semuanya tiba-tiba

30.8K 1.9K 9
                                    

" Uluh,,uluh,, pengantin baru udah ngaji bareng, jadi pengen cepet nyusul" Kata Hanif tanpa dosa di ambang pintu

" Lain kali ketuk pintu dulu dek, jangan asal buka.." Protesku

" Ooops maaf Mbak, hehe. Di panggil Umi buat sarapan ,"

" Iya nanti kita nyusul."

Aku menyelesaikan sedikit lagi bacaanku, aku tak menyangka Pak Kafa betah nyimak hafalanku sampai  3 juz.

" Kalau baca pelan-pelan aja biar hak-hak hurufnya terpenuhi." Katanya sambil berganti pakaian

" Keburu lupa.." Jawabku asal sambil melepas mukenaku

" Apa gitu cara kamu menjawab suami?" katanya dingin, aku sering berhadapan denganya dalam kondisi seperti ini tapi entah kenapa kali ini aku khawatir karenanya

" Ya udah ayo kita keluar sarapan, sudah di tungguin" katanya lagi sambil melangkah keluar

Buru-buru aku mencari jilbabku dan menyusulnya keluar.

" Pengantin baru auranya beda ya Umi?" Celetuk Hanif

" Sssst,, kalau makan diem dulu Nif.." Tegur Abah dan sukses membuat aku tertawa puas.

"Kamu jadi pulang ke Bandung hari ini Kaf? Libur kuliah kan masih lumayan?" Tanya Mas Anas ketika kami semua sedang berkumpul untuk sarapan.

"Iya Mas, ada kerjaan."

Aku dengan santainya menghabiskan makanku dan tidak berpikir untuk ikut Pak Kafa pulang hari ini.

"Sudah di rapiin Bi bajunya?" Tanya Umi.

"Belum Umi, nanti habis ini aku beresin bajunya Pak Kafa."

"Sekalian punyamu lah!" Timpal Mbak Zara.

"Punyaku?? Aku masih lama Mbak, kan bareng Mbak Zara besok."

"Ya mana bisa begitu, dimana-mana istri ya ikut suami!" Yambah Umi

Aku hendak memprotes lagi tapi abah sudah keburu memotongnya.

"Biya! Selesaikan makan terus siapin pakaian kamu dan Kafa." Perintah Abah dan sukses membuatku diam. Lagian kenapa Pak Kafa buru-buru pulang sih?

Aku membereskan pakaian Pak Kafa dan juga pakaianku. Jujur aku masih merasa berat menerima semua ini yang begitu tiba-tiba. Tiba-tiba nikah, tiba-tiba diajak pergi. Ya Allah beri hamba kemudahan untuk menjadi istri yang sholihah.

Siang hari setelah dzuhur aku dan Pak Kafa diantar Hanif dan Mas Anas ke bandara. Sepanjang perjalanan aku malas berbicara, aku perlu waktu untuk terbiasa dengan semua ini.

Aku selalu ikut kemana Pak Kafa membawaku tanpa banyak tanya, dan ternyata dia membawaku ke rumahnya. Rumah yang dulu pernah aku ngaji bareng Mbak Zara.

Kami di sambut gembira oleh keluarga Pak Kafa, dia punya seorang adik perempuan seumuranku yang sudah menikah dan punya satu orang anak perempuan.

"Istirahatlah, sebentar lagi kita sholat maghrib!" Katanya tanpa menatapku dan lagsung keluar kamar.

Sekarang aku berada di kamar Pak Kafa, kesan pertama melihat kamarnya aku sangat suka. Harus aku akui kalau memang hasil rancangannya ini bagus banget.

Aku memilih merapikan baju-bajuku dan punya Pak Kafa di lemari. Lalu ada seseorang yang mengetuk pintu.

"Maaf Kak Biya kalau ganggu!" Sapa Azka adik Pak Kafa

"Enggaklah, sini masuk!"

Azka tersenyum lalu duduk di tempat tidur.

"Kak Biya kok mau sih sama Kakak aku itu?" Tanyanya kemudian sambil tertawa.

Aku menatap heran, dia sepertinya cukup menyenangkan.

"Ya kan Kakak pasti lihat sendiri kan bagaimana datarnya itu orang!" Tambahnya lagi seperti tahu keherananku.

"Kalau bisa sih di tukar tambah!" Candaku.

"Haha Kakak lucu, tapi aslinya dia baik kok Kak, penyayang banget1"

"Iya kah?" Tanyaku ragu karena dari semalam aku belum mendapat tanda-tanda itu. Ya mungkin karena baru semalam.

"Ehem, siapa yang mau ditukar tambah?" Aku dan Azka kompak menoleh ketika di pintu ada seseorang yang menyahut.

"Ya Kakak lah, makannya jangan kaku begitu, senyum kak! Senyum!" Azka berkata gemas sambil berlalu.

Setelah Azka pergi Pak Kafa menutup pintu dan membuka bajunya, buru-buru aku mengalihkan pandanganku, aku rasa pipiku sudah memerah, lagian kenapa buka baju di sini sih?

"Kenapa? Ini belum seberapa lho!"

Astaghfirullah. Kenapa sih hobi banget bikin aku malu?

"Aku mandi dulu dan kita siap-siap maghrib" Katanya sambil mengelus pipiku. Dia melakukannya tanpa beban dan langsung masuk kamar mandi sedangkan aku harus berulang kali menghela nafas untuk meredakan laju jantungku.
Kami melaksanakan jamaah dan tanpa aba-aba dia mengambil mushaf duduk di depanku hendak menyimak hafalanku. Dalam hati aku sangat bersyukur, abah pasti tahu mana yang terbaik buat aku, nyatanya beliau menikahkanku dengan pria ini, berarti memang pria ini terbaik untukku.

Dia menyimakku sampai waktu isya dan kami melanjutkan jamaah isya. Kali ini aku merasakan bahwa hidupku benar-benar telah sempurna. Terimakasih abah, tapi di sisi lain aku masih sulit untuk terbiasa menjalani hidup sebagai istrinya.

"Aku keluar sebentar ada urusan, kalau kamu ngantuk silahkan tidur tidak usah menungguku!"

Aku hanya menatapnya tanpa suara, ini orang ngajak dialog apa ngajak berantem sih? Enggak ada intonasinya sama sekali.

"Mau kemana Pak?"

"Ada urusan sebentar, aku sudah masukin nomorku di hp kamu, kalau ada apa-apa hubungi aku."

"Hah? Kok bisa? Kapan?"

Dia tidak menjawab tapi malah mengulurkan tangannya agar aku menciumnya. Entah naluri apa yang merasukiku, tanpa beban aku meraih tangannya dan menciumnya.

Setelah dia pergi, aku bergegas membuka hp ku, kok bisa dia buka? Kan aku kasih sandi berpola?

Jangan-jangan... Ah sudahlah lebih baik aku turun menemui Bu hanifah.

"Malam Sayang, Kafa sudah pergi?"

"Sudah Bu barusan!"

"Kamu mau makan? Dari datang tadi kamu belum makan lho, tadi di jalan pasti enggak dikasih makan sama Kafa?"

Aku hanya bisa tertawa pelan karena tebakan ibu benar.

"Iya Bu katanya Pak Kafa buru-buru."

Entah kenapa aku nyaman sekali dengan Bu Hanifah, seperti ada kehadiran umi sendiri.

"Maafin suami kamu ya, dia memang begitu kalau sedang buru-buru. Ibu sangat bahagia Kafa bisa menikah sama kamu. Tadinya Ibu sempat berdebat sama ayah karena bersikeras menjodohkan Kafa dengan anak temannya, Ibu bilang kalau punya calon. Eh tak disangka tak dikira orangnya sama."

"Bisa begitu ya Bu? Semua sudah jadi takdir Allah." Aku tersenyum tulus bahkan aku sendiri bingung kenapa bisa ngomong begitu. Ibu memelukku sebentar dan langsung mengajakku makan. Aku tidak akan menolak karena mmemang perutku sudah lama kosong.

"Biya mungkin kurang nyaman dengan sifat Kafa yang kaku itu, tapi percaya sama Ibu, dia akan sangat menyayangi kamu dan menjaga kamu!"

"Iya Bu, pada dasarnya watak kan susah diubah, Biya juga masih banyak kekurangan."

"Terimakasih ya Sayang!" Ibu memelukku sekali lagi. Alhamdulillah Ya Allah, hamba dikasih keluarga yang begitu menyayangi hamba.

1. Kafa Biya (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang