kedua kalinya

28.5K 1.7K 5
                                    

"Kalian pada ngapain sih?" Tanyaku heran pada dua sahabatku yang sedang celingukan di depan kelas.

"Ssstt! Diem kita lagi nungguin Pak Kafa masuk!" Jawab Devi tanpa melihatku.

"Ngapain?"

"Mau ngasih tugas, biar jadi yang pertama!" Jawab Monik tanpa dosa.

"Dasar modus!" Desisku pelan, lalu meninggalkan mereka untuk mencari tempat duduk.

Tidak lama kemudian terlihat Pak Kafa berjalan mendekati kelas kami, dan benar saja kedua orang absurd itu langsung menyerahkan tugasnya dengan senyum penuh harapan.

"Kumpulkan di meja saya. Dan hari ini tidak usah ikut kelas saya." Katanya lalu jalan begitu saja melewati mereka berdua.
Sebenarnya aku kasihan tapi bagaimana dong enggak bisa nahan tawa. Kasihan banget dicuekkin.

"Jangan pernah mendahului perintah saya. Sekarang kumpulkan tugas kalian di sini!" Kata Pak Kafa masih dengan wajah datarnya.

Astaghfirullah, ada ya orang model begitu!

"Biya, Abiya Nur Syafa?"

Aku terkejut dengan panggilannya setelah ada yang menyenggolku.

"Iya Pak, saya!"

"Keluar dari kelas saya, saya hanya mengajar mahasiswa yang serius bukan yang melamun!" Katanya dengan tatapan datar tapi pengen banget dikatain.

"Maaf Pak, saya serius belajar!"

"Keluar!!!" Dia tidak berteriak tapi sumpah, ekspresinya pengen banget ditampol, membuat aku berpikir bahwa kesabaran itu ada batasnya.

Lalu aku keluar dengan hati jengkel. Sabar.. Sabar.. Ingat kata abah harus patuh apa kata guru. Dosen termasuk guru juga kan?

Dua sosok sahabatku yang sudah terlebih dulu diusir langung tertawa puas banget melihat aku yang menyusul mereka dengan wajah kusut.

"Sudah terima nasib kita memang sehati, yang dua enggak boleh masuk, eh yang satu disuruh keluar." Devi menyahut disela tawanya.

"Aku beneran heran deh, ada ya orang model begitu. Astaghfirullah malah jadi ngomongin orang, makan saja yuk, aku trak-"

"Ayuk. Siap!" Belum selesai ngomong mereka sudah menyahut.

"Ya Allah. Cepet banget pahamnya kalau ada yang gratis."

******

Aku bersyukur karena sejauh ini bisa menjalani kuliah dengan sangat baik terlebih lagi sekarang aku ikut komunitas semaan quran rutin yang juga ada mbak Zara dan Bu Hanifah. Setiap minggu ada kegiatan semaan quran di berbagai tempat sesuai urutan anggota. Aku selalu ingat pesan Abah Ahmad, apapun kegiatannya tidak boleh melupakan al quran karena itu kunci kemudahan.

Tak terasa aku sudah masuk semester lima. Selama itu aku hanya beberapa kali pulang ke Semarang, hanya pada saat ada acara penting. Bagiku itu cukup karena umi dan abah selalu mampir ke rumah Mbak Zara setiap ada acara di Bandung.
Mas Royyan?? Tentu saja aku masih berusaha kuat menyingkirkan sisa-sisa wajahnya dari pikiranku. Mas Royyan dan Mbak Nilna telah dikaruniai seorang putri cantik yang di beri nama Sheila. Aku hanya butuh sedikit waktu lagi untuk benar-benar menghapus Mas Royyan dari pikiranku.

"Jadi bagaimana kamu sama Adam?" Tanya Monik di sela-sela kegiatan makan.

"Bagaimana apanya?"

"Itu katanya kalian mau taaruf?"

"Gosip saja, orang enggak pernah ada kata-kata itu."

"Kirain beneran, biar Bu Nyai ini enggak kelamaan jomblo." Ejek Devi.

"Allah, baru sekarang ada jomblo ngeledek jomblo!" Protesku.

"Oh iya aku juga jomblo ya. Haha!"

Begitulah mereka, aku merasa nyaman dekat dengan mereka walaupun mereka jauh banget sifatnya sama santri-santri di pesantren yang selalu menjujung tinggi kesopanan.

Ngomong-ngomong tentang Adam, dia adalah ketua rohis di kampus. Dia lelaki humoris dan sangat humble. Dia satu tingkat di atas kami dan tahun ini adalah tahun terakhirnya. Sebenarnya apa yang dibilang Monik tidak salah, Kak Adam memang mengatakan ingin taaruf setelah dia lulus. Aku tidak pernah mengiyakan keinginanya, aku masih ingin fokus dengan kuliahku dan aku masih trauma dengan ucapan laki-laki tentang hal seperti ini. Aku takut akan berakhir seperti Mas Royyan.

"Biya, lo di panggil Pak Anas ke ruangannya." Ujar salah seorang teman kelasku, aku langsung bersiap dan mengucapkan terimakasih padanya.

"Kenapa Mas Anas nyariin aku ya?"

"Sudah sana dulu, takut penting!" Kata Devi.

Aku bergegas ke ruangan Mas Anas, namun langkahku terhenti saat melihat Mas Anas sedang mengobrol dengan dosen dari kutub utara, siapa lagi kalau bukan Pak Kafa.

"Ada apa Mas?"

"Kenapa panggilannya begitu sama dosen?" Bukan Mas Anas yang menjawab melainkan Pak Kafa. Aku jengah, bosan meladeni sikap enggak jelasnya.

"Ada Pak Anas mmemanggil saya?" Kataku lagi tanpa memperdulikan Pak Kafa dan Mas Anas hanya tertawa sambil geleng-geleng.

"Ini aku minta tolong nanti kamu bawa mobil pulang, soalnya dari sini aku langsung ke Jakarta buat dampingin study banding."

"Siap Pak!" Tak ingin berlama-lama di ruangan Mas Anas aku segera keluar setelah mengambil kunci mobil. Malas pakai banget harus berurusan dengan Pak Kafa diluar urusan kuliah.

*****


Alhamdulillah, walaupun membawa mobil dengan sangat pelan dan was-was akhirnya aku sampai rumah.

"Mas Anas sudah berangkat Bi?"

"Sudah Mbak, tadi sebelum aku selesai kelas."

"Besok acara khataman di Semarang kamu pas libur kuliah kan?"

"Iya Mbak, aku sudah bilang kok sama Umi mau pulang."

"Sip!"

Aku pamit untuk masuk kamar dan segera membersihkan diri dilanjut sholat maghrib. Tak lupa aku mengulang hafalanku sesuai jadwal yang telah aku buat.

Esok harinya aku berangkat kuliah membawa mobil Mas Anas. Setelah sampai di parkiran kampus, aku bingung mencari tempat parkir karena sudah penuh. Kebingunganku terhenti kala mendengar bunyi klakson mobil di belakangku yang terdengar tidak sabar. Lalu dengan susah payah aku mencoba memarkirkan mobil.

"Pastikan SIM lulus bukan karena nyogok." Ucap seseorang tanpa melihatku, siapa lagi kalau bukan dosen dari kutub utara.

"Iya Pak, maaf." Jawabku tapi tentu saja tidak dipedulikan olehnya. Aku berhenti sebentar, mengelus dada sendiri agar sabarku enggak berkurang.

"Biya! Kamu kenapa bengong di sini?" Tanya Kak Adam yang menghampiriku

"Eh Kak Adam, ini tadi bingung cari parkir. Aku ke kelas dulu Kak!" Entah kenapa aku ingin buru-buru meninggalkan Kak Adam.

"Biya!" Kak Adam menarik tasku untuk menahanku.

"Ada apa Kak?"

"Kamu enggak lagi menghindari aku kan?"

"Kenapa aku harus menghindari Kakak?"

"Terimakasih, aku hanya ingin meyakinkan kamu untuk menunggu aku selesai skripsi, setelah itu aku akan datang ke orangtua kamu."

"Lebih baik Kakak kerjakan dulu apa yang ingin Kakak kerjakan, soal rencana itu serahkan semua ke Allah."

"Tapi Bi-"

"Maaf Kak, aku ada kelas!"

Aku berjalan secepat mungkin meninggalkan Kak Adam. Aku hanya ingin menyerahkan semua urusanku pada Allah, aku tidak mau mengharap lebih pada manusia karena saat tidak tercapai rasa kecewanya lebih dalam.

1. Kafa Biya (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang