marah - marah

24.9K 1.5K 25
                                    

Sebulan berlalu begitu cepat tanpa aku sadari, siang ini sepulang dari kantor aku bersiap-siap karena malam ini juga aku akan berangkat ke Semarang bareng sama keluarga Mbak Zara. Mas Kafa masih terlihat sibuk mengoreksi kertas kuis mahasiswanya.

"Mas masih banyak? Bantuin Biya rapiin ini."

"Sebentar ya!"

Dan sebentar versinya itu adalah mengoreksi kuis 32 mahasiswanya sampai selesai.

"Mau di bantuin apa Bi?"

"Sudah selesai." Aku menjawab dengan sedikit emosi, kadang suka merasa jahat juga kalau sedang begini tapi hebatnya Mas Kafa tetap sabar mengahadapiku.

"Maaf ya, harus menyelesaikan tanggungjawab dulu kan mau ditinggal ke Semarang"

"Ya kalau sibuk enggak usah ikut."

Dia terlihat menghela nafasnya.

"Kamu belum makan kan?"

"Belum."

"Aku pesenin ya, Mbak Yanti sudah pulang soalnya."

"Terserah."

"Mau makan apa? Soto betawi mau?"

"Terserah. "

"Ada kata lain selain terserah?"

"Hmm."

"Biya, kamu kenapa sih?"

"Enggak apa-apa"

Entah kenapa rasanya hanya ingin mengomel pada suami. Apapun yang dia lakukan selalu salah di mataku. Dan yang paling nyebelin, wajah datarnya itu lho bikin gemes.

Akhirnya aku tetap makan apapun yang dia beli.

Setelah makan aku dan Mas Kafa pergi ke rumah Mbak Zara karena kita akan pergi ke Semarang dengan mobil Mas Kafa. Aku memilih duduk di belakang sama Mbak Zara dan Syauqi.

"Kamu kenapa sih Bi, perasaan daritadi sewot?" Tegur Mbak Zara.

"Iya nih mbak, dari siang aku juga sudah jadi korban omelannya!" Mas Kafa menimpali merasa punya dukungan

"Aku ngantuk." Aku terus beristighfar, entah kenapa emosiku rasanya tidak stabil. Memang ini dekat waktu bulananku sih, tapi biasanya enggak separah ini.

***

Pukul 2 dini hari kami sampai di pesantren. Sudah terlihat beberapa aktifitas dari santri. Ada yang masih mengaji, ada yang bersiap di masjid bahkan mungkin ada yang belum tidur. Menghirup udara Semarang dan pesantren rasanya membuat moodku membaik.

"Mas, maaf ya kalau dari tadi aku marah-marah." Kataku saat kami sudah di kamar.

"Tenang, stok sabar Mas Kafa masih banyak." Dia tersenyum dan menepuk puncak kepalaku.

"Mas Kafa istirahat dulu saja, nanti shubuh aku bangunin."

"Kamu enggak tidur? Mau kemana?"

"Mau ke dapur, laper."

"Sendiri enggak apa-apa?"

"Iya."

Aku berjalan ke dapur dengan perasaan aneh, aku juga bingung akhir-akhir ini aku sangat bermasalah dengan emosi. Padahal aku sendiri yang menyuruh Mas Kafa istirahat tapi malah sedih sendiri karena Mas Kafa enggak berniat menemani aku makan.

Akhirnya dengan malas aku pergi ke dapur karena rasa lapar ini tidak bisa lagi ditunda. Ekspresiku langsung berubah ketika menemukan rendang di meja makan. Tanpa pikir panjang segera aku ambil piring dan mengisinya.

1. Kafa Biya (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang