"Jadwalnya magang dulu apa proposal skripsi dulu sih?" Tanya Monik sambil mengunyah makannya.
"Makannya dihabisin dulu, keselek nanti!" Tegurku.
"Inggih Bu Nyai!" Jawab Monik menirukan Devi tapi malah terdengar lucu dengan logatnya.
"Memang kamu tahu Bu Nyai apa?"
"Ya tahu, Nyai pelet, Nyai Ratu Kidul kidu kan?"
"Astaghfirullah, ngawur kamu Mon!"
"Memang Bu Nyai apaan?"
"It sebutan buat perempuan pendamping kyai pengasuh pondok, selain itu juga karena ilmu agama yang dia punya. Ya semacam ustadzah begitu tapi kalau di pondok lebih sering di sebut Bu Nyai."
"Unik. Eh kapan-kapan aku ikut main ke Semarang dong, aku penasaran kaya apa suasana di pesantren begitu kalau kamu suka cerita. Dan penasaran juga karena lulusan pondoknya model kamu gini. Haha!"
"Memang aku model apaan?"
"Ya kalau yang aku tahu orang-orang lulusan pondok itu selalu tertutup begitu dan terkesan tertinggal, terus mana mau berteman sama orang macam aku ini yang beda agama. Tapi kenal kamu itu jujur mengubah semua pandanganku sama orang pondok. Kamu itu terbuka banget sama siapapun dan pinter membawa diri terus mau menerima semua enggak lihat agamanya apa dulu."
Aku hanya tersenyum mendengar celotehnya.
"Alhamdulillah kalau kamu berubah pandangannya. Tak kenal maka tak sayang, besok harus ikut aku biar tahu sendiri bagaimana rasanya. Btw, kamu tadi salah minum obat?"
"Memang kenapa?"
"Jadi manis begitu, biasanya boro-boro muji aku!"
"Sialan!"
"Haha. Devi kemana sih ini?"
"Dia lagi ngurus izin magang."
Aku hanya manggut-manggut sambil menghabiskan makanku. Setelahnya Monik pamit pulang duluan dan aku seperti biasa harus menunggu suami selesai kelasnya. Karena masih lama aku memutuskan untuk ke perpustakaan.
"Biya!" Panggil seorang laki-laki.
"Eh Mas Anas, sudah selesai ngajar Mas?"
"Sudah ini mau pulang. Kamu masih ada kelas apa nunggu Kafa?"
"Nunggu, katanya masih ada satu kelas lagi tapi kayaknya belum mulai."
"Kenapa enggak nunggu di ruangannya saja?"
"Enggak ah, enggak enak sama dosen lain."
"Mau ikut Mas pulang saja? Kemarin Zara bilang kangen, semenjak nikah kamu belum main ke rumah."
"Aku juga kangen Mas, boleh deh. Aku telepon Mas Kafa dulu ya."
Mas Anas masih menunggu aku menelpon Mas Kafa tapi sampai dua kali kuulang belum ada jawaban.
"Enggak di jawab?" Aku hanya menggeleng sambil mencoba telepon lagi.
"Samperin ke ruangan saja, minta izin langsung."
Aku berpikir sejenak. Benar juga sih!
"Nungguin sebentar enggak apa-apa Mas?"
"Enggak apa-apa, malahan Mas bisa beli kopi dulu."
Aku segera menuju ke ruangan Mas Kafa takut Mas Anas nunggu kelamaan. Saat sampai depan ruangan dosen aku ragu. Setelah memotivasi diriku sendiri akhirnya aku beranikan untuk masuk.
Keraguanku kembali datang ketika aku lihat Mas Kafa sedang berbicara dengan seorang wanita dan terlihat serius. Seorang wanita yang waktu itu juga duduk di tempat kerja Mas Kafa. Walaupun agak jauh dari pintu tapi aku masih bisa mendengar jelas apa yang mereka bicarakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
1. Kafa Biya (Terbit)
Teen FictionCinta akan indah pada waktunya di bawah ikatan halal. Cerita tentang seorang gadis yatim piatu berlatar belakang santri sebuah pondok pesantren mencoba kuliah mewujudkan cita-cita mendiang orangtuanya. Namun di tengah jalan dia mendapat banyak mas...