Adam?

29.1K 1.9K 19
                                    

Seminggu sudah aku menyandang status sebagai istri Pak Kafa, tidak banyak yang terjadi pada kita. Harus ku akui bahwa Pak Kafa itu orangnya sangat pengertian, terbukti walaupun dia selalu berbuat sesukanya tapi sampai saat ini dia belum pernah meminta haknya padaku karena aku pernah menyampaikan agar bisa diberi waktu untuk menerima dan terbiasa dengan semua ini.

"Aku tunggu di bawah, cepatlah aku ada kelas pagi!" Seperti biasa dia berbicara tanpa ekspresi.

"Saya berangkat sendiri saja ya, enggak enak dilihat orang-orang di kampus. Mereka kan enggak tahu kalau kita nikah Pak!" Aku memohon. Aku memang meminta agar pernikahan ini dirahasiakan sementara waktu sampai resepsi di Bandung digelar.

"Memangnya kenapa? Biar saja mereka lihat!"

"Enggak apa-apa Pak, saya belum siap diteror banyak fans Bapak. Nanti kalau mereka tanya saya harus jawab apa?"

"Ya jawab apa adanya!"

"Jangan Pak, saya belum siap. Saya takut dianggap modusin dosen sendiri."

"Jangan berpikir macam-macam, cukup turuti apa kataku." Lalu dia keluar, kenapa susah banget sih dia mengerti aku, apa dia terpaksa dengan semua ini? Kalau iya seharusnya dari awal dia menolak.

Walau bagaimanapun aku tidak mau menjadi istri yang tidak patuh. Aku tetap berangkat bareng dengan Pak Kafa. Saat sampai pertigaan dekat kampus aku meminta turun, tapi tidak ada tanda-tanda dia mau menurutiku, dia tetap diam dan terus melajukan mobilnya. Aku hanya bisa menghembuskan nafasku kasar.

"Kenapa? Enggak baik kesel sama suami sendiri."

"Mana ada suami yang enggak pernah dengerin istri?" Kataku pelan.

"Apa?"

"Eh enggak Pak, saya turun ya." Lalu aku perhatikan kanan kiri depan belakang, saat keadaan sepi dan aman aku langsung bergerak cepat keluar dari mobil, namun aku terduduk kembali saat Pak Kafa menarik tasku.

"Astaghfirullah, kenapa sih Pak tarik-tarik?" Kataku kesal.

"Pamit yang baik sama suami." Dia menyodorkan tangannya, aku tetap meraihnya dan menciumnya walaupun jengah.

"Hati-hati, nanti pulangnya tunggu aku!" Tambahnya sambil mengelus tanganku.

Aku hanya diam membeku mendapat perlakuan seperti itu.

Sebenarnya bagaimana sih perasaan Pak Kafa? Susah banget ditebak.

"Aku tahu aku ganteng, tenang saja laki-laki ganteng ini suamimu!" Katanya lagi sambil keluar mobil.

Suami siapa sih itu kok percaya dirinya menembus langit?

***

Aku sudah selasai kuliah sejak dua jam yang lalu tapi masih betah berada di perpustakaan karena harus menunggu Pak Kafa. Dua sahabatku ini juga masih setia menunggu.

"Kamu nungguin apa sih Bi?" Tanya Devi.

"Kalau kalian mau pulang enggak apa-apa, tanggung nih bentar lagi tugas artikel selesai."

"Wuiiih, itu kan tugas masih seminggu lagi, sudah dikerjakan saja!"

"Ya enggak apa-apa, takut keluapaan!"

"Kalau begitu kita duluan saja ya!" Pamit Monik devi

"Hati-hati!"

Aku belum siap untuk cerita pada dua sahabatku itu, aku pasti cerita tapi enggak sekarang. Aku melanjutkan berkutat dengan laptopku, sebenarnya aku sudah minta izin untuk pulang duluan tapi bukan Pak Kafa namanya kalau dengerin omonganku.

"Biya!" Panggil seseorang yang langsung duduk di sampingku.

"Kak Adam!"

Aku tertegun. Iya ya, masih ada Kak Adam kenapa aku bisa tidak ingat, seminggu ini aku benar-benar disibukkan dengan memikirkan perasaan Pak Kafa padaku sampai aku melupakan Kak Adam.

"Kok masih di sini? Bukannya sudah enggak ada kelas?"

"Ini ngerjain tugas dulu."

"Kamu kemana saja? Liburan kemarin aku telepon dan whatsapp kamu tapi tidak pernah ada jawaban?"

"Iyakah? Kok Biya enggak tahu?"

"Ah bercanda, orang di read kok, tapi enggak dibalas."

"Masa sih Kak? Enggak ada kok!"

Jangan-jangan...

"Ya sudah enggak apa-apa. Kamu sudah makan? Ke kantin yuk?"

"Aku-" Belum sampai aku menjawab tiba-tiba hpku berdering.

"Maaf Kak, sebentar ya!"

Aku menepi sebentar mengangkat telepon dari Pak Kafa yang berujung aku kesal sendiri karena dia memintaku cepat ke parkiran. Tadi siapa yang bilang mau kesini?

"Kenapa Bi?"

"Maaf ya Kak, aku harus pulang duluan ada kepentingan, Assalamualaikum!"

"Tapi Biya!!"

Aku tidak menjawab teriakan Kak Adam, aku harus sadar posisiku sekarang. Aku berlari menuju mobil Pak Kafa takut dia menunggu lama.

"Maaf Pak, katanya tadi mau ke perpustakaan?" Kataku sambil terengah mengatur nafas.

"Enggak jadi." Jawabnya singkat sedikit judes malah.

Kenapa lagi sih Pak Kafa?

Tiga puluh menit perjalanan sampai ke rumah kami lalui tanpa ada pembicaraan apapun. Sampai saat ini aku belum bisa memahami bagaimana sebenarnya sifat Pak Kafa, dia begitu cepat bisa berubah dan sulit di tebak.

Sesampainya di rumah, dia tetap tidak berbicara hanya bersalaman dengan ibu dan langsung pamit masuk ke kamar. Aku menyempatkan bermain sebentar dengan Nayla anak Azka yang sedang digendong ibu mertuaku.

"Pak Kafa mau makan atau mandi dulu?" Tanyaku setelah menyusulnya.

"Makan."

"Saya ambilkan." Aku keluar untuk mengambilkan makanan. Jujur saja saat ini aku merasa jengah dengan sikap Pak Kafa, aku bingung sebenarnya dia menganggap aku sebagai apa. Kalau memang tidak setuju lebih baik dari awal dia bilang, bukannya dia sendiri yang bersedia?

"Ini Pak!" Kataku sambil memberikan nampan berisi makan dan minum.

"Kamu tidak makan?" Tanyanya sambil tetap fokus pada makananya.

"Nanti saja Pak, saya mau mandi dulu."

Tiba-tiba langkahku terhenti saat dia akhirnya memegang tanganku.

"Sampai kapan kamu mmemanggilku dengan sebutan itu? Di luar kampus aku bukan dosen kamu."

"Bapak mau dipanggil apa?"

"Terserah, apapun itu yang penting bisa menambah ketakdziman kamu pada suami!"

"Nanti saya pikirkan."

Aku melepaskan tangannya lalu masuk ke kamar mandi, aku sengsaja menghidupkan shower agar tangisanku tidak terdengar. Aku tidak tahu kenapa rasanya sulit sekali menjalani semua ini, kalau memang dia keberatan kenapa harus setuju? Akupun sama, berat menerima semua ini, tapi aku tidak bisa menolak abah, orang yang selama ini menggantikan peran ayah untukku.

1. Kafa Biya (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang