Mas Kafa membawaku ke sebuah komplek perumahan yang ternyata tidak jauh dari kampus. Daritadi penasaran tapi gengsi dan takut juga untuk bertanya.
Rumahnya minimalis tapi masih terkesan mewah, lagi-lagi aku jatuh cinta dengan konsep bangunannya. Bangunannya lebih di dominasi bahan kayu dan kaca membuat kesan menjadi nyaman dan teduh.
"Mau masuk apa tidur di mobil?" Suara beratnya mengagetkanku.
Aku mengikutinya tanpa menjawab.Dia terlihat menaikki tangga, aku hanya diam di tempat dan duduk di sofa ruang tamu. Aku masih saja memperhatikan design interiornya, aku sangat kagum, benar-benar arsitek hebat yang design ini. Semua penataan ruangnya membuat betah dan nyaman berada di dalamnya.
"Sebegitu indahkah ruangan ini sampai membuat kamu enggak peduli ada suami di sini?"
Aku terlonjak kaget.
Masyaallah, sejak kapan dia duduk di sini?
Aku masih diam, sebenarnya takut juga karena wajahnya sudah tidak enak dipandang tapi mengingat kejadian tadi di kampus membuat aku miris sendiri, egoku lebih mendominasi rasa patuhku pada suami sendiri. Astagfirullah.
"Kamu enggak mau minta maaf karena bohong sama suami dan pergi tanpa izin?"
Tuh kan, pasti aku yang salah lagi!
Aku masih bertahan dengan egoku, dan disinilah aku kesel sama diriku sendiri yang enggak bisa menahan air mata.
"Kita pulang saja Mas!" Kataku sambil memalingkan wajahku takut terlihat menangis.
"Pulang kemana lagi kalau kita sudah di rumah?"
"Oh, begitu!"
Dia tidak menjawab tapi malah berjalan ke depanku dan berjongkok di hadapanku sambil memegang tanganku.
"Aku sudah bilang kan kalau kita harus selalu jujur dan terbuka. Setidaknya kamu konfirmasi dulu sama suamimu ini sebelum berpikir terlalu jauh apalagi sampai bohong dan pergi tanpa izin. Aku yakin kamu paham bagaimana hukumnya." Katanya tetap tenang tapi dengan tatapan tajam.
"Aku enggak bohong." Jawabku terbata-bata karena menahan tangis.
"Kamu bilang sudah pulang tapi di rumah ibu enggak ada."
"Ya kan aku enggak bilang kalau pulang ke rumah ibu."
"Terus kenapa enggak minta izin sama aku kalau mau pulang ke rumah Mbak Zara?"
Aku hanya diam tertunduk sambil terus menangis.
Hai Air mata! Di dalam ada apa sih kenapa pada mau keluar semua?
"Dia sahabatku, dia juga Ning di pesantrenku dulu."
Jadi Mas Kafa lulusan pesantren juga? Biya kemana saja sih sampai enggak kenal suami sendiri?
"Siapa?"
"Yang tadi yang kamu lihat, sampai membuat kamu pergi tanpa pamit."
"Aku enggak lihat apa-apa." Sanggahku.
"Tuh kan mau bohong lagi sama suami?"
Aku bingung mau menjawab apa, ya kalau memang sahabat kenapa pembicaraannya begitu, mau melamar segala.
"Makannya kalau ada apa-apa jangan terus lari begitu, tanya dulu jangan suudzon!" Katanya lagi sambil pindah dan memelukku.
"Aku yakin perempuan manapun pasti akan suudzon kalau denger suaminya mau melamar perempuan lain, Mas!"
"Enggak ada Sayang, enggak ada yang mau melamar."
"Terus tadi apa? "
"Percaya sama Aku, enggak ada apa-apa, selamanya istriku hanya kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
1. Kafa Biya (Terbit)
Teen FictionCinta akan indah pada waktunya di bawah ikatan halal. Cerita tentang seorang gadis yatim piatu berlatar belakang santri sebuah pondok pesantren mencoba kuliah mewujudkan cita-cita mendiang orangtuanya. Namun di tengah jalan dia mendapat banyak mas...