Khotmil quran

28.4K 1.8K 11
                                    

"Kamu kenapa sih daritadi manyun saja?" Tanya Monik.

"Enggak apa-apa, lagi suntuk saja, dari pagi sudah ada kejadian enggak enak."

"Adam??" Tebak Devi, aku hanya mengangguk tak semangat.

"Sebenarnya bagaimana perasaan kamu?"

"Aku enggak tahu Dev, aku pernah ngalamin hal kaya gini tapi akhirnya dia menikah dengan orang lain. Sejak saat itu aku enggak mau lagi pusing mikirin jodoh, aku serahkan sama yang di atas. Tapi enggak bisa dipungkiri juga, aku kagum sama Kak Adam, dia laki-laki sholeh yang tahu bagaimana menjaga kehormatan wanita."

"Terus rencana kamu?" Tanya Monik.

"Ya itu tadi, aku enggak mau pusing. Kalau jodoh pasti didekatkan sama Allah bagaimanapun caranya. Dan untuk saat ini aku benar-benar mau fokus kuliah dulu."

"Kalau menurutku sih dia enggak gentle. Kalau memang dia serius seharusnya enggak usah nunggu selesai skripsi. Sama saja kan sekarang atau nanti habis skripsi toh sama-sama belum lulus, kalau alasannya belum kerja bukannya sama saja nanti habis skrpsi juga dia belum tentu langsung kerja?" Tambah Monik.

"Ya sudah sih, makan saja yuk! Cacingku sudah berontak dari tadi, kuliah Pak Kafa cukup menguras energi." Ajakku.

Kata-kata monik masih terus terngiang dipikiranku, ada benarnya omongan Monik.

"Eh iya, aku pamit ya. Besok pulang ke Semarang ada acara."

"Iya nih, satu bulan libur kita enggak ketemu, jangan pada kangen ya sama aku!"

"Malas banget Mon kangen sama kamu!" Sahut Devi.

Kami menghabiskan hari itu dengan jalan-jalan sebelum liburan kuliah. Satu bulan rasanya lama, liburan sebelumnya aku jarang pulang ke Semarang jadi walaupun libur masih tetap bisa ketemu sama mereka.

****

Pagi ini aku dan keluarga Mbak Zara pulang ke Semarang karena akan ada acara khataman dan wisuda santri. Kali ini aku harus benar-benar menyiapkan hatiku karena bakalan lama di Semarang. Ternyata waktu dua tahun lebih belum cukup untuk benar-benar menghilangkan Mas Royyan dari pikiranku.

Saat kami sampai di pesantren, sudah terlihat para santri sibuk menyiapkan keperluan acara. Umi menyambut kami dengan bahagia, aku sangat merindukan umi yang sudah menjadi Ibu sambung bagiku.

"Assalamualaikum Umi!" Sapaku dan langsung mencium tangan Umi.

"Waalaikumsalam, tega ya sama Umi, katanya mau sering pulang?"

Aku hanya bisa tertawa pelan merasa bersalah pada umi.
Ingin rasanya aku langsung menghilang ke kamar karena di belakang Umi berdiri Mbak Nilna dan Mas Royyan yang sedang menggendong anak mereka.

"Mbak Nilna, apa kabar?" Sapaku sambil memeluknya.

"Baik Bi, kamu sudah betah di Bandung terus enggak mau pulang ke sini."

"Hehe, maaf Mbak, di Bandung adem soalnya!"

"Ya sudah kalian istirahat dulu, sebentar lagi kita ziarah."

Aku bersyukur karena umi segera menyudahi obrolan kami, aku hanya tersenyum dan mengangguk saat melewati Mas Royyan, entah kenapa sulit sekali bersikap biasa padanya selayaknya sikapku pada Mas Anas. Dia hanya diam dan sedikit mengangguk.

Aku menjatuhkan tubuhku di kasur kesayanganku. Bagaimanapun aku tumbuh besar di sini, aku sangat merindukan kamar ini.

"Sombongnya yang sudah kuliah di Bandung!" Kata seseorang yang langsung masuk ke kamarku.

"Fahmaaaa, subhanallah!"

"Masih inget aku Ning?"

"Idih apaan kamu. Eh selamat ya atas kelulusnya."

"Ah kamu, aku mah butuh waktu lama buat bisa khatam padahal kita mulai bareng."

"Yang terpenting itu setelahnya, bagaimana kita istiqomah menjaga hafalan kita, bukan seberapa cepat kita mengkhatamkan."

"Inggih Bu nyai Biya!"

"Hahah, Bu Nyai dari mananya? Aku mandi dulu ya, pengen mandi di pondok, kangen sudah lama enggak mandi di sana."

"Mending di sini saja, di pondok antrinya sudah panjang banget para santri sudah sibuk siap-siap buat acara nanti malam."

"Oke deh, kamu di sini saja ya tungguin aku!"

"Baik Ning!" Aku hanya melemparkan jilbab yang tadi aku pakai di wajah Fahma untuk menjawab ucapanya. Fahma adalah salah satu orang berharga di hidupku, dia mengajarkan aku bagaimana sikap tawadhu' itu. Dia selalu memiliki adab terhadap gurunya padahal dia putra seorang kyai besar di daerah Jogjakarta. Abahnya menitipkan dia untuk mengaji di sini dengan Abah Ahmad karena mereka adalah sahabat ketika mondok dulu.

****

Rangkaian acara khotmil quran di mulai dengan ziarah bersama para santri dan pengasuh. Lalu di lanjutkan prosesi khataman dan wisuda santri putra dan putri bergantian.

Aku mengikuti setiap acara dengan hikmat, lalu ingatanku kembali muncul saat 4 tahun yang lalu aku ikut menjadi santri dan diwisuda.

Hari itu aku bahagia karena bisa melaksanakan amanah abi kandungku, tapi hari itu juga aku tidak bisa menahan tangisku. Tangisku pecah saat tiba namaku dipanggil untuk menerima ijazah, aku merasa sangat sedih karena tidak ada orangtua yang menyaksikanku dengan wajah bahagianya, tidak ada lagi orangtuaku yang memelukku dengan bangga karena berhasil menyelesaikan hafalan 30 juzku. Tak terasa air mataku menetes. Tiba-tiba ada yang memeluk pundakku.

"Di doain saja abi sama uminya, Mbak yakin mereka sudah di tempat yang nyaman karena doa-doa dari anak sholihahnya."

"Amiin, makasih Mbak Nilna, aku hanya terharu saja."

"Ya sudah, Mbak masuk dulu."

"Iya Mbak."

Setelah prosesi khataman selesai dilanjutkan dengan pengajian umum dan di tutup dengan doa dari beberapa Kyai yang sudah hadir. Setelah acara selesai, aku pergi ke pondok putri untuk mengucapkan selamat pada Fahma dan santri-santri yang lain.

Keesokkan harinya, masih terlihat para santri sibuk membereskan sisa-sisa acara. Mereka bercanda tawa tanpa canggung, karena hanya pada saat seperti ini santri putra dan putri bisa membaur untuk bergotong royong. Pada hari biasa mereka tidak pernah bertemu karena komplek yang tertutup.

Aku tertawa sendiri mengingat saat-saat seperti ini, santri putri bisa curi-curi pandang pada santri putra.

"Ya Allah Mbak Biya sehat?"

Aku hanya melirik kesal lelaki yang tingginya sudah jauh dariku.

"Dari tadi ketawa sendiri, kok aku jadi ngeri ya Mbak, jangan-jangan Mbak stres karena berat memikirkan kuliah?"

"Astagfirullah Muhammad Hanif Syarifuddin, kualat kamu ngatain Mbak kaya begitu."

"Hahha, damai Mbak! Itu Mbak di panggil Abah sama Umi di dalam."

"Ada apa?" Hanif hanya menggerakan bahunya.

Aku bergegas masuk menemui Abah dan Umi

"Dalem Abah."

"Kamu masih lama di rumah kan Biya?"

"Insyaallah iya Bah, liburan masih 2 minggu. Pripun Bah?"

"Nanti siang teman Abah mau datang, kamu jangan kemana-mana." Kata umi dengan lembut.

"Yang datang teman Abah kenapa Biya yang enggak boleh kemana-mana Umi?" Tiba-tiba aku merasa enggak enak hati, sepertinya ada sesuatu. Umi dan abah tertawa mendengar pertanyaanku.

"Yang penting kamu nurut saja." Sahut Abah.

Aku masuk kamar setelah pamit dengan abah dan umi. Entah kenapa perasaanku jadi enggak tenang seperti ini. Aku mengambil air wudhu dan mulai melantunkan hafalanku, tak lupa selalu aku kirimkan untuk kedua orangtuaku, dan memohon ketenangan pada Allah.

1. Kafa Biya (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang