Umi...Abi

24.9K 1.5K 8
                                    

Dan di sini aku sekarang, di kamar apartemen Monik. Dari kantor Mas Kafa aku pulang ke rumah untuk membawa beberapa pakaianku. Aku sengaja datang ke Monik setelah Mas Kafa mencariku di sana.

Monik juga kaget melihat keadaanku yang sangat kacau. Aku menceritakan semuanya pada kedua sahabatku saat Devi juga datang atas panggilan Monik.

Aku berdoa dalam sholatku, memohon pada yang Maha menguasai hatiku untuk memberi ketenangan dan kemudahan bagiku untuk melewati semua ini.

Cukup lama aku larut dalam kesedihanku sampai aku sadar bahwa besok adalah hari peruntunganku dalam pendidikan. Aku mencoba berkonsentrasi melupakan sejenak masalahku, satu hal yang membuatku harus tetap mengahadapi ujian besok adalah almarhumah umi. Beliau sangat mencintai dunia arsitek, aku enggak boleh gagal dalam hal ini.

Aku terus belsajar, membuka kembali slide power point yang telah aku siapkan meskipun pikiranku sudah tak karuan. Berulang kali kedua sahabatku ini memintaku istirahat tapi aku harus belajar, aku enggak boleh gagal.

Pagi harinya aku menyiapkan diriku, aku bersyukur bisa lebih tenang. Aku tidak bisa membayangkan suasana sidangku nanti, ah aku enggak peduli, yang aku pikirkan sekarang hanya berusaha yang terbaik.

Aku dibantu dua sahabatku menyiapkan ruang sidangku, aku lebih memilih diam tidak banyak bicara. Aku tahu sejak tadi Mas Kafa berada di ruangan ini, Ya Allah maafkan hamba karena mengabaikannya, rasa sakit hati ini benar-benar tidak bisa aku kendalikan.

Satu jam lagi aku akan mulai sidang, saat aku keluar hendak ke toilet terlihat beberapa orang sedang bersama Monik dan Devi. Mereka menatapku cemas, aku tidak peduli, bisikan setan di telingaku lebih aku dengar untuk mengabaikan mereka.

Ibu mertuaku, Mbak Zara dan Azka mereka terlihat cemas melihatku mengabaikan mereka, maaf tapi untuk saat ini aku kecewa dengan kalian. Aku merasa benar-benar seperti orang bodoh, mereka semua mempermainkan perasaanku.

Aku sudah berperang selama hampir 3 jam, selama itu pula aku menganggap Mas Kafa benar-benar hanya dosen pembimbingku. Aku tahu dia merasa berat, tapi satu hal yang harus aku syukuri lagi adalah dia bisa profesional, dia tahu aku sangat ingin mewujudkan cita-cita almarhum umi.

Ah tidak, atau memang dia tidak pernah menganggapku istri maka dengan mudahnya dia melewati sidang ini sebagai dosenku?

Apapun itu aku tidak peduli, yang aku inginkan sekarang hanya bisa melewati sidang ini dengan lancar. Aku menangis terharu saat dosen pengujiku mengumumkan hasil ujianku dan aku dinyatakan lulus dengan nilai 90.56. Alhamdulillah, Abi dan Umi Biya pengen dipeluk sama, Biya sudah lulus, apa Abi dan Umi juga seneng bisa melihat Biya lulus?

Saat kedua dosen pengujiku keluar, aku membereskan sisa sidangku. Aku benar-benar tidak peduli pada seseorang yang sedari tadi tidak beranjak dari kursinya. Dia menatapku sendu, entah apa yang dia pikirkan aku tidak peduli.

Aku keluar dan menangis memeluk kedua sahabatku. Setelahnya aku menyalami ibu mertuaku, Mbak Zara dan Azka tanpa berbicara apapun aku pergi dari sana.

"Biya, selamat ya semoga ilmunya barokah. Maafin Mbak Zara. Pulang ya dek kerumah Mbak, kamu pucet banget."

Aku hanya menanggapinya dengan senyum tipisku, saat ini aku hanya ingin pergi, jauh dari mereka semua. Mereka yang telah mempermainkan perasaanku, aku tahu kalau perbuatanku ini salah tapi aku juga tidak bisa, hatiku akan semakin sakit saat mengingat apa yang mereka lakukan padaku.

*****

Hari ini adalah hari dimana Monik sahabatku melaksanakan ujian skripsinya, dan itu artinya sudah dua hari sejak ujianku aku belum sama sekali berkomunikasi dengan keluargaku.

Aku dan Devi menemani Monik, juga ada beberapa teman lain. Kami bertiga berpelukan, menangis haru bersama akhirnya kita bisa di wisuda bersama.

Tapi kenapa aku merasa semakin menjauh dari mereka, pandanganku kosong, aku terus berjalan dan melamun entah sampai mana pikiran kosongku ini menuntunku.

Aku terus berjalan memastikan keberadaanku sekarang. Aku telah jauh berjalan namun pemandangannya tidak berubah, aku hanya melihat hamparan tanah luas dengan bunga-bunga.

Sampai aku melihat dua orang berada di ujung jalan itu, aku berlari mendekati mereka. Aku menangis melihat dua orang di depanku, mereka yang teramat sangat aku rindukan.

Mereka tersenyum, aku berlari memeluk mereka. Aku luapkan seluruh perasaanku.

"Abi Umi! Biya rindu, Biya sudah lulus kuliah Umi, Biya juga sudah lulus pesantren Abi!"

Aku melihat mereka tersenyum, senyum yang selama ini sangat aku rindukan. Namun aku panik ketika melihat senyum mereka berubah menjadi tangis, mereka memelukku.
Mengusap punggungku, memelukku erat sekali lalu pergi meninggalkan aku yang berteriak dan menangis memanggil mereka.

Lalu aku berlari mengejar mereka, tiba-tiba ada seorang anak kecil berlari mendekatiku, dia tersenyum manis sekali. Saat aku tanya dimana orangtuanya, dia hanya tersenyum dan memberiku setangkai bunga lalu berlari menjauh. Entah kenapa rasanya sedih sekali ditinggalkannya.

Aku tersentak membuka mataku, aku berada di sebuah ruangan asing, aku ingin bergerak namun badanku terasa lemah tak berdaya, perutku sakit seperti ditusuk puluhan pisau. Aku mengamati sekelilingku, ah aku di rumah sakit. Apa yang terjadi?

Aku melihat semua berkumpul di ruangan ini, iya mereka semua yang menjadikan aku orang bodoh tak tahu apa-apa. Mereka menatapku cemas bahkan Umi Hayyin yang menangis di pelukan Hanif. Tapi bagiku tatapan mereka bukan tatapan cemas tapi meremehkanku. Aku membuang pandanganku ke langit-langit kamar.

"Biya Sayang, kamu sudah sadar?" Aku hafal suara serak itu tidak perlu menoleh lagi. Dia mulai terisak dan memegang tanganku.

"Sayang, maafin Mas Kafa ya. Mas Kafa sudah banyak menyakiti hati Biya"

Dengan tidak mengubah posisiku aku tidak peduli dengan penyesalannya, butir-butir air mataku sudah berebutan keluar dari mataku. Entah kenapa rasanya bisa sesakit dan sekecewa ini.

"Aku kenapa?" Tanyaku lirih.

Namun tak ada seorangpun yang mau menjawabku.

"Biya mau makan Nak? " Ibu mertuaku mendekat.

Aku menahan rasa sakit di tubuhku, aku mencari tombol bel perawat. Beberapa saat kemudian perawat masuk.

"Ada yang bisa saya bantu Bu?"

"Saya kenapa Mbak?"

Perawat itu tampak ragu, dia memandang ke arah Mas Kafa.

"Ibu kecapekan dan dehidrasi karena banyak pikiran."

Entah kenapa aku belum puas dengan jawabannya.Aku melihat mereka dan tetap tidak ada yang menjawab.

"Mbak saya ingin istirahat, bisa minta tolong biarkan saya sendiri?"

Dengan kata lain aku ingin perawat ini menyuruh semua yang ada di sini keluar. Perawat dengan ragu menyuruh mereka semua keluar, kecuali satu orang yang sedari tadi tidak berhenti menatapku. Dia bersikeras tidak akan pergi.
Terserah. Aku memejamkan mataku lagi, sungguh aku merasakan tubuhku lemah tak berdaya. 

1. Kafa Biya (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang