Abahku

25K 1.6K 44
                                    

Aku membuka mataku melihat jam dinding yang menunjukkan angka 1. Entahlah satu siang atau malam, terkahir kali aku melihat jam pukul 10.

Aku melihat ke arah samping dan masih dengan orang yang sama. Dia melaksanakan sholat di samping tempat tidurku.

Aku merasakan tenggorokanku sangat kering. Aku melihat segelas air di nakas sampingku. Sekuat tenaga aku bangun dan mengambil gelas itu beruntung letaknya tidak begitu jauh.

"Sayang, kamu sudah bangun?" Mas Kafa segera berlari membantuku meletakkan gelas. Entah kenapa rasanya rahangku masih kaku untuk bicara.

"Makan ya Sayang?" Dia duduk di sampingku dan mengambilkan kotak makanan. Aku masih mengabaikannya.

Aku kembali membaringkan tubuhku dan mencoba memejamkan mataku lagi.

"Setidaknya jangan sakiti dirimu Biya, kamu harus makan!"

"Kamu juga makan dulu sana Kaf, dari kemarin Abah lihat kamu belum makan." Kami kompak menoleh ke sumber suara dan ternyata abah.

"Nanti Bah, biar Kafa memastikan Biya makan dulu."

"Biar Abah yang menyuruhnya makan."

Denagn berat hati akhirnya Mas Kafa berdiri "Kafa titip Biya sebentar Bah!" Mas Kafa beranjak keluar, semoga dia juga makan.

"Makan ya Nduk!" Kata abah yang sudah duduk di sampingku.

"Kalau kamu seperti ini terus, bagaimana kamu melanjutkan ngaji dan kuliahmu? Enggak ingat pesan abi dan umi mu?"

Kata-kata abah selalu sukses menggerakkan hatiku, tapi kali ini aku cukup tangguh untuk tidak terpengaruh.

"Kamu harus tahu, Kafa juga sama hancurnya seperti kamu. Selama ini dia menyimpannya karena takut menyakiti hati kamu, dia tidak bermaksud berbohong, hanya mencari waktu yang pas. Abah tahu kamu sangat kecewa pada kami, Abah minta maaf kalau cara Abah menyayangi dan menjaga kamu itu salah. Abah tahu bagaimana kamu kecil yang sangat rapuh karena ditinggal pergi orangtuamu untuk selamanya, Abahpun sama sedih kehilangan adik Abah satu-satunya. Melihat kamu setiap sore pergi ke kuburan dan menangis membuat Abah teriris hatinya. Sejak saat itu, Abah berjanji akan menjaga dan menyayangi kamu seperti anak Abah sendiri. Abah tidak bisa melihat kamu menangis lagi, Abah hanya ingin melihat kamu selalu bahagia. Sekali lagi Abah minta maaf kalau cara Abah salah."

Abah mendekat, mengusap kepalaku. Aku memeluk Abah, menangis tersedu-sedu di pelukannya mencoba mencairkan bongkahan es yang memenuhi dadaku.

"Biya minta maaf Bah."

"Biya tidak salah, sekarang kalau mau membuat Abah lega, Biya makan ya? Apa mau Abah suapin? Rasanya sudah lama sekali Abah tidak menyuapi kamu."

Aku sedikit tersenyum lalu mengangguk. Abah memang seperti abi, selalu bisa menenangkanku.

Aku makan disuapi abah dan hanya bertahan di suapan ke tiga aku sudah tidak kuat, perutku terasa sangat mual.

"Kalau begitu Abah pulang ya Nduk. Minta ketenangan sama Allah, perbanyak istighfar. Satu lagi pesan Abah, surganya istri itu ada pada ridlo suami."

Aku hanya mengangguk lalu kembali membaringkan tubuhku, menarik selimut sampai batas leherku. Aku masih terus terngiang kata terakhir abah surganya istri pada ridlo suami? Ya, baiklah memang begitu, tapi apa perasaan istri tak berarti untuk suami?

*****

Pagi ini aku sudah merasa lebih mendingan, aku sudah bisa melakukan aktivitas sendiri meskipun sejak kemarin Mas Kafa selalu di sini dan aku masi saja mengabaikan keberadaannya.

Seperti pagi ini, aku sedang menikmati sarapanku walaupun rasanya tidak enak, dia masih setia untuk duduk di sampingku. Beberapa saat kemudian setelah Fahma datang dari Semarang, Mas Kafa minta izin untuk ke kampus karena ada mahasiswa bimbingannya yang ujian. Sebelum pergi dia mencium keningku, memelukku erat. Aku hanya membiarkan saja dia berbuat semaunya.

Aku senang karena Fahma datang dan bertambah senang lagi karena kedua sahabatku juga bergabung. Mereka berusaha menceritakan hal-hal lucu untuk menghiburku. Aku senang dan sesekali ikut tertawa sampai kami harus saling pandang karena kedatangan tamu yang tak terduga.

"Bagaimana keadaan kamu Biya?" Katanya sambil tersenyum manis.

"Alhamdulillah baik Mbak Billa."

"Boleh kita bicara berdua?" Katanya pada ketiga sahabatku.

Mereka hanya saling pandang, aku mengangguk pada mereka untuk membiarkanku bicara berdua dengan Mbak Billa. Walaupun mereka keberatan namun akhirnya mereka keluar.

"Saya minta maaf Biya, kalau karena saya kamu jadi begini." Mbak Billa mulai bersuara ketika ketiga sahabatku sudah keluar.

"Abah saya punya penyakit jantung kronis dan akhir-akhir ini keadaanya memburuk." Dia menghela nafasnya aku masih mendengarkannya tanpa berkomentar.

"Abah punya satu keinginan terakhir yaitu melihat saya anak perempuan satu-satunya untuk menikah. Sudah lama abah menjodohkan saya dengan anak kenalannya tapi bodohnya saya yang masih berharap pada satu laki-laki yang jelas tidak pernah mencintai saya. Saya masih terus berusaha mengharapkannya, dia laki-laki sholeh dan santri kesayangan abah saya sampai dia lulus pondok pun abah masih sering memanggilnya, tapi hati saya hancur ketika tahu dia menikah dengan orang lain." Dia menangis, terlihat sekali hatinya terluka.

"Mbak Billa mencintai Mas Kafa?" Tanyaku langsung pada pokok permasalahannya dengan nada bergetar, dia memejamkan matanya mencoba menahan gejolak dalam hatinya.

"Saya merasa separuh jiwa saya sudah berada di Kafa, dulu saat masih di pondok Kafa pernah kecelakaan dia hampir tidak tertolong, dia membutuhkan transfusi darah. Tante Hanifah yang golongannya sama tidak memenuhi syarat untuk donor. Hanya saya yang golongannya cocok padahal waktu itu saya sedang sakit dan tidak bisa, namun saya hanya ingin melihat orang yang saya cintai selamat. Akhirnya mereka setuju untuk mengambil darahku, setelahnya saya ikut sakit."

"Dia sangat dekat dengan abah, dia selalu menuruti apa permintaan gurunya, dia juga pernah sangat terpukul atas kepergian kakak permpuannya. Ketika kecelakaan itu dia bersama kakaknya dan takdir berkata lain kakaknya meninggal. Lama dia depresi menyalahkan dirinya sendiri atas meninggalnya kakak, dia seperti hampir gila, abah selalu disampingnya, selalu menguatkannya dan butuh waktu lama untuk membuatnya menerima kenyataan itu sampai akhirnya dia bisa bangkit meneruskan kuliahnya."

Aku menangis mendengar ceritanya, ternyata begitu banyak hal yang tidak aku ketahui tentang suamiku sendiri. Pantaskah aku menjadi istrinya? Sepertinya Mbak Billa adalah orang yang sangat mengerti keadaan Mas Kafa, dia sudah berkorban besar untuk Mas Kafa, tidak sepantasnya aku menjauhkan mereka, tidak seharusnya aku di sini menjadi istri Mas Kafa.

"Biya, izinkan Kafa menikahi saya untuk mewujudkan keinginan terakhir abah saya." Katanya sambil memegang tanganku.

"Saya berjanji tidak akan pernah mengambil dia dari kamu."

Aku menangis sejadinya, pertanyaan apa itu? Haruskah aku jawab? Aku hancur, di saat aku sudah benar-benar mencintai suamiku kenapa kenyataan ini baru aku tahu? Dia memelukku, mengusap punggungku sambil menangis.

"Maafkan saya telah begitu dalam menyakiti hatimu. Kamu melewati begitu banyak hal termasuk kehilangan calon anak kamu, tidak seharusnya saya meminta ini, tapi saya tidak punya pilihan lain."

Tubuhku menegang, mencoba mengulang kembali kata-katanya. Calon anak? Aku keguguran?

1. Kafa Biya (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang