Mas Kafa

29.1K 1.8K 5
                                    

Acara 4 bulanan kehamilan Mbak Nilna berlangsung hikmat, sampai saat ini aku belum bisa bersikap biasa sama Mas Royyan. Sebisa mungkin aku menghindari bertatap langsung dengannya, begitu juga denganya aku rasa dia juga berusaha meminimalisir berbicara denganku.

Selesai acara aku mengunjungi Fahma dan santri yang lain, kangen juga rasanya. Setelah ngobrol dan melepas Kangen aku mencari-cari keberadaan suamiku tapi tak juga ketemu.

"Biya, sini!" Suara Abah mengagetkanku.

"Iya Bah!"

"Kafa mana?"

"Biya dari pondok putri baru mau cari Pak Kafa Bah!"

"Biya, enggak baik sayang, masa manggil suami sama dosen enggak ada bedanya!" Itu suara lembut umi yang ikut bergabung denganku dan Abah.

"Masih kaku Umi, nanti Biya coba!"

"Biya,, kalau Abah enggak salah kamu lulus madrasah satu tahun lebih cepat!"

"Iya Bah!" Aku hanya tertunduk, kalau abah sudah mulai bicara serius begini pasti ada sesuatu.

"Bagi Abah itu enggak akan ada artinya kalau tidak dibarengi dengan praktiknya. Kamu pasti tahu betul bahwa ilmu yang tidak diamalkan itu pasti tidak ada berkahnya."

"Nggih Bah!"

"Abah yakin kamu sudah tahu secara garis besar tentang ilmu menjalani rumah tangga, gunanya ilmu itu agar bisa diamalkan dalam hidup kita. Abah yakin Biya bisa menjadi istri yang sholehah."

Aku seperti tersadar akan semua kesalahanku yang belum bisa menjadi istri yang baik , dan yang aku heran sampai saat ini abah itu seakan selalu bisa tahu apa yang terjadi pada anak-anaknya persis seperti almarhum abi.

"Ya sudah, kamu istirahat sana sudah malam."

"Iya Umi, Biya permisi dulu."

Aku masuk ke kamar lalu membersihkan diri dan bersiap tidur, namun aku gelisah, aku terus terpikir kata-kata abah. Selama ini aku belum bisa menjalankan kewajibanku sebagai istri Pak Kafa. Astaghfirullah. Ampuni hamba Ya Allah.

"Kenapa belum tidur?" Sapa Pak Kafa yang baru saja masuk.

"Pak Kafa darimana?"

"Tadi nemenin Mas Anas di pondok putra."

"Pak Kafa, boleh saya tanya sesuatu?"

"Tidak ada aturan orang bertanya harus izin dulu Biya!" Jawabnya santai tapi senyumnya tetep bikin hatiku enggak santai.

"Pak Kafa menyesal menikah dengan Biya?" Tanyaku ragu

"Pertanyaan macam apa itu?"

"Biya minta maaf Pak, kalau sampai saat ini Biya belum bisa menjalankan kewajiban Biya sebagai istri." Aku mulai tertunduk. Ini air mata kenapa berdesakkan keluar sih?

Pak Kafa mendekat dan menangkup kedua pipiku.

"Ada apa Biya?" Tanyanya khawatir.

"Maaf, Biya minta maaf!" Aku semakin tak kuasa menahan tangis. Pak Kafa memelukku, mencoba menenangkanku.

"Biya dengerin ya! Aku tahu bagaimana perasaan dan posisi kamu saat ini. Pernahkah aku memaksa kamu melakukan yang belum bisa kamu lakukan? Pernahkah aku marah karena kamu tidak menjalankan kewajibanmu? Kamu ingat satu hal ya, sejak aku menyebut nama kamu dalam akad, saat itu juga aku mendedikasikan seluruh jiwa dan ragaku untuk kamu, untuk kebahagiaan kamu. Aku akan sabar menunggu kamu sampai siap dan ikhlas menyerahkan seluruh hati, jiwa dan raga kamu untuk menjadi istriku karena memang seharusnya seperti itu."

"Tapi Pak saya-"

"Biya enggak usah khawatir, aku juga minta maaf belum bisa baik dalam memperlakukan Biya sebagai istri."

"Bantu Biya ya Pak biar bisa menjadi istri yang taat!"

Entah keberanian darimana tiba-tiba aku memeluknya, menangis di dadanya, sekarang aku merasa bahwa Pak Kafa adalah orang yang berharga dihidupku. Aku sangat ingin memeluknya, meminta maaf dan berterimakasih padanya.

"Jangan mancing-mancing Biya, atau mau aku kasih pelunasannya sekarang?" Katanya sambil tertawa geli.

"Pelunasan apa Pak?" Aku beneran bingung,

"Waktu itu di mobil sudah aku kasih DPnya!"

Aku memukul lengannya pelan, mungkin wajahku sudah memerah.

"Haha, lucu kamu! Biya beneran mau taat sama suami?"

Aku mengangguk sambil tersenyum tulus.

"Mulai dari hal kecil dulu!"

"Apa Pak?"

"Ubah panggilan Biya, kalau di kampus memang seharusnya seperti itu. Tapi diluar kampus aku miris sendiri dipanggil Pak sama kamu, berasa tua banget."

"Haha, memang sudah tua kan Pak?"

Tiba-tiba dia hanya diam dan terus menatapku. Salah ngomongkah aku?

"Pak, maaf cuma bercanda!"

Dia tetap diam dan terus menatapku aneh. Akhirnya aku menyerah, dengan sedikit gugup aku meminta maaf lagi.

"Maaf ya Mas Kafa!"

Sedetik kemudian dia malah senyum-senyum enggak jelas.

"Bisa begitu ya? Cepat sekali berubahnya."

"Kku kok jadi deg-degan ya kamu manggil begitu!" Dia malah semakin enggak jelas.

"Nabung pahala Mas!" Jawabku asal tapi sebenarnya jantungku juga sudah enggak santai.

"Haha, pinter!" Katanya sambil menarik hidungku.

"Ya sudah kita istirahat, aku ke kamar mandi dulu."

Aku terus memperhatikan Mas Kafa, entah kenapa rasanya selega dan senyaman ini bisa tertawa bersamanya. Mulai sekarang aku akan berusaha menjadi istri yang baik untuknya.

***

Keesokkan harinya keluarga Abah Ahmad kumpul untuk sarapan bersama. Sedikit demi sedikit aku sudah mulai bisa bersikap biasa pada Mas Royyan meskipun aku merasa dia masih jaga jarak denganku.

"Jadi sudah sampai mana persiapannya Kaf?" Tanya Abah

"Alhamdulillah sudah hampir selesai Bah, tinggal nunggu undangan jadi."

"Berarti habis di sini akan ada acara di Bandung lagi Kaf?" Tambah Mbak Zara.

Aku yang daritadi sibuk menyuapi Sheila mau tidak mau bertanya karena penasaran.

"Memang ada acara apa Mbak?"

"Kamu malah tanya sama Mbak, ya ini kan acara kamu?" Mbak Zara menjawab sambil terkekeh. Aku mengerutkan keningku.

"Jadi resepsinya mau bareng sama haul kan Bah?" Tanya Umi.

"Iya, biar sekalian kasihan para santri kalau harus bantu-bantu terus."

Resepsi siapa sih? Aku melirik Mas Kafa mencari jawaban tapi dianya malah asyik makan.

"Hanif nikah?" Tanyaku masih dengan wajah polos.

"Wah Mbak Biya, aku merasa tersinggung ini sebagai jomblo." Dia malah tertawa, tapi bukan itu yang aku maksud.

"Kamu kenapa Bi malah bingung begitu?" Tanya Mbak Nilna seolah tahu raut wajahku.

"Bulan depan kan kamu resepsi Biyaaa!" Mbak Zara menjawab sambil tersenyum

Aku menatap Mas Kafa tajam, untuk kesekian kalinya aku selalu tidak tahu tentang rencana-rencana besar dalam hidupku sampai acara resepsiku sendiri saja aku tidak tahu. Sebegitu enggak berharaganya pendapatku??

1. Kafa Biya (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang