita berkumpul sebentar untuk sekedar bercerita. Aku lebih tertarik bermain dengan Nayla dan sesekali menjawab pertanyaan ibu dan ayah. Dan tidak lama kemudian aku pamit ke kamar disusul Mas Kafa.
"Besok kuliah jam berapa?"
"Jam 9." Jawabku pendek sambil menarik selimutku bersiap tidur.
"Aku ada salah ya sama kamu?"
Enggak ada, aku yang salah.
"Biya, aku lagi ngomong sama kamu bisa enggak lihat ke sini?"
Dengan terpaksa aku menoleh padanya.
"Besok kita ke butik ibu ya untuk nyobain baju resepsi."
"Kenapa harus ngajak Biya?"
"Kenapa enggak harus ngajak Biya?"
Tuh kan mulai!
"Biasanya juga begitu kan? Aku tinggal terima beres, jadi kenapa sekarang aku harus ikut?" Aku beranikan menjawab lalu kembali mebelakanginya.
"Enggak sopan bicara sama suami tapi malah membelakangi."
Aku berbalik mengahadapnya lagi. Mau bagaimanapun aku enggak bisa menutupi wajah kecewaku.
"Kamu kenapa? Ada masalah?" Tanyanya sambil mengelus rambutku.
"Mas, pentingkah aku di hidupmu?" Dia menunjukkan ekspresi kagetnya.
"Kamu jangan aneh-aneh, ada apa?"
"Ya aku ngerasa kehadiranku tidak pernah penting untukmu, semua selalu sudah dengan keputusan akhir, seakan pendapatku sedikitpun tidak penting."
Dan aku mulai berkaca-kaca, aku bingung kenapa di depan suami pasti cengeng dan drama.
"Kenapa kamu ngomong seperti itu? Saat ini kamu salah satu yang terpenting di hidupku, Biya!"
"Tapi yang aku rasain enggak seperti itu Mas, semua serba sudah ada keputusannya. Mulai dari kita nikah mendadak, Mas Kafa mendadak ngajak aku balik ke Bandung, acara 4 bulanan Mbak Nilnapun aku enggak tahu, tiba-tiba bulan depan kita resepsi dan semua sudah siap tanpa aku tahu awalnya dan terakhir Mas Kafa ngajak kita pindah rumah sendiri dan itu aku tahunya dari ibu. Apa sesusah itu menanyakan sedikit saja pendapatku?"
Dia terlihat kaget dengan ucapanku yang kini sudah tersedu-sedu. Dia lalu memelukku, menyandarakan kepalaku di dadanya.
"Aku minta maaf Biya, aku enggak bermaksud seperti itu. Aku tidak menyangka kalau kamu punya pemikiran seperti itu. Aku berusaha menyiapkan semuanya agar kamu tidak kepikiran dan tetap fokus dengan kuliahmu, sebentar lagi kamu akan menyusun skripsi dan magang."
"Tapi sekedar membicarakannya tidak akan membuatku dikeluarkan dari kampus Mas, semua itu adalah agenda penting dalam hidupku, kenapa sama sekali aku enggak boleh terlibat?"
"Bukan begitu Sayang, maaf! Aku minta maaf jika caraku salah. Mulai sekarang aku akan selalu bilang untuk semua rencana kita."
Aku tidak menjawab, aku masih sangat kecewa. Kita lihat saja kedepannya akan seperti apa sikapnya padaku.
***
"Kenapa itu muka? Samalem lembur ya? Hahaha."
"Apaan sih Dev, aku lagi pengen makan nih!"
"Makan apa, yuk ke kantin."
"Makan orang!"
"Eh buset. Kenapa sih?"
"Bagaimana rasanya kalau kita enggak dihargai sama pasangan sendiri?"
"Kamu bertengkar sama Pak Kafa?"
"Aku enggak tahu, dia lempeng-lempeng saja."
"Lha bagaimana sih? Bingung akunya. Ya sudah kamu mending tenangin diri dulu aku yakin semua pasti ada alasanya."
"Ngomong-ngomong kamu enggak ada niatan untuk go public begitu? Yakin mau Pak Kafa jadi rebutan terus?"
"Bulan depan aku resepsi Dev!"
"Wow! Seru ini, tapi kenapa enggak semangat begitu sih, kalau enggak mau biar aku wakilin di pelaminan."
"Astaghfirullah, kalau ngomong asal, dosa jadi pelakor apalagi sahabat sendiri."
"Haha! Enggak rela amat."
"Woooi!! Aku ada kabar gembiraaaa!" Suara cempreng Monik tiba-tiba menyapa telinga.
"Apaan sih?"
"Pengumuman dosen pembimbing sudah keluar. Dan tahu enggak aku dapet Pak Rama. Baru kali ini aku ngerasa bergelora untuk ngerjain skripsi."
"Serius kamu Mon? Aku dapet siapa ya?" Devi antusias.
"Aku lupa saking senengnya dapet Pak Rama. Mending kita lihat kesana."
Aku sebenarnya kurang berminat tapi karena dua orang ini sudah heboh banget alhasil ikut juga.
Terlihat mahasiswa tingkatku sudah pada heboh, ada yang girang karena dapat dosen favorit tapi banyak juga yang kecewa karena dapat dosen yang killer.
Jadi penasaran juga dapet siapa, asalkan jangan dosen dari kutub itulah, masa dia lagi.
"Wah Bi, kamu beruntung banget tahu!" Monik yang girang begitu lihat pembimbingku.
"Siapa memang?"
"Tuh lihat sendiri!"
Zayin Al Kafa Mubarak
Astaghfirullah! Cobaan apa ini?
"Enak kan enggak perlu antri-antri di sini, bisa bimbingan di rumah."
Kalian enggak tahu saja kalau itu dosen kutub jiwa profesionalnya setinggi langit., mana mau aku konsul di rumah. Aku akui memang Mas Kafa oke banget, dia enggak pernah campur adukkan masalah kerja sama rumah. Seperti halnya mahasiswa lain aku juga harus belajar ekstra buat lulus di mata kuliahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
1. Kafa Biya (Terbit)
Teen FictionCinta akan indah pada waktunya di bawah ikatan halal. Cerita tentang seorang gadis yatim piatu berlatar belakang santri sebuah pondok pesantren mencoba kuliah mewujudkan cita-cita mendiang orangtuanya. Namun di tengah jalan dia mendapat banyak mas...