"Qobiltu nikaahaa wa tazwiijahaa bilmahril madzkuuri haalan!"
Pak Kafa mengucapkan Ijab Qabul dengan fasih dan mantap. Abah Ahmad sendiri yang menikahkan aku, karena secara hukum Abah Ahmad sah menjadi wali nikahku.
"Alhamdulillah Saaaah!" Terdengar seluruh yang hadir mengucap syukur dan memberikan doa terbaik mereka.
Aku hanya bisa menangis di pelukan umi, perasaanku tidak bisa di ungkapkan. Aku ingat orangtua kandungku, aku bingung bagaimana menjalani hidup kedepan. Ya Allah aku serahkan semua kepadaMu.
Lalu ada seorang santri yang mengantar buku nikah untuk aku tandatangani. Dengan tangan gemetar aku menandatangani buku itu. Aku tidak keluar karena setelah akad tidak ada acara lagi. Acara resepsi akan di adakan menyusul kemudian hari mengingat tidak ada persiapan apapun.
Pukul sepuluh malam pesantren sudah mulai sepi, para tamu undangan sudah banyak yang berpamitan. Masing-masing sudah berada di kamarnya untuk istirahat. Mas Anas dan Mas Royyan juga beberapa santri masih terlihat menemani Pak Kafa ngobrol di masjid tempat akad.
Aku di sini. Di pondok putri. Fahma dan yang lainnya dari tadi sudah berisik menyuruh aku kembali ke kamarku. Aku tidak meghiraukan mereka, aku memilih menutup seluruh tubuhku dengan selimut Fahma, entah kenapa aku sangat gugup bertemu Pak Kafa, suamiku sendiri.
"Bi, masa iya kamu tidur di sini?" Tegur Fahma.
"Iya Ning,dosa lho ninggalin suami. Pasti sudah lebih paham kan daripada kami?" Tambah Zahra penghuni kamar ini.
Aku membuka selimut dengan gusar.
"Ya Allah, kalian pada kenapa sih, numpang semalam saja!"
Di saat kami sedang berdebat terdengar suara Mbak Nilna memanggilku, buru-buru aku menutup tubuhku dengan selimut dan pura-pura tidur.
"Astagfirullah, kok malah tidur di sini?"
"Daritadi enggak mau Ning kita suruh ke dalam!" Jawab Fahma.
"Biya, kamu kok kaya anak kecil sih, enggak malu sama santri-santri? Sekarang kamu masuk, kasihan Kafa dia bingung harus tidur dimana."
"Suruh tidur kamarku Mbak, aku disini, aku belum bisa Mbak!" Kataku memohon.
"Bukan masalah bisa dan enggak bisa Bi, tapi ini kewajiban kamu. Kamu sudah jadi istrinya. Cepetan sana, keburu umi yang kesini lho!"
Dengan ragu aku masuk bareng Mbak Nilna. Aku melihat Pak Kafa masih mengobrol dengan abah dan Mas Anas di ruang tamu, lalu aku masuk kamar. Aku ke kamar mandi untuk mengganti pakaian dan berwudhu. Berkali-kali aku membasuh wajahku untuk menghilangkan rasa gugupku, tapi nihil.
Aku melangkah keluar tanpa menggunakan jilbab dan hampir saja aku berteriak karena keget ada seseorang yang duduk di kasurku sambil mamainkan handphone. Buru-buru aku menarik jilbabku di kursi dan memakainya.
"Kenapa?" Tanyanya heran dengan tingkahku.
"Enggak apa-apa Pak."
"Kamu istri aku sekarang, kenapa harus pakai jilbab?"
Aku tertegun, apa benar tadi Pak Kafa? kenapa beda banget sama yang di kampus itu.
"Maaf, saya belum terbiasa Pak."
"Kemarilah!" Perintah Pak Kafa dan aku masih diam di depan pintu kamar mandi. Beneran Pak Kafa nyuruh aku mendekat?
"Sini Biya, ini perintah suami lho!" Katanya dengan nada dingin dan datar persis di kampus itu
Baru saja aku heran dengan sikap lembutnya, sekarang sudah balik lagi. Ini baru aku percaya kalau dia dosen dari kutub itu.
Dengan ragu aku mendekat dan duduk di sampingnya. Lalu dia menarik jilbabku yang tidak aku pakai dan memegang puncak kepalaku. Aku hendak memberontak namun terhenti ketika dia mulai melafalkan doa.
"Allahumma Inni Asaluka Min Khairiha Wa Khairi Ma Jabaltaha 'Alaihi. Wa A'udzubika Min Syarriha Wa Syarri Ma Jabaltaha 'Alaihi"
Lalu kurasakan tangannya gematar dan mencium puncak kepalaku dan aku hanya bisa mengamini dalam hati. Kenapa aku jadi enggak karuan begini ya?
"Sudah, tidurlah! Aku mau mandi!"
Dia bergegas masuk ke kamar mandi. Aku masih diam di tempat, mencoba mencerna apa yang barusan terjadi. Sungguh aku bingung harus berbuat apa.
"Tolong ambilkan pakaianku di koper itu!"
Aku tersadar dari lamunanku dan langsung mengambilkannya baju. Setelah dia keluar dengan pakaian lengkap, aku masih setia duduk di kursi sambil mengotak-atik handphone.
" Enggak tidur?"
"Kalau Pak Kafa mau istirahat silahkan, saya gampang nanti bisa tidur di pondok."
Dia melangkah dan membaringkan tubuhnya di kasurku.
"Kamu yang suka ngelamun di kelasku kan?"
"Kapan? sekali saja!"
Dia tidak menjawab malah memejamkan matanya.
"Dasar dosen nyebelin." Gumamku lirih dan hendak melangkah keluar baru saja memegang gagang pintu dan langsung melepaskannya ketika dia besuara.
"Kamu enggak bisa keluar kalau aku enggak kasih izin." Katanya masih dengan mata tertutup.
Ya Allah,orang sabar kuburanya lebar!
"Dosa kesel sama suami sendiri."
Aku tercekat, dia punya indera keenam??
Dengan kesal aku berjalan kembali ke kursiku dan mulai mengambil novelku. Aku membolak balikan halaman tanpa membacanya. Sebenarnya aku sudah sangat capek dan ngantuk, tapi mana mungkin aku tidur di sebelah Pak Kafa.
Pak Kafa terlihat memejamkan matanya, sekuat tenaga aku menahan rasa ngantukku tapi entah berapa lama bertahan akhirnya aku tertidur di meja.
*****
Sayup-sayup aku mendengar suara kentongan dipukul lanjut adzan shubuh, aku meregangkan otot-otoku dan membuka selimutku. Saat aku membuka mata aku berteriak untung masih ingat untuk membungkam mulutku sendiri. Aku melihat Pak Kafa tidur di sampingku.
Apa ini? Semalam aku ngapain? Kenapa bisa tidur di sini?
"Enggak usah mikir aneh-aneh, tadi malam aku pindahin kamu karena aku rasa tidurmu enggak nyaman di meja." Kata Pak Kafa masih dengan mata terpejam.
"Bapak enggak berbuat yang aneh-aneh kan?" Tanyaku curiga. Pak Kafa lalu membuka matanya dan menatapku heran.
"Kenapa?? Itu hak ku kan? Aku yakin kamu sudah hafal betul kitabnya."
"I..iya, tapi kan... Aduuuh tahu ah Pak, mending kita sholat. Bapak mau sholat di masjid apa di sini?"
"Aku ke masjid saja." Lalu dia beranjak menuju kamar mandi, sebelumnya dia mengusap kepalaku dan tersenyum manis. Sedangkan aku masih sibuk mengatur detak jantungku yang sudah tak beraturan. Aku menyiapkan baju untuk dia sholat dan langsung menuju kamar mandi ketika dia keluar. Aku mengerjakan sholat shubuh di kamar dan lanjut muroja'ah hafalanku. Ketika aku sedang melantunkan ayat-ayat al quran, Pak Kafa masuk dan...
Masyaallah, kenapa Pak Kafa beda banget? Dia pakai koko, sarung dan pecinya. Masyaallah sungguh indah ciptaanMu!
"Biasa saja ngelihatnya, bersyukurlah punya suami yang enak dipandang."
Enggak jadi memuji sudah keburu kesal, ada ya orang yang percaya diri nya diborong semua?
"Boleh aku menyimak bacaanmu?" Tanyanya dan sukses membuat aku deg-degan.
"Eh, bagaimana Pak, saya malu belum lancar."
Tanpa berbicara lalu dia mengambil mushaf yang ada di meja kecil depanku dan duduk di depan menghadapku.
Ya Allah, disimak Abah saja aku sudah kalang kabut apalagi disimak sama dia??
"Ayo, kenapa enggak mulai?"
Dengan sedikit gugup aku mulai melafalkanhafalanku. Berkali-kali aku enggak konsen karena gugup. Dari caranya nyimak diasepertinya sudah terbiasa melakukanya, bahkan tak jarang dia membenarkanmakhraj huruf yang aku baca tidak tepat. Alhamdulillah.
KAMU SEDANG MEMBACA
1. Kafa Biya (Terbit)
Teen FictionCinta akan indah pada waktunya di bawah ikatan halal. Cerita tentang seorang gadis yatim piatu berlatar belakang santri sebuah pondok pesantren mencoba kuliah mewujudkan cita-cita mendiang orangtuanya. Namun di tengah jalan dia mendapat banyak mas...