Hampa

24.2K 1.4K 7
                                    

Rumah tanggaku dengan Mas Kafa berjalan baik-baik saja. Kegiatan kami juga berjalan seperti biasanya. Senin-Jumat kita sama-sama bekerja, dihari Sabtu biasanya kita jalan-jalan atau pulang ke Semarang. Di hari Minggu aku menjalankan kegiatan rutinku semaan dengan ibu dan Mbak Zara.

Namun aku merasa kosong. Bukan rumah tanggaku tidak bahagia, malahan terasa sangat bahagia, tapi sayangnya aku merasa sangat kosong. Sudah setahun lamanya sejak kelulusanku, tidak ada yang berubah dari Mas Kafa, dia tetap menyayangiku namun entah kenapa aku merasa hari-hariku hampa.

"Biya, kenapa bengong saja?"

"Enggak kok."

"Tapi dipanggil enggak denger."

"Hehe masa sih? Kenapa Mas?"

"Ini jadinya mau dibeliin warna apa sepatunya?"

"Itu kan bajunya Mas Kafa sudah pilih warna pink, yasudah disamain saja."

"Iya juga ya."

Aku terus memperhatikan Mas Kafa yang sangat antusias memilih kado untuk anak Mbak Billa. Seminggu yang lalu Mbak Billa telah melahirkan seorang anak perempuan yang cantik. Hari ini Mas Kafa mengajakku untuk melihatnya dan membelikan kado.

Matanya terlihat berbinar saat memilih pakaian bayi. Entah kenapa rasanya ada sesuatu yang tidak nyaman melihat Mas Kafa sesenang itu memilih baju bayi. Mungkin dia akan terlihat lebih bahagia saat memilih baju untuk anaknya sendiri.

Pikiran tentang anak terus menguasaiku, selama di took itu aku tidak melakukan banyak hal, hanya mengekor kemanapun Mas Kafa bergerak sampai selesai.

"Kamu mikirin apa sih Bi? Dari tadi banyak bengong!" Tegur Mas Kafa sambil tetap fokus menyetir.

"Mas Kafa seneng banget ya milih baju-baju bayi?"

"Iya lucu-lucu soalnya. " Jawabnya penuh semangat.

"Seandainya kita sudah bisa beli buat anak kita sendiri ya Mas, pasti seneng banget."

"Biya, sudah ya jangan mikirin itu terus!"

Aku hanya tersenyum menanggapinya. Beberapa saat kemudian kita sampai di rumah Mbak Billa. Mereka sangat senang karena kunjungan kita. Aku menggendong bayi mungil cantik yang di beri nama Azzahra itu. Entah kenapa merasakan sentuhan kulitnya membuat hatiku menghangat sampai tanpa sadar aku menangis.

"Biya, suatu saat kamu juga akan memilikinya." Kata Mbak Billa sambil mengelus pundakku.

"Iya Mbak, bayinya cantik kaya Mbak Billa."

Cukup lama kami berada di sana, bercanda dan bercerita. Aku lebih fokus melihat bayi cantik ini, rasanya seperti tidak ingin berpisah darinya. Sesekali Mas Kafa ikut melihat bayi yang sedari tadi di gendonganku.

****

Aku termenung menatap benda kecil pipih di tanganku. Rasanya mataku memanas menatapnya, segera ku buang benda itu ke dalam tempat sampah kamar mandi. Berat rasanya, kecewa untuk kesekian kalinya. Tapi aku harus tetap husnudzon sama Allah. Allah pasti lebih tahu yang terbaik.

"Bagaimana Bi?" Tanya Mas Kafa begitu aku keluar kamar mandi. Aku hanya menggelengkan kepala.

"Enggak apa-apa, kita sabar ya. Belum rejeki kita."

"Iya Mas."

Aku memilih menutupi tubuhku dengan selimut, memejamkan mata. Aku hanya ingin menenangkan diri, bukan aku tidak terima takdir Allah. Tapi rasanya cukup berat.

Keesokkan harinya aku izin untuk tidak berangkat kerja. Aku hanya ingin berdiam diri di rumah, entah kenapa tapi hanya ini yang bisa aku lakukan agar perasaanku baik kembali.

1. Kafa Biya (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang