Dunia Baru

29.7K 1.7K 5
                                    

Selepas jamaah isya di masjid utama, para santri putra terlihat sibuk menyiapkan acara ijab qabul. Rencana Abah Ahmad sendiri yang akan menikahkan putrinya didampingi oleh petugas KUA setempat.

"Ya Muhammad Royyan bin Hamam al Ghifari!"

"Labbaik."

"Ankahtuka wazawwajtuka ibnatii Nilna Rikzatil Akhfa bimahri 'Adawati Sholati Haalan!"

"Qobiltu nikaahaa wa tazwiijahaa bilmahril madzkuuri haalan"

"Alhamdulillah."

Terdengar gemuruh dari tamu undangan mengucapakan syukur karena ijab qabul berjalan lancar. Satu persatu kyai yang hadir memberikan barakah doa kepada mempelai berdua. Nilna terlihat menangis memeluk uminya, entah perasaan bahagia atau yang lain tapi Biya anggap tangisan itu adalah tangisan bahagia karena Nilna bisa menuruti perintah Abah. Biya juga tampak menangis terharu sambil menggendong Syauqi anak Zara. Satu sisi dia turut berbahagia dengan pernikahan Nilna tetapi di sisi lain dia bersedih hati karena harus mengikhlaskan lelaki yang selama 3 tahun ini hadir dalam hatinya.

"Jangan sedih Ning, tahun depan kamu nikah sama orang yang lebih baik dan cocok buat kamu!" Bisik Fahma.

"Mau aku aminkan tapi enggak jadi, masih tahuuuuuun depannya lagi aku nikah!" Jawab Biya tak kalah lirih.

"Tunggu saja!" Sahut Fahma tak mau kalah.

"Biya, kamu sama Fahma yang temani Mbak Nilna ke depan ya untuk ketemu suaminya." Ucap Umi. Biya tampak ragu namun dia tidak boleh menolak.

"Nggih Umi." Jawab Biya dan Fahma kompak.

***

Abiya Nur Syafa

Hari ini tiba keberangkatanku ke Bandung, sebenarnya umi kurang setuju dengan pilihanku. Beliau lebih memilih agar aku selalu di dekatnya, aku bersyukur karena walaupun bukan ibu kandungku tapi Umi Hayyin sangat menyayangiku seperti Mbak Zara dan Mbak Nilna.

Mbak Nilna? Sekarang sedang apa ya dia, sejak selesai resepsi dan malamnya acara boyongan Mbak Nilna masih ikut bersama suaminya. Bagaimana ya rasanya punya suami baik, lembut dan kelihatannya penyayang seperti Mas Royyan? Ah Mas Royyan pergilah jauh-jauh dari pikiranku, jangan pernah berani menampakkan wajahmu di pikiranku. Allah bantu aku.

"Biya!" Umi menepuk pundakku.

"Eh iya Umi, kenapa?"

"Kamu kenapa?Itu sudah dipanggil Mbak Zarah dalam mobil."

"Astagfirullah, maaf Umi, Biya pamit ya, doain Biya terus!"

"Pasti, hati-hati ya, ingat selalu pesan Umi!"

Aku mengangguk dan sekali lagi mencium tangan umi, lalu beralih ke yang lain termasuk Fahma yang diwarnai adegan tangisan. Sebenarnya sangat berat bagiku meninggalkan pesantren, tapi aku punya cita-cita yang sangat ingin aku wujudkan.

Dulu Umiku sebelum meninggal selalu terlihat bahagia kalau melihat sesuatu yang berhubungan dengan menggambar. Pernah aku menemukan setumpuk buku dan isinya adalah gambar-gambar . Belakangan aku tahu kalau Umi kandungku suka mendesign tapi cita-citanya tidak pernah berlanjut karena beliau lebih memilih mengabdi pada abi.

Umi memang tidak pernah memaksaku untuk bisa jadi apa, dulu beliau hanya selalu berpesan aku bisa ngaji dan bisa mendoakan orangtua tapi aku ingin sekali mengikuti jejak umi agar aku bisa menghadirkan Umi dalam jiwaku.

Tak terasa setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 7 jam lamanya kami sampai di rumah Mbak Zara.

"Biya, kamar kamu sebelah sana ya!" Aku mendekati Mbak Zara dan merangkul lengannya.

Mbak, maaf ya kalau empat tahun kedepan aku bakal gangguin Mbak sama Mas Anas dengan numpang di sini." Mbak Zara malah tertawa geli sambil mengusap puncak kepalaku.

"Ngomong apa sih? Kamu itu kaya sama siapa saja!"

"Kalau enggak enak kamu perbulan bayar sewa saja Bi!" Sahut Mas Anas suami Mbak Zara.

"Iya Mas, enggak apa-apa, beneran." Jawabku serius, ya walaupun gak banyak aku masih punya sedikit penghasilan dari usaha peninggalan abi dan umi.

"Hahaha! Kamu Bi, jangan kaku begitu ah, santai saja, aku cuma bercanda." Jawab Mas Anas.

"Iya kamu kenapa sih? Sekarang kamu fokus sama kuliah, Mbak seneng kamu di sini, Mbak sama Syauqi jadi ada temenya karena Mas Anas sering pulang malam, Mbak juga ada temennya muroja'ah!"

"Iya Mbak, makasih banyak ya." Aku memeluknya sekali lagi, bersyukur sekali mempunyai saudara sebaik mereka.

"Eh iya Bi, kayaknya aku ngajar juga di kelas kamu." Kata Mas Anas.

"Lho kok bisa Mas?"

"Iya, kan aku juga pegang kelas mengenai hokum dan pranata pembangunan."

"Wah, lumayan lah, bisa nego!" Candaku.

"Eeeet, enggak ada ya, kalau jelek ya jelak saja nilainya enggak ada hubungannya sama saudara. Sekedar tahu saja, Mas Anas itu terkenal Killer" Sahut Mbak Zara.

"Masa sih Umi? tapi kalau di rumah enggak kan?" Jawab Mas Anas sambil memeluk Mbak Zara.

"Hadeeeeh, nasib jomblo matanya masih alami malah disuguhin kaya begitu, aku ke kamar sajalah!" Sepasang suami istri itu malah semakin mesra dan menertawakanku.

"Kasihan, aku doain biar cepet ada yang ngelamar! " Teriak Mbak Zara.

"Amin!!" Jawabku tidak kalah kencang.

****

Setelah seminggu beradaptasi di Bandung, hari ini adalah hari pertama aku masuk kuliah. Terasa asing mmemang, tapi ini semua sudah menjadi keputusanku, aku harus bisa menjalani.

"Hai! Kamu di jurusan Arsitektur juga?" Tanya seorang wanita yang berjalan mendekatiku.

"Hai juga, iya!"

"Sama kalau begitu, namaku Devi. Kamu?"

"Aku Biya, senang kenalan denganmu."

"Aku juga, aku baru pindah ke sini jadi agak asing. Bisa bantu aku?"

"Kalau begitu kamu salah cari kenalan, aku juga baru di Bandung." Jawabku sambil tersenyum padanya.

"Haha, ya sudah! Yuk sama-sama saja!"

Aku bersyukur dihari pertama mendapat teman baru yang senasib, dia Devi, gadis berkulit putih yang lumayan cantik dan berasal dari Surabaya. Satu hari bareng dia kami sudah terlihat akrab karena dia cukup banyak bicara membuat aku harus bersyukur, karena tidak canggung di depannya. Aku tipe yang gak banyak bicara soalnya, takutnya dia bosan.

Hari ini aku menyelesaikan kuliah pertamaku dengan baik, sejauh ini aku merasa semua msudah dan lancar. Semoga kedapannya bisa selalu lancar.

1. Kafa Biya (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang