Berpisah

27.5K 1.6K 35
                                    

Satu hari kunjungan Mbak Billa aku sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Mas Kafa membereskan barang-barangku. Tak lama kemudian beberapa anggota keluarga Bandung datang, keluarga Semarang sudah pulang kemarin.

"Pulang kerumah Ibu dulu ya Biya? Biar Ibu yang bantu merawat kamu." Kata Ibu mertuaku yang duduk di samping Ayah

"Ke rumah Mbak Zara juga boleh Bi, yang penting jangan ke rumah kalian dulu, kasihan Kafa juga sendirian." Mbak Zara menimpali.

"Enggak apa-apa mbak, kalau Biya maunya pulang kerumah kita, dengan senang hati aku akan merawatnya sendiri." Sahut Mas Kafa

"Aku pulang ke Semarang." Kataku masih dalam posisi duduk di bed pasien.

"Sayang, kamu belum kuat jalan jauh. Besok ya." Bujuk Mas Kafa.

"Sampai kapan kalian akan mempermainkan perasaanku, menjadikan aku orang paling bodoh yang tak tahu apa-apa?" Tanyaku tetap tenang tapi air mataku sudah tidak bisa berhenti.

"Maksud kamu apa Biya?" Mas Kafa mendekat dan memegang tanganku. Perlahan aku melepaskannya. Aku tersenyum kecut lalu menghela nafasku sebelum melanjutkan kata-kataku.

"Sedari dulu aku tidak pernah tahu apa-apa, dari awal apapun pendapatku memang tidak pernah dihargai. Aku memang bukan siapa-siapa dikeluarga kalian terbukti apapun itu dari yang kecil sampai yang besar sekalipun aku tidak pernah mengetahuinya." Aku mencoba menahan tangisku, aku melihat semunya khawatir terhadapku.

"Biya, kamu salah sangka, enggak seperti itu!" Kata Mas Anas sambil menenangkan Mbak Zara yang menangis

"Biya yang bodoh Mas Anas, Biya yang tidak tahu diri. Biya yang tidak pantas berada di sini, istri macam aku ini yang tidak tahu bahwa suaminya pernah terpuruk karena kepergian kakaknya, istri macam apa aku ini yang tidak tahu bagaimana beratnya kehidupan suaminya dan istri macam apa aku ini yang tidak bisa menjaga calon anakku sendiri." Aku menangis, mengeluarkan apa yang sejak kemarin aku pendam.

Mereka kaget karena akhirnya aku tahu tentang keguguranku. Mas Kafa menangis, dia hendak memelukku namun aku tahan. Entah rasa apa ini, tapi yang jelas aku tidak pantas lagi ada di sini menjadi istrinya.

"Biya! Kamu enggak boleh seperti ini, Mas Kafa yang salah."

"Aku enggak bisa terus membebani Mas Kafa, ceraikan aku dan menikahlah dengan Mbak Billa." Bahkan kata-kataku sendiri terasa menusuk hatiku.

"Biya! Jangan pernah ucapkan kata itu. Kamu salah paham, semua harus dibicarakan, jangan pernah lagi berpikir seperti itu!" Mas Kafa terlihat sedikit emosi.

Aku berusaha kuat, aku sudah memikirkan ini semalaman. Aku enggak boleh lagi menjadi beban untuk semuanya.

"Terimakasih untuk semuanya Mas, aku pamit ke Semarang. Aku tahu kamu berat memilih keduanya, mulai sekarang Mas Kafa enggak usah memikirkan Biya, bagaimanapun Mas Kafa harus berbakti pada guru Mas Kafa, turutilah apa yang beliau kehendaki. Tapi Biya minta maaf karena Biya tidak bisa bertahan dalam keadaan ini."

"Biya, jangan seperti ini Nak!" Ibu memelukku.

Aku melepaskan pelukan ibu mertuaku lalu mencium tangannya dan ayah bergantian.

"Biya minta maaf kalau selama ini belum bisa menjadi menantu yang berbakti, ini yang terbaik untuk semuanya."

Mereka hanya bisa menangis memelukku.

"Mbak Zara, Mas Anas Biya pamit." Lalu aku menyalami mereka.

Aku melangkahkan kakiku ke luar sambil menyeret koperku, aku mencoba tidak peduli dengan teriakkan Mas Kafa yang mmemanggilku walaupun rasanya tidak tega melihatnya terluka. Entah apa yang terjadi nanti. Untuk saat ini biarkan aku memahami semua kondisi ini dengan caraku.

1. Kafa Biya (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang