Anehnya ngidam

27.5K 1.3K 13
                                    

Semua menyambut gembira tentang berita kehamilanku. Karena hanya aku yang sedang hamil di keluarga ini, maka aku sangat bersyukur karena banyak perhatian yang tercurah untukku. Sejak saat itu sudah otomatis aku dipecat dari pekerjaanku oleh bos. Satu hal yang mungkin jarang terjadi, sejak mengetahui aku hamil aku malah terlihat bugar tanpa keluhan apapun tetapi kasihan Mas Kafa, sudah dua minggu ini setiap pagi dia selalu memuntahkan isi perutnya.

Seperti pagi ini, dia masih jongkok di kamar mandi. Mukanya pucat sekali, aku membantu memijit tengkuknya. Aku sangat khawatir tapi dokter bilang hal itu biasa terjadi pada banyak pasangan.

"Mas mau sesuatu?" Tanyaku saat membantunya duduk di kasur.

"Minum hangat saja."

Aku segera mengambilkannya minum. Setelah minum dia memilih kembali tidur.

"Mas makan ya?"

"Nanti saja, enggak enak rasanya."

Aku membenarkan letak selimut sampai ke dadanya. Aku membelai rambutnya, dahinya banyak mengeluarkan keringat. Sungguh rasanya tidak tega, aku lebih memilih dengar omelannya karena khawatir padaku daripada melihat wajahnya yang pucat seperti ini.

"Mau kemana Bi?" Katanya lirih saat aku hendak ke dapur.

"Aku ambilin puding ya Mas, buat isi perut kamu biar enggak lemas banget."

Aku segera ke dapur untuk mengambil puding setelah mendapat anggukan darinya. Dengan perlahan aku membantunya makan puding, semenjak mengalami muntah-muntah seperti ini hanya puding yang bisa dia makan. Biasanya kalau dipaksa makan nasi, baru mencium baunya dia sudah muntah lagi.

Tapi yang aneh, dalam kondisi seperti itu dia masih bisa membanggakan dirinya sendiri. Dia malah merasa bahagia karena ikut andil dalam kehamilanku. Ya memang bahagia itu sederhana bisa datang dari mana saja

*****

"Jangan keluar kamar, kalau mau apa-apa panggil Mbak Yanti. Enggak boleh makan sembarangan lagi. Jangan kebanyakan nonton drama korea perbanyak istirahat."

Rupanya dia sudah pintar ngomel. Masuk bulan ketiga kehamilanku, dia sudah tidak pernah mengalami mual atau muntah lagi. Aku bersyukur karena setidaknya dia sudah kembali sehat dan bisa makan apapun. Tapi sebagai gantinya setiap pagi sebelum dia berangkat kerja aku harus mendengar nyanyiannya seperti pagi ini.

Aku pernah bilang kalau mending denger omelannya daripada lihat wajah pucatnya? Sepertinya aku tarik kata-kataku lagi. Pasalnya tingkat posesif dan cerewetnya naik beberapa level semenjak seminggu yang lalu aku harus opname di rumah sakit karena pingsan.

"Kamu denger enggak Bi omonganku?"

"Dengar kok!"

"Apa?"

"Enggak ingat."

"Bagaimana sih? Jangan bikin aku khawatir, aku pilih enggak berangkat kerja kalau kamu begini." Dia mulai berkacak pinggang

"Ya Allah! Iya Mas Biya enggak ingat tapi paham kok. Mas Kafa enggak usah khawatir, Biya pasti hati-hati kok."

"Nanti ibu mau kesini, aku sudah telepon."

"Iya Mas, sudah sana berangkat!"

Dia mendekatiku mencium keningku lalu jongkok di depanku.

"Jagain bundanya ya Nak, jangan biarin bundamu pecicilan lagi. Ayah kerja dulu, Ayah sayaaaaang banget sama kamu dan bunda, sehat-sehat ya kalian. Jagain bunda kalau Ayah enggak ada!" Ucapnya di depan perutku yang masih cukup rata lalu menciumnya. Hatiku menghangat mendapat perlakuan seperti itu.

"Aku berangkat, inget ya har-"

"Iyaaaa, Biya inget kok." Jawabku sebelum dia melanjutkan ucapannya. Butuh waktu setengah jam lagi kalau dia sudah tahusiyah seperti ini bisa terlambat kerjanya.

Setelah Mas Kafa berangkat, menatap kepergiannya rasanya berat padahal cuma ditinggal kerja. Mungkin karena seminggu ini dia cuti dan selalu merawat serta menjagaku.

Aku ke kamar untuk kembali merebahkan diriku, rasanya bosan. Setelah pulang dari rumah sakit, Mas Kafa benar-benar melarangku ke mana-mana.

Aku memilih bermurojaah hafalanku untuk membunuh waktuku sampai siang. Selama mengaji aku selalu mengusap perutku, berharap dikasih keturunan yang mencintai dan mengamalkan Al quran. Siang hari setelah dzuhur ibu datang membawa dua kantong belanjaan berisi buah-buahan, sayuran dan makanan bergizi lainnya.

"Ibu banyak banget belanjanya?"

"Ini saja Ibu enggak belikan semua, itu semua pesanan Kafa. Katanya kamu harus selalu makan bergizi biar sehat terus. "

"Masyaallah anak Ibu memang luar biasa, baru kemarin belanja sekarang sudah belanja lagi."

Ibu terkikik mendengar ucapanku.

"Ya suami kamu itu. Dia begitu karena khawatir sama kalian. Kamu mau di masakin apa? Mumpung Ibu belum dijemput Ayah."

"Enggak usah, ibu pasti capek. Itu Mbak Yanti sudah masak kok."

"Ya sudah deh, Ibu memang pegel."

Kedatangan Ibu memang sangat menghiburku. Beliau banyak cerita dan memberi nasehat tentang kehamilan, mengasuh anak dan banyak hal lagi. Kami asyik mengobrol sampai tidak sadar Mas Anas datang.

"Loh Mas sama siapa kesini?"

"Sendiri Bi." Jawab Mas Anas dengan muka tegang.

"Anas kenapa kok kaya tegang begitu?" Tanya Ibu.

Mas Anas hanya diam saja, dia terlihat bingung mau menyampaikan sesuatu. Perasaanku jadi tidak enak.

"Ada apa sih Mas?" Tanyaku dengan tidak sabar.

"Aku di suruh jemput Tante sama Biya."

"Mau kemana Mas? Siapa yang nyuruh?"

"Om Nur." Mas Anas menarik nafas memberi jeda.

"Kafa kecelakaan Bi, sekarang di rumah sakit. " Kata Mas Anas ragu.

"Kecelakaan apa? Tadi aku telepon baik-baik saja." Aku mencoba menghibur diri, ibu sudah membungkam mulutnya sambil menangis.

"Ayo Bi, ikut Mas Anas."

"Aku enggak mau pergi kalau bukan Mas Kafa yang jemput." Aku mulai tidak terkendali, entah apa yang aku dengar, aku yakin Mas Anas salah bicara.

"Nak! Tenang dulu!" Ibu memelukku sambil menangis.

"Enggak Bu, Mas Kafa enggak apa-apa, dia masih di kantor." Aku mencoba membohongi diriku sendiri, tapi air mata ini sudah tidak bisa dibendung lagi.

"Biya! Ikut Mas ya, kita lihat Kafa. Kamu yang sabar, dia butuh kamu Bi."

"Aku yang butuh Mas Kafa, suruh dia ke sini. Aku enggak percaya Mas Anas pasti bohong."

"Biya! Dengerin ibu, kita harus lihat Kafa, dia pasti sangat butuh kamu."

"Lihat ini!" Mas Anas menyerahkan ponselnya.

Bahkan setelah melihat fotonya pun aku mencoba mengelak, dia bukan Mas Kafa. Bukan suamiku.. Lututku tiba-tiba lemas tak kuat menopang tubuhku.

"Mas Kafa!!" Panggilku lirih dansemuanya menjadi gelap

1. Kafa Biya (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang